Hukum

  • Secure Tenure Rapihkan Kumuh Kota?Segerakan UU Perkotaan, UU Realestat, Dan …..

    Sudah berapa lama negeri ini dan warga masyarakatnya lahir, hidup, eksis, tumbuh, cari maka  dan berkegiatan dan bertumpu di kota? Namun sampai sekarang tanpa UU Perkotaan.

    Rasakan dan gelutilah masalah kota kini yang sudah akut,  dan mendesak diatasi. Tak hanya tambal sulam namun mendasar,  berkeadilan dan pasti. Termasuk soal Secure Tenure untuk memastikan hunian yang berkeadilan dan tentu layak ditinggali bukan hanya terjangkau dibeli.

    Aturan Secure Tenur dinilai tak ada, itu bukan salah UUPA  yang orisinal intennya cenderung ke agraris, bukan cenderung ke kota. Tak ada konsep dan diksi kota dalam UUPA

    UUPA hanya menjamin hak atas tanah, dan peruntukannya untuk “abc-fgh”, namun tidak ada persediaan, peruntukan, penggunaan untuk perumahan, permukiman dan perkotaan dalam UUPA. Padahal kua teknis dan historis, perumahan adalah mosaik utama pembentuk kota.  Beda dengan peruntukan bagi, misalnya perkebunan, pertanian, yang dibunyikan eksplisit sebagai norma aturan dalam Pasal 14 ayat 1 UUPA.

    Lebih lagi memang  karena tidak ada UU Perkotaan. Bukankah sudah watak dan cara pemerintah subsider birokrasi yang bekerja berdasarkan apa yang ada aturan –yang disuruhkan. Bukan bekerja atas apa yang boleh dan tak dilarang. Begitu kaidah bekerjanya birokrasi walau ada diskresi atau freis ermessen dengan syarat rechtmatigeheid dan doelmatigeheid.

    Berikut ini lain-lain alasan yang tak kalah penting perlunya sepaket UU yang mengeliatkan Housing and Urban Development termasuk Secure Tenur, namun bukan terbatas hanya UU Perkotaan, yakni:

    (1) Diatas tanah semua ada dan bertumpu: perkebunan, pertanian, hutan, lingkungan, bangunan gedung, infrastruktur jalan, trotoar, jalur peseda, stasiun kereta, baliho, iklan (bahkan iklan rokok).

    Tentunya pada ruang kota pasti ada  perumahan (bahkan di lingkaran inti kota),  pertokoan mewah, kedai kopi,  lalu lintas jalan, stadion bola, masjid, sekolah dan  juga monumen landmark kota, tugu peringatan, patung pahlawan, tugu pemberian negara bersahabat, dan segala macam karya peradaban, yang dinikmati demi kenyamanan sebagian besar warga yang beraktifitas di kota dan perkotaan

    Namun dan akan tetapi tak ada pengaturan dengan UU Perkotaan. Ajaib kan?

    (2) Kota yang ada sekarang ada ialah kota dari zaman ke zaman, yang masib ada dan bernama kota lama yang dibangun kolonial Belanda dan tak bisa dibawanya pulang.

    Juga ada dan menggejala kawasan  permukiman yang  bertumbuh mengkota menjadi perkotaan. Ada juga kawasan baru dibangun sistematis, megah dan mahal menjadi “kota baru” atau sebut saja new town walau ada pada tepian kota bahkan tepian jamak kota.

    Pun aliran uang berputar terbesar dari dan di kota, konsumsi listrik paling dominan di kota, arus lintasan penduduk bergerak ke kota sebagai perantau,  komuter,  urbanisasi, metropolitanisasi, bahkan tak terbantak kriminalitas masih ada.

    Juga, untuk sang  kota dan kita, maka berkembanglah profesi urban planner, perencana, developer, bahkan REI dimulai dari ibukota Jakarta,  sehingga tersebab itu kota termasuk zat buatan paling diperlukan manusia.  Demi mengurusi kota maka makin berkembang kota sebagai basis kemajuan sains dan profesi,  bahkan  paradigma pembangunan yang mencuatkan visi Housing and Urban Development (HUD paradigm).

    Juga, mesin ekonomi tumbuh di kota menjadi urban economics yang riuh dan menjanjikan.  Kota tak hanya jalan panjang dan pangkalan hunian. Kota tak hanya layanan (services) namun episentrum segala pertumbuhan. Namun, ajaibnya kita masih betah bertahan tanpa UU Perkotaan. Lebih lagi lita lupa dulu Belanda dan rezim awal negeri ini dibangun telah ada gagasan RUU Bina Kota yang mengatur hal ikhwal kota, tak hanya soal organisasi kuasa kota belaka.

    (3) Era moderen, dimana Indonesia 100 tahun 2045 kita butuh kota ditata moderen dan berbasis hukum kokoh  agar tak ada lagi — setidaknya terjawab–  kritik berulang dan berbilang pegiat HUD subsider pak Jehansyah Siregar.

    Membangun kota bukan hanya penjumlahan bangunan. Bangunan bukan pula hanya fisiknya saja. Kota dibangun dengan visi,  paradigma dan ilmu bahkan  profesinya demi memanusiakan manusia. Karena diisi manusia dan warga, dimana perumahan sebagai mosaik utama pembentukan kota,  bukan hanya perkantoran, pasar, dan jalan saja.

    Kota juga perlu bernafas dan berteduh, asri sehingga layak huni dan hijau, yang diisi penghuni manusia yang beragam rupa, berdaya, beradab, dan smart. Kota bukan hanya otoritas kota. Sebab itu kota dan warganya, juga masyarakat, dunia usaha, pemerintah, membutuhkan UU Perkotaan. Yang melengkapi  UU No. 1 Tahun 2011 (UU PKP) dan UU Rumah Susun.

    Membangun kota perlu paradigm, ilmu, teknik, teknologi dan profesional  serta melindungi konsumen dan masyarakat.  Sebab itu UU PKP, UU Rumah Susun, UU Bangunan Gedung, UU PA, bahkan UU Cipta Kerja, tidak memadai. Sepaket dengan perlunya UU Perkotaan,  saya mendorong UU Realestat.

    (4)  Karena semua yang ada diatas tanah yang sudah diatur UUPA, dimana tanah merupakan  hak menguasai negara, ada peruntukan,  titel haknya, dan ada wewenang pemerintah dalam persediaan, peruntukan,  penggunaan tanah versi Pasal 14 ayat 1 UUPA. Namun UUPA tak ada menyebut persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk perumahan dan permukiman.

    Inilah kausal mengapa tak ada jaminan persediaan tanah bagi perumahan rakyat, walau dalam pengaturan persediaan tanah dalam UU PKP, namun tidak dalam UUPA.

    Jangankan untuk perumahan warga masyarakat yang menempati tanpa sertifikat tanda bukti hak (kalau untuk lahan pertanian disebut penggarap), persediaan tanah untuk perumahan saja belum pasti sebagai kebijakan rencana persedian pun alokasi dalam UU. Artinya,  terkonfirmasi bahwa secara hukum belum ada Secure Tenur, padahal itu hak substantif dan kebutuhan dasar  jika mengacu konstitusi Pasal 28H ayat 1 UUD 1945.

    Padahal jaminan hak perumahan itu adalah diakui universal sebagai hak substantif yang mendasar. Analog seperti hak atas pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan –dalam keadaan apapun–   bahkan sedia  obat, dokter dan rumahsakit.

    (5) Masyarakat, dunia usaha, Pemerintah, bahkan negara membutuhkan “hukum prosedural” mengkonkritkan hak substantif bermukim alias secure tenur yang nota bene hak konstitusi itu. Seperti halnya hukum materil butuh hukum formil. Seperti KUHP dijalankan dengan KUHAP. 

    Sebab itu perlu ada UU yang memudahkan, aturan  prosedural memastikan tegaknya Secure Tenur cq. hak bermukim juncto hak perumahan itu.

    Usul saya perlu pengaturan UU yang memastikan tatacara persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk perumahan dan perkotaan yang menjadi National Grand Policy on Public Housing yang menjadi mandat, wewenang dan sekaligus tata kelola (governance) untuk melaksanakan hak substantif atas hak bermukim cq.hak perumahan yang merupakan hak konstitusional itu.

    Jadi juga perlu  didorong Good Agrarian Governance, melengkapi Good Governance, yang mengikuti dan kompatibel dengan agenda Reforma Agraria Perkotaan.

    Tak cukup dengan UUPA, tak memadai dengan UU Cipta Kerja Jo. PP Bank Tanah, sebab tidak ada wewenang materil dan formil badan bank tanah dalam PP 64/2021 menjawab dan intervensi Secure Tenur yang mandatnya bersumber dari konstitusi. Sebab ada gap institusional pun dalam analisa hirarkhi norma.

    Sekali lagi, tak bisa dengan Badan Bank Tanah yang hanya operator tak bisa mengambil alih wewenang BPN.

    Badan baru hasil dari UU Cipta Kerja tak bisa menjalankan kekuasaan pemerintahan dalam bidang pertanahan yang dipegang Presiden –dan dilaksanakan Menteri Agraria/Kepala BPN– sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan amanat konstitusi.

    Lagi pula, Badan Bank Tanah hanya berwenang membuat perencanaan induk untuk melayani ranah urusannya sendiri, karena itu tak valid menjangkau, melayani dan menjawab soal mendasar  Secure Tenur.

    Dari 5 (lima) narasi dan justifikasi itu perlu sepaket UU Perkotaan, UU Realestat dan UU mengatur penyediaan tanah bagi HUD. Tabik.

  • Efektifkan Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat

    Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang baru saja disahkan mengatur badan bank tanah. Menggunakan nama bank yang menjadi lembaga intermediari  yang  menjembatani “penabung” dengan pengguna dana. Dari manakah “penabung” sumber tanah  bank tanah?  Apa status tanah yang dikelola?  Akankah menyasar perumahan rakyat khususnya bagi mayarakat berpenghasilan rendah(MBR)? Langkah apa perlu disegerakan?

    Berikut wawancara redaksi Koridor.Online dengan Muhammad Joni SH MH, seorang praktisi dan profesional hukum perumahan dan pertanahan yang saat ini merupakan Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute dan Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) di Jakarta, baru-baru ini.

    Bank Tanah disahkan dalam UU Cipta Kerja, komentar Anda?

    Institusi ini lama dinanti. Pernah hendak dimasukkan dalam RUU Pertanahan, pernah pula hendak dibuat dengan Peraturan Presiden. The HUD Institute menggemakannya sejak lama khususnya bank tanah  perumahan rakyat.

    Badan baru ini sebenarnya bukan “barang” baru, karena sudah lazim di banyak negara lain, Bahkan di Indonesia korporasi developer swasta maupun BUMN sudah mempraktikkan pengelolaan tanah layaknya bank tanah dengan versi berbeda.

    Sebagai badan baru  yang dibentuk Pemerintah Pusat  yang mengelola tanah  dalam rangka ekonomi berkeadilan, maka bank tanah ini kunci untuk membuka gembok permasalahan penyediaan tanah perumahan rakyat perkotaan.

    Muhammad Joni

    Apa nantinya status badan ini?

    Badan ini dibentuk sebagai  badan khusus, bukan BUMN, bukan pula badan layanan umum (BLU), yang tugasnya mengelola tanah seperti bunyi Pasal 125 ayat (2), walaupun dibagian lain dinormakan  bukan hanya land manager bahkan  lebih luas lagi, sebab  badan ini melakukan fungsi perencanaan, perolehan dan pengadaan. Juga, pengadaan, pemanfaatan dan pendistribusian yang diatur Pasal 125 ayat (4).

    Jadi mirip seperti lazimnya bank keuangan, namun bank tanah bersifat nonprofit. Apalagi bank tanah ini dikaitkan dengan keadilan ekonomi dan agenda reforma agraria. Menurut hemat saya, badan bank tanah ini juga harus berperan dalam mengendalikan harga tanah. Jangan malah harga tanah  tetap saja tidak efisien setelah kehadiran  bank tanah.

    Dengan begitu, bank tanah ini benar-benar menjadi kunci mengatasi backlog dengan  ketersediaan perumahan rakyat yang layak, terjangkau dan untuk semua, tak ada yang tertinggal. Apa lagi bank tanah ini akan terkoneksi dengan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3), badan khusus yang juga bakal segera dibentuk dengan Peraturan Presiden.

    Bank tanah ini apakah nantinya tidak tumpang tindih dengan Badan Pertanahan Nasional?

    BPN sebagai land regulator body dan menyelenggarakan administrasi pendaftaran tanah (national land administration), meski kalau menurut saya BPN seharusnya juga melakukan perencanaan kebijakan pertanahan (national land policy) dan mengembangkan sistem informasi pertanahan nasional yang dapat diakses publik secara terintegrasi.

    Artinya, BPN tidak bisa sebagai operator atau land manager. Badan bank tanah sebagai pengelola tanah dengan segenap fungsinya menjadi operator dan provider sesuai hukum yang berlaku. Periksalah UU Cipta Kerja, tidak ada fungsi regulator melekat pada badan bank tanah.

    Kaitannya dengan penyediaan tanah perumahan rakyat?

    Absolut, sebab itu mandat konstitusi dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. BPN harus meregulasi kebijakan nasional penyediaan tanah untuk perumahan rakyat, baik MBR maupun masyarakat miskin. Dasarnya bisa mengacu pada Pasal 14 ayat (1) UUPA. Kini  diperjelas dengan Pasal 126 yang tugasnya menjamin ketersediaan tanah yang berkeadilan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, pembangunan nasional, yang tentu saja  dimaksudkan  untuk perumahan rakyat.

    Perlu dicatat, UU menyebut dengan menjamin dan ekonomi berkeadilan. Bukan dengan mekanisme pasar bebas. Justru disitu bedanya misi dan fungsi badan bank tanah.

    Konkritnya?

    Tanah untuk perumahan rakyat harus lebih mudah. Tanah untuk perumahan rakyat  dialokasikan signifikan dalam regulasi bank tanah, dan karenanya musti lebih mudah, murah dan harga jual perumahan rakyat bagi MBR lebih murah dan terjangkau, bukan justru semakin mahal. Karena badan ini bertindak sebagai pengendali harga tanah. Bagi rakyat dan dalam bahasa empiris, ya rumah lebih murah karena faktor tanah yang sulit sudah diatasi.

    Bank tanah perannya berat, ditengah  masalah akut kelangkaan tanah  dan rumitnya masalah perumahan rakyat.

    Sumber tanah yang dikelola bank tanah darimana saja?

    Ini soal yang penting, dan titik krusial. Jika ditelaah dari status tanah yang dikelola badan bank tanah disebutkan sebagai hak pengelolaan (HPL). UU juga memberi dasar HPL  kepada badan bank tanah. Namun, sepanjang saya periksa tidak eksplisit menyebut sumber tanah darimana?

    Maksudnya?

    Jika ditafsirkan dari Pasal 129 ayat (1), tanah yang dikelolanya dengan diberikan hak pengelolaan. Jika diasumsikan semuanya diberi hak pengelolaan, maka sumbernya bukan dari barang milik negara/ daerah (Barang Milik Negara/ BMN) ataupun Barang Milik Daerah (BMD) yang sudah dikelola dan dimanfaatkan serta telah diberikan hak semisal hak pakai, hak guna bangunan.

    Kita ketahui BMN/BMD  tunduk pada ketentuan  rezim UU Perbendaharaan Negara.  Mari sama-sama kita periksa lagi, mengapa tidak ada dibunyikan dalam UU Cipta Kerja sumber tanah berasal dari BMN/BMD. Juga, tidak disebutkan frasa/norma tanah terlatar, tanah cadangan umum negara (TCUN), tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, atau tumbuh ataupun tanah bekas pertambangan  atau perkebunan. Tidak pula disebut karena perubahan tata ruang.

    Menteri ATR menyebutkan dari tanah terlantar, pendapat anda?

    Nah, itu yang harus dicarikan landasan normatifnya. Bisa jadi dilakukan legal improvement dengan merumuskan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur sumber kekayaan badan bank tanah dengan penyertaan modal negara, ataupun sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Karena status tanah terlantar maupun TCUN bahkan bekas perkebunan maupun pertambangan adalah domein otoritas BPN, yang lantas diberikan kepada bank tanah menjadi hak pengelolaan. Jadi tetap dikendalikan BPN.

    Hemat saya, sekalian saja BPN menyiapkan national land policy, sehingga ada kebijakan lebih pasti dan tinggi dari sekadar kebijakan parsial  pemberian hak tanah negara kepada bank tanah dengan HPL.

    Jadi BMN/ BMD tetap dikelola BUMN selaku pemegang haknya?

    Menurut saya, UU Cipta Kerja tidak mengalihkan itu ke badan bank tanah, kecuali sudah menjadi tanah negara karena jatuh jempo jangka waktu pemberian hak. Jadi bagi BMN/ BMD sistemnya tetap berjalan sedia kala.

    Anda optimis kepada badan bank tanah?

    Normatif sudah maju eksponental, tetapi penerapan hukum kan berada di ruang sosial, bersimpul dengan birokrasi dalam keadaan konkrit.  Hukum yang efektif itu adalah hukum dilaksanakan dan menjadi  hukum empiris, yang nyata  berlaku dan dirasakan hasil kemanfaatannya, kepastiannya, dan keadilannya. Bukan hanya eksis sebagai aturan hukum formal.

    Kita sama-sama lihat bagaimana kenyataan sosial dan realitas hukum empirisnya. Di situlah, hemat saya bukan hanya substansi hukum perlu di-OmnibusLaw-kan, namun juga kelembagaan yang efektif dan budaya hukumnya yang kokoh untuk kebahagian sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya dengan memastikan keadilan dan kepastian dalam keadilan.  Seperti pernah saya tulis dari Omnibus Law ke Omnibus “Happy” Law.

    Saran Anda?

    Ya, badan bank tanah musti memiliki tata kelola yang baik, dengan profesional judgement rules, dan komite, pengawas dan badan pelaksana diisi sumberdaya yang kapabel dan kredibel.

    Regulasi harus pasti dan harmonisasi efektif. Standar etiknya mutlak mesti terbangun dengan solid.  PP-nya disusun sempurna tanpa sela, normanya  memiliki validitas tak hanya demi keberlakuan saja. Prosesnya harus  partisipatif, sehingga perumusannya utuh dan bisa mengantisipasi masalah, serta mengisi celah-celah hukum. Proses partisipatif itu bisa membenihkan kepercayaan publik.

    Saya menamsilkan  badan ini ibarat ombak yang datang menemui teluk, dimana airnya harus mengalir sampai ke sela-sela halus batu karang, sehingga tidak terjadi kekosongan “air” hukum.

     

     

     

     

  • Praktisi Pemasaran: Pasar Apartemen WNA Sebaiknya Dibuka Lebih Lebar

    JAKARTA, KORIDOR – Diperbolehkannya warga negara asing (WNA) beli apartemen dengan status Hak Milik untuk satuan rumah susun (sarusun) atau unitnya saja dalam  Omnibus Law RUU Cipta Kerja disambut gembira pelaku bisnis properti di tanah air. Kebijakan ini dianggap sebagai “angin segar” untuk perbesar potential market apartemen yang di masa pandemi Covid-19 ini merosot tajam.

    Meski demikian, Ali Hanafia Lijaya praktisi pemasaran properti menilai, payung hukum ini sudah terlambat jika dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Singapura malah berani memberikan hak Freehold Estate dan Leasehold Estate untuk pembelian apartemen oleh WNA.

    Freehold Estate adalah tanah yang dipegang hak atas tanahnya oleh seseorang untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Terdapat dua jenis freehold estate yaitu yang dapat diwariskan dan yang berlaku hanya sebatas seumur hidupnya. Sementara Leasehold Estate adalah tanah yang jangka waktunya ditentukan, umumnya 99 tahun atau 999 tahun.

    “Namun dengan adanya undang-undang ini masih lebih baik daripada tidak ada. Paling tidak akan memberikan confidence WNA yang ingin memiliki hunian dan berinvestasi properti di Indonesia,” kata Direktur Utama Li Realty ini, Senin (19/10), di Jakarta.

    Menurut Ali, jika pemerintah ingin WNA berinvestasi properti (apartemen) di Indonesia, maka contohlah Singapura. Pemerintah Singapura secara aktif mendorong masuknya investasi asing ke negaranya salah satunya adalah dengan cara mempermudah kepemilikan rumah susun bagi orang asing. Juga pajak transaksi yang tidak tinggi. Tidak heran kalau apartemen di Singapura, kata Ali, banyak dibeli orang asing termasuk warga negara Indonesia (WNI).

    Lantas apakah dengan dilegalkannya Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMSRS) bagi WNA, orang asing langsung berbondong-bondong beli apartemen  di Indonesia? “Ini tidak seperti makan cabai langsung pedes. WNA pasti wait and see juga. Apa benar peraturannya begitu? Bagaimana situasi politik dan keamanan di Indonesia? Apakah ada masalah jika mereka ingin jual kembali? Banyak hal yang akan mereka pertimbangkan untuk sampai pada keputusan berinvestasi,”  ujar Ali.

    Di samping itu, lanjut Ali, agar WNA tertarik beli apartemen, para pengembang harus melakukan berbagai inovasi dalam pembangunan dan pemasaran apartemen. Karena itu, studi kelayakannya harus tepat, terutama WNA dari negara mana yang disasar dan seberapa besar kemampuannya?

    Ali Hanafia Lijaya, Praktisi Pemasaran Properti dan Direktur Utama Li Realty (Foto: Ade/Koridor.online)

    Mengapa mesti takut

    Ali mengatakan, masyarakat tidak perlu takut kalau orang asing membeli apartemen berstatus HMSRS, maka harga property (apartemen) akan gila-gilaan. Walau kran pemilikan apartemen WNA dibuka, tapi aturan-aturan yang ada tetap membatasi. Bahwa WNA yang dapat membeli apartemen itu adalah WNA yang Berkedudukan di Indonesia yang keberadaanya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi, serta memiliki ijin tinggal di Indonesia.

    “Lagi pula ada batasan harga sesuai daerah masing-masing jika WNA ingin beli apartemen. Apartemen yang dibeli pun harus dari primary market (apartemen baru yang dipasarkan pengembang). Sehingga marketnya tidak terlalu besar. Yang kita jual itu hanya langit (unit apartemen), sementara tanahnya tetap Hak Guna Bangunan. Jadi mengapa mesti takut?,” pungkas Ali.

    Di saat ekonomi yang sedang menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19, Ali mengusul pembatasan-pembatasan tersebut dibuka saja. Toh tenaga kerja asing juga sudah berkurang atau kembali ke negaranya masing-masing. Jadi percuma dibatasi.

    Lebih lanjut Ali menyarankan, pemerintah jangan setengah-setengah bila ingin menarik orang asing investasi properti di Indonesia. Untuk saat ini sebaiknya dibuka lebih lebar sampai kuota tertentu, jika membludak baru dibatasi.

    “Regulasinya kan bisa kita buat on-off. Kalau belum apa-apa sudah dibatasi, ibarat perempuan merasa kecantikan, yakin banyak asing mau beli apartemen di Indonesia dengan iming-iming Hak Milik, padahal belum tentu. Jangan kepedean,” tegas Ali.

    Penulis: Erlan Kallo

  • UU Cipta Kerja “Angin Segar” bagi Pasar Apartemen

    JAKARTA, KORIDOR – Meski pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja menerbitkan banyak kontroversi, namun di sektor properti “naga-naganya” mendapatkan “angin segar”, khususnya di subsektor pasar apartemen. Pasalnya, dalam Undang-Undang tersebut kran pemilikan unit apartemen oleh orang asing diperbolehkan.

    Hal ini tercantum dalam Pasal 143 (hal.545) yang berbunyi: “Hak milik atas satuan rumah susun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”

    Kemudian berlanjut ke Pasal 144, ayat 1 (hal. 546) yang mempertegas siapa saja yang bisa mendapatkan Hak milik atas satuan rumah susun tersebut, yaitu: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; c. warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; atau e. perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia.

    Selanjutnya, Pasal 114 ayat 2 menerangkan, hak milik atas sarusun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan. Dan ayat 3 menjelaskan, Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Diperbolehkannya orang asing memiliki unit satuan rumah susun (Sarusun) ini diamini oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil dalam konferensi pers bersama UU Cipta Kerja, Rabu (7/10/2020).

    Menurut Sofyan menegaskan, Warga Negara Asing ( WNA) diizinkan untuk memiliki ruang rumah susun (rusun) atau apartemen. Izin ini diberikan karena sifat rusun berbeda dengan landed house (rumah tapak).

    Mengenai perdebatan soal kepemilikan apartemen oleh WNA karena apartemen berdiri di atas tanah bersama yang dimiliki bersama. Sofyan pun mengilustrasikan, bahwa kepemilikan tanah di rumah tapak dan apartemen itu berbeda. Misalnya tanah bersama di apartemen seluas 1.000 m2, maka masing-masing pemilik memiliki satu meter ruang apartemen karena tanah dibagi sesuai dengan jumlah apartemen di atas tanah bersama atau berdasarkan NPP (Nilai Perbandingkan Proporsional).

    “Karena ada 1 m2 itu bagi pemilik rumah tidak peduli dengan tanah 1 m2 tapi karena konstruksi hukum Hak Guna Bangunan (HGB) tidak boleh dimiliki orang asing maka selama ini yang terjadi perdebatan,” ujar Sofyan.

    Sofyan melanjutkan, UU Cipta Kerja juga mengatur WNA yang membeli apartemen, tidak akan mendapatkan hak atas tanah bersama. Namun, jika tanah atas apartemen itu dijual kepada WNI, maka tanah bersama akan menjadi milik bersama.

    Sementara untuk kepemilikan rumah tapak bagi orang asing, Sofyan mengatakan, pihaknya tidak merubah adapun ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Orang asing yang mau beri rumah tapak hanya boleh memiliki Hak Pakai.

    Sesuai dengan harapan para pengembang yang bermain apartemen selama ini. Menurut mereka potensi pasar apartemen untuk orang asing sangat lah besar, namun menjadi tidak menarik karena regulasi yang ada tidak mendukung hal tersebut, karena orang asing hanya boleh memiliki sebagai Hak Pakai.

    Di DKI Jakarta penyerapan pasar apartemen  dari tahun 2015 terus merosot. Data dari Colliers International (Indonesia) menyebutkan tren penurunan yang signifikan di DKI Jakarta yaitu: 2015 : 10.620 unit, 2016  : 8.867 unit,  2017 : 8.243 unit,  2018 : 5.898 unit, dan 2019 : 4.682.

    Apakah UU Cipta Kerja ini benar-benar menjadi “angin segar” bagi pasar apartemen di Indonesia? Tentunya masih banyak faktor yang menjadi pertimbangan orang asing membeli apartemen di Indonesia. Namun jika benar UU Cipta Kerja ini jadi diundangkan, maka paling tidak menjadi secercah harapan di tengah gelombang pandemi tak berkesudahan.

    Penulis: Erlan Kallo

  • Kiat Aman Akuisisi Perusahaan Properti Nasabah Bank

     

    SELAMA pandemi ini, saya banyak dimintakan pendapat hukum tentang rencana pembelian saham perusahaan properti yang merupakan nasabah bank. Pengembang properti tadi bermaksud mengalihkan sahamnya kepada investor lain. Pengambilalihan saham pengembang properti oleh investor baru diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan properti dan memitigasi risiko perbankan.

    Nah, tulisan ini akan menguraikan lebih lanjut bagaimanakah transaksi legal agar akusisi pengembang properti nasabah bank berlangsung dengan risiko hukum pengembang, investor dan bank tetap termitigasi?

    Istilah akuisisi lebih populer disebut dengan take over atau ambil alih. Akuisisi perusahaan secara sederhana dapat diartikan pengambilalihan perusahaan dengan cara membeli saham mayoritas perusahaan sehingga menjadi pemegang saham pengendali. Akuisisi saham berbeda dengan pembelian saham biasa karena dalam akuisisi saham jumlah saham yang dibeli relatif banyak sehingga dapat mengubah posisi pemegang saham pengendali. Untuk akuisisi saham perusahaan yang sudah terbuka (go public) harus mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

    Investor yang membeli saham pengembang properti senantiasa mengharapkan dapat menjadi pengendali pada perusahaan. Kedudukan sebagai pengendali hanya dapat dilakukan apabila porsi kepemilikan saham lebih besar dibandingkan dengan porsi pemegang saham lainnya. Dengan menjadi pengendalimereka merasa aman terhadap keuntungan investasi yang diharapkannya. Kalau disimak lebih lanjut maka kita akan menemukan adanya 2 (dua) mekanisme pengambilalihan saham (pasal 125 ayat 1 UUPT). Pengambialihan saham dapat dilakukan melalui Direksi Perseroan atau secara langsung dari Pemegang Saham.

    Dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas,disebutkan bahwa pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut (Pasal 1 ayat 11). Investor yang mengambil alih dapat berupa badan hukum atau dapat pula perorangan. Sedangkan pengembang properti yang akan diambilalih haruslah berbentuk Perseroan Terbatas.

    Pengembang properti di perbankan bukan hanya dalam bentuk Perseroan Terbatas tetapi ada juga yang berbentuk Koperasi, CV bahkan perorangan. Mekanisme pengambilalihan saham atau akuisisi tidak mungkin dilakukan terhadap pengembang yang bukan dalam bentuk Perseroan Terbatas.Kepemilikan dalam bentuk saham hanya dikenal dalam badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas.

    Juneidi D Kamil

    Dalam praktek perbankan terdapat beberapa alasan pengembang properti yang merupakan nasabah bank mengalihkan sahamnya kepada investor. Pertama, adanya kesulitan cashflow yang dihadapi pengembang sehingga pengembang mengalami kesulitan untuk melanjutkan usaha dalam membangun dan mengelola proyek properti. Kedua, sebagai solusi atas konflik yang terjadi antara perusahaan dengan pihak lain seperti pemilik tanah, kontraktor atau supplier.

    Ketiga, bagian dari upaya pemegang saham secara pribadi untuk menghindar dari kewajiban menyelesaikan utang kepada bank. Bankir sebelum memberikan persetujuan terhadap permohonan pengalihan saham kepada pihak lain sebagaiknya mengidentifikasi alasan-alasannya.

    Transaksi Legal

    Transaksi akuisisi pengembang properti nasabah bank harus harus dilakukan secara aman dan bijak. Secara aman artinya transaksi akuisisi dilakukan setelah melakukan pemeriksaan menyeluruh (due dilligence) dan patuh (compliance) kepada kesepakatan dalam perjanjian yang dibuat antara nasabah dan bank dan tunduk pada peraturan perundang-undangan lainnya. Undang-undang No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas sudah mengatur secara eksplisit mekanisme perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.

    Sedangkan secara bijak, transaksi akusisi harus pula memperhatikan hal-hal lain terkait kepada kelangsungan penyelesaian proyek dan pengelolaan properti serta penyelesaian kewajiban kepada bank. Perusahaan yang bermaksud mengambil-alih saham pengembang properti nasabah bank perlu menyadari apabila kolektibilitas nasabah sudah bermasalah (Kurang Lancar, Diragukan dan Macet) yang akan berdampak kepada perusahaan dan diri pribadi dalam dukungan pembiayaan bank.

    Akuisisi pengembang properti nasabah bank harus menempuh beberapa tahapan-tahapan. Pertama, penandatanganan memorandum of understanding (MOU) atau nota kesepahaman antara investor baru dengan manajemen perusahaan yang perusahaannya akan diambil alih sekaligus memuatNon Disclosure Agreement (NDA). Di dalam NDA dibuat kesepakatan untuk mengakui dan menyetujui bahwa informasi yang diberikan oleh masing-masing pihak bersifat ekslusif dan sangat rahasia.

    Kedua, apabila antara pengembang properti nasabah bank sudah disepakati tentang rencana akusisi maka selaku nasabah wajib meminta persetujuan kepada bank tentang rencana pengalihan saham. Dalam perjanjian kredit yang disepakati terdapat beberapa larangan/pembatasan yang dilakukan pengembang properti selaku nasabah. Dalam praktek perbankan disebut dengan klausula Negative Covenant yang dituangkan dalam perjanjian kredit.Pengembang properti selaku nasabah bank dilarang atau dibatasi melakukan perubahan Anggaran Dasar perseroan mencakup perubahan pengurus, perubahan pemegang saham, pengalihan saham, menjadikan saham sebagai agunan, dan lain-lain tanpa sebelumnya mendapatkan persetujuan bank.

    Ketiga, apabila sudah mendapatkan persetujuan dari bank maka selanjutkan dilaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), RUPS dalam transaksi akusisi harus dilakukan oleh perseroan yang mengambilalih, tentunya ini hanya berlaku dalam hal pihak yang mengambilalih adalah suatu Perseroan Terbatas karena bisa saja yang mengambil alih adalah perseorangan atau badan hukum asing.Dalam hal akuisisi dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan, Direksi melakukan transaksi berdasarkankeputusan RUPS.Selain perusahaan yang mengambilalih, perusahaan yang diambilalih juga harus melakukan RUPS.

     Keempat, pembuatan Rancangan Pengambilalihan oleh Direksi Perseroan yang akan diambil alih dan perseroan yang akan mengambil alih dengan persetujuan Dewan Komisaris. Rancangan Pengambilalihan dibuat apabila pengambilalihan dilakukan melalui Direksi. Rancangan pengambilalihan memmuat alasan-alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan Direksi Perseroan yang akan diambil alih serta hal-hal lain.

    Kelima, pengumuman koran. Direksi perusahaan yang akan mengambil-alih wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan yang akan melakukan pengambilalihan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS. Kewajiban pengumuman di atas tidak hanya berlaku bagi jalur melalui Direksi tetapi juga berlaku bagi jalur langsung kepada pemegang saham.

    Keenam, pembuatan akta pengambilalihan saham (akusisi).Akta pengambilalihan saham dibuat dalam bentuk akta notaris dan berbahasa Indonesia dari setiap mekanisme pengambilalihan baik dari jalur direksi maupun langsung dengan pemegang saham.

    Ketujuh, pemberitahuan perubahan AD atau perubahan pemegang saham ke MenteriHukum dan HAM. Apabila perubahan AD  bukan hanya menyangkut kepada perubahan pemegang saham tetapi juga melakukan perubahan terhadap nama perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, jangka waktu berdirinya perseroan, besarnya modal dasar, pengurangan modal ditempatkan dan disetor, dan/atau status perseroan yang tertutup menjadi perseroan terbuka atau sebaliknya maka harus memintakan persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM.

    Kedelapan, pengumuman koran kembali.Proses pengambilalihan saham tidak hanya dibuat 1 (satu) kali pengumuman saja. Pengumuman harus dilakukan kembali oleh Direksi perusahaan yang diambil alih kembali paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejaksejak terjadinya pengambilalihan saham. Pengumunan dilakukan dalam 1 (satu)surat kabar atau lebih.

    Transaksi akuisisi pengembang properti nasabah bank harus dilakukan secara aman dan bijak. Di atas sudah diuraikan secara umum tentang akusisi serta 8 (delapan) tahapan untuk pelaksanaan transaksinya secara legal.Transaksi akusisi pengembang properti nasabah bank yang dilakukan secara ugal-ugalan ibarat menyimpan bara dalam sekam, suatu saat akan menimbulkan risiko termasuk risiko hukum yang semakin kompleks. Bagi pengembang properti nasabah bank serta para Bankir, aman dan bijaklah dalam berbisnis.

    Semoga artikel ini bermanfaat.

     

    *). Penulis adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan

    Email : kamiljuneidi@gmail.com.

     

     

  • Utang Menurut UU Kepailitan dan PKPU

     

    Pengertian utang dalam Undang-undang No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) sudah diperluas.

    Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor (pasal 1 butir 6 UUKPKPU).

    Berdasarkan perumusan ini maka pengertian utang tidak dibatasi hanya utang yang berdasarkan dari hubungan hukum pinjam meminjam saja, tetapi dalam pengertian yang luas. Batasan yang diberikan adalah bahwa utang tersebut harus dapat dinyatakan dalam jumlah uang atau memiliki nilai ekonomis.

    Dalam perkembangan hukum kepailitan di Indonesia, konsep mengenai utang seringkali menuai perdebatan baik dalam tataran akademis maupun praktis. Banyak silang pendapat diantara Hakim, Pengacara dan para ahli hukum. Mereka berdebat mengenai konstruksi hukum “utang” yang paling baik menjamin keadilan kreditor dan debitor.

    Pada awal berlakunya UU No.4/1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan Menjadi Undang-undang, utang ditafsirkan berbeda-benda. Ada yang memberikan pengertian secara sempit, dan ada pula yang memberikan pengertian secara luas.

    Dalam pengertian sempit, utang timbul dari perjanjian utang piutang yang berupa sejumlah uang. Sedangkan dalam pengertian luas, utang mencakup kewajiban yang timbul sebagai akibat adanya perjanjian di luar perjanjian utang piutang.

    Pernah terjadi putusan yang berbeda antara Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Mahkamah Agung dalam kasus PT Modern Land Realty Ltd. Dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.07/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 8 Oktober 1998,  Majelis Hakim Pengadilan Niaga telah mempertimbangkan bahwa istilah utang dalam pasal 1 ayat 1 UUNo.4/1998 tidak hanya mencakup utang dalam suatu perjanjian pinjam meminjam, melainkan juga kewajiban yang timbul dari perjanjian lain atau dari transaksi yang mensyaratkan untuk diadakannya pembayaran.

    Sementara itu, Mahkamah Agung RI dalam putusan perkara kasasi No.03/K/N/1998 tanggal 2 Desember 1998 dan perkara peninjauan kembali No.06.PK/N/1999 tanggal 14 Mei 1999 berbeda dengan pendapat Pengadilan Niaga. Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa utang dalam dalam pasal 1 ayat 1 UU No.4/1998 meliputi kepailitan yang didasarkan pada hubungan hukum pinjam meminjam saja.

    Perbedaan pendapat atas utang dalammemeriksa permohonan kepailitan tersebut sudah pasti memberikan dampak negatif terhadap implementasi hukum kepailitan karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Apabila ada dua permohonan pailit yang berbeda dengan dasar utang dalam hubungan hukum yang sama, karena perbedaan penafsiran atas pengertian utang dapat menimbulkan putusan yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan perspektif hakim dalam menafsirkan undang-undang.

    Batasan Minimal Utang

    Persoalan utang tidak hanya berkaitan dengan masalah batasan pengertian utang, tetapi juga mengenai jumlah utang. Berapakah jumlah utang yang dapat diajukan dalam suatu permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)/Kepailitan?

    Hukum kepailitan di Indonesia saat ini tidak menganut pembatasan jumlah nilai nominal utang seperti yang terdapat di Negara lain. Mahkamah Agung RI tidak mempermasalahkan masalah besar kecilnya utang, karena utang tetap utang dan tidak tergantung kepada besar atau kecil jumlahnya. Perusahaan atau perorangan yang jumlah utangnya kecil jarang mau dipailitkan, apabila ada kreditor yang mengajukan permohonan pailit mereka akan langsung membayarnya supaya permohonan kepailitan dicabut.

    Dalam praktik jarang debitor pailit jumlah utangnya lebih kecil dari harta yang dimilikinya. Kalau harta yang dimiliki lebih besar biasanya debitor tidak akan mau diselesaikan dengan cara kepailitan. Kepailitan akan berdampak negatif saat memulai usaha kembali karena orang tidak akan percaya menginvestasikan modalnya. Di Indonesia mereka yang memohonkan atau dimohonkan pailit utangnya lebih besar dari harta yang dimilikinya dan mereka sudah dalam keadaaan tidak sanggup membayar (insolvensi).

    Pembatasan jumlah nilai nominal utang dalam permohonan perkara kepailitan sebenarnya merupakan suatu kelaziman yang dianut di beberapa Negara seperti Singapura, Hongkong, Filipina, Kanada dan bahkan Amerika Serikat. Dalam Undang-undang Kepailitan Singapura misalnya membatasi nominal utang minimal S$10.000 (sepuluh ribu) yang dapat menjadi dasar pengajuan permohonan pailit.

    Pembatasan jumlah nilai nominal utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan dimaksudkan untuk membatasi permohonan pailit terhadap kreditor yang memiliki  jumlah utang yang nilainya kecil (di bawah minimum) dan pembatasan skala penanganan perkara kepailitan. Pembatasan ini sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap kreditor mayoritas dari kesewenangan-wenangan kreditor minoritas.

    Juneidi D Kamil

    Utang Jatuh Tempo

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak memberikan suaturumusan mengenai utang jatuh tempo. Meskipun demikian, jika merujuk pada ketentuan KUHPerdata maka,“Debitor adalah lalai, apabilaia dengan surat perintah, atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannyasendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan (pasal 1238).

    Undang-undang membedakan kelalaian berdasarkan adanya ketetapan waktu dalam perikatannya dan tidak adanya ketetapan waktu yang diatur dalam perikatan tersebut. Dalam hal terdapat ketetapan waktu, maka terhitung sejak lewatnya jangka waktu yang telah ditentukan dalam perikatan tersebut. Dalam hal tidak ditentukan terlebih dahulu saat debitor berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya tersebut, debitor baru dianggap lalai jika ia telah ditegur untuk memenuhi atau menunaikan kewajibannya yang terutang tersebut masih juga belum memenuhi kewajibannya.Bukti tertulis dalam bentuk teguran kepada debitor mengenai kelalaian debitor untuk memenuhi kewajibannya menjadi dan merupakan satu-satunya bukti debitor telah lalai.

    Di samping itu, dalam perjanjian juga diatur tentang kelalaian pihak dalam perjanjian yang dapat mempercepat jatuh tempo suatu utang. Istilah ini dikenal dengan sebutan konsep akselerasi atau percepatan jatuh tempo. Debitor dapat disebut gagal dalam memenuhi perjanjian (default), apabila tidak dipenuhinya sesuatu yang telah diperjanjikan oleh debitor dan kreditor dalam perjanjian kredit. Dalam perjanjian kredit misalnya terdapat klausul yang disebut events of default. Berdasarkan klausul ini, bank berhak untuk menyatakan debitor lalai dalam memenuhi kewajibannya dalam perjanjian kredit. Terjadinya peristiwa itu bukan saja mengakibatkan debitor cidera janji, tetapi juga membeirikan hak kepada bank untuk menagih seketika pengembalian kredit yang sudah digunakan.

    Mitigasi Risiko

    Pembelajaran dari perkara sengketa utang terhadap pengembanng yang berlangsung di Pengadilan Niaga ini cukup berharga. Pengembang jangan sampai gagal paham dalam memaknai utang, sehingga risiko hukum sengketa utang di Pengadilan Niaga dapat dimitigasi. Uraian terkait utang diharapkan menjadi bekal yang sangat berharga bagi pengembang properti untuk berhati-hati. Sehingga, pengembang properti dapat bertindak aman dan bijak dalam melakoni bisnis properti.

    Penulis adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan

    Email : kamiljuneidi@gmail.com

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

  • Erwin Kallo Minta Revisi UU Pailit Dinaikkan Status Konsumen Jadi Kreditur Preferen

    JAKARTA, KORIDOR – Pandemi Covid-19 ternyata tidak hanya memakan korban individu manusia, tetapi beberapa perusahaan pengembang (properti) turut merasakan dampaknya yang harus berujung pailit alias bangkrut.

    Pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadaan yang berwenang.

    Satu salah kasus pailit pengembang yang belum lama ini sudah mendapatkan “sertifikat kebangkrutannya” adalah  PT Cowell Development Tbk, pengembang perumahan mewah di kawasan Serpong, Kota Tangerang Selatan, dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dengan register Nomor: 21/Pdt. Sus/Pailit/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst, yang diajukan oleh kreditor atas nama PT Multi Cakra Kencana Abadi.

    Kasus-kasus kepailitan perusahaan properti ke depan mungkin saja akan terus berlanjut dan hal ini mengundang keprihatinan Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia (LAKPI) Erwin Kallo. Sebab dalam setiap kasus pailit tersebut akan merugikan berbagai pihak, terutama konsumen dan developer itu sendiri.

    “Sudah menjadi rahasia umum jika “proyek” pailit ini sering ada mafianya, bahkan tidak jarang ada pemodalnya, dan memang di-setting dari awal. Ujung-ujungnya yang paling dirugikan selalu adalah konsumen jika terjadi kasus pailit,” kata Erwin dalam acara Exclusive Interview bertema “Pailit di Industri Properti, Siapa Untung Siapa Rugi”, yang disiarkan secara live di CNBC Indonesia, Jumat, 18 September 2020.

    Mengapa dirugikan, karena dalam Undang-Undang Kepailitan, konsumen itu dikategorikan sebagai Kreditur  Konkuren, yaitu kreditor yang tidak mempunyai hak untuk menguasai jaminan berupa benda sehingga penyelesaian utang terhadap Kreditur Konkuren dilakukan setelah kewajiban terhadap kreditur lain diberikan. Berbeda dengan Kreditur Preferen yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa.

    Artinya, properti konsumen (terutama yang belum lunas) itu masih dihitung sebagai aset developer (deditur), sehingga pembayarannya paling akhir setelah utang-utang developer kepada pihak ketiga terutama kontraktor  dibayarkan. Celakanya, uang dari kasus pailit ini sering tersisa hanya sedikit, bahkan bisa minus.

    Karena itu, Erwin mengusulkan, agar dalam resivi UU Kepailitan status konsumen dinaikkan dari Kreditur Konkuren menjadi Kreditur Preferen. Mengapa demikian? Karena selama ini mungkin pertimbangannya kontraktor yang bangun, sehingga uangnya dari kontraktor dan wajar didahulukan pembayarannya ketika terjadi pailit. Itu kalau turnkey project.

    Turnkey project ini adalah pembayaran oleh developer atau pemilik proyek terhadap kontraktor sebagai pelaksana pada saat pekerjaan telah selesai seluruhnya atau pada saat proyek serah terima dari pelaksana ke pemilik.

    “Tapi dalam kenyataannya tidak. Kalau sistem progress payment itu uangnya kosumen (untuk membangun). Jadi seharusnya konsumen ditempatkan sebagai Kreditur Preferen. Kalau Konkuren kasihan. Sebab apa? Dia (konsumen) tidak terlibat kesalahan terhadap proyek itu. Kalau kontraktor bisa saja salah. Saya banyak temukan kontraktor yang nakal. Artinya status Preferen kontraktor justru saya pertanyakan. Selain konsumen yang paling dirugikan, adalah developer dan bank,” tegas Erwin.

    Justru itu, kata Erwin, konsumen mau tidak mau harus mencegah terjadi pailit dalam rapat kreditur dengan menggunakan hak suara. “Dan yang paling untung adalah oknum, para distressed investor dan tentu saja kurator. Karena kurator langsung mendapatkan bagian 7% di depan, apapun hasil akhir kepailitannya,” ungkapnya.

    Penulis: Erlan Kallo

  • DPR dan Pemerintah Kembali Bahas Soal Bank Tanah Dalam RUU CiptaKerja

    JAKARTA,KORIDOR—Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah, Rabu,16/9 kembali membahas tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.  Kali ini yang menjadi pokok bahasan adalah mengenai daftar inventaris masalah (DIM) nomor 6594 sampai 6618, terkait pembentukan Badan Bank Tanah.

    Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Himawan Arief Sugoto dalam kesempatan itu menjelaskan bahwa pembentukan Bank Tanah dilakukan dalam rangka mengelola dan mengatur tanah di Indonesia yang mana ada kekosongan hukum dalam rangka mengendalikan dan mengelola pertanahan di Indonesia.

    “Mengingat tanah sangat bermanfaat dan sangat strategis dan kita harus menjaga bagaimana pemerintah dapat menjalankan tugasnya land manager,” ujarnya.

    Himawan menambahkan, saat ini Kementerian ATR/BPN baru berperan sebagai regulator dan administrator. Dari sisi pengelolaan manajemen tanah di dalam konteksnya sebagai land manager, Kementerian ATR/BPN tidak memiliki tugas dan fungsi seperti Bank Tanah.

    “Padahal kalau kita lihat kebutuhan terhadap pembangunan, kebutuhan terhadap keadilan pertanahan, kebutuhan terhadap dalam menunjang pertumbuhan ekonomi menyebabkan investasi yang lebih kompetitif dan juga mempercepat proses pengadaan tanah yang mungkin tidak harus bergantung pada APBN,” kata dia.

    Menurutnya, tekanan terhadap pengadaan tanah adalah permudahan terhadap anggaran belanja negara yang begitu besar. Padahal, pemerintah bisa mengelola tanah tanah yang ada di Tanah Air dengan konsep pengelolaan land banking yang sudah diterapkan di banyak negara.

    “Karena konstruksi hukum tanah kita dalam pemahaman UU pokok agraria sebenarnya juga ada pada pasal-pasal dimana pemerintah disebut adalah untuk menguasai negara, wajib untuk melakukan penyediaan tanah dan peran penguasa tanah,” ucapnya.

    Untuk itu maka pada RUU Cipta Kerja kita berinisiatif membentuk sebuah badan yang melaksanakan tugasnya mengelola tanah, menghimpun tanah, mendistribusikan tanah kembali untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi tanah dan reforma agraria yang terkendali,” sambungnya.

    Oleh karena itu, Himawan menyebut untuk mengkolaborasi seluruh hal tersebut, maka diperlukan sebuah badan yang bersifat nirlaba, akuntabel, transparan namun memiliki fungsi yang bisa baik sosial, publik dan private, yaitu Bank Tanah.

    Staf Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah Andi Tenrisau menambahkan, tujuan pembentukan bank tanah diatur dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Pada Pasal 124 dalam RUU ini disebutkan bahwa badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan, pemerataan ekonomi, konsoolidasi lahan, dan reforma agraria.

    “Jadi kekhawatiran dikuasai oleh oknum tertentu itu tidak ada. Sebab, pengaturan sudah ditentukan sedemikian rupa,” ujar Andi.

    Beberapa waktu yang lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil sempat menjelaskan, pemerintah pusat kerap kesulitan menyediakan tanah untuk investor. Sebab, pengadaan lahan masih terbatas untuk kepentingan umum yang tidak berorientasi pada penciptaan lapangan kerja.

    Selama ini, pemerintah harus melakukan pembebasan tanah terlebih dulu untuk kemudian diberikan kepada investor. Padahal, butuh waktu bertahun-tahun untuk membebaskan lahan. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja kerap terkendala pada pengadaan tanah.

    Karena itu, pemerintah menilai perlu ada badan khusus yang mengelola bank tanah. Dengan begitu, investor diharapkan bisa segera mendapatkan tanah saat diperlukan. Selain itu, pemerintah dapat memberikan tanah sebagai insentif untuk investor.

  • KPR Ditolak Bank, Developer Ogah Balikin DP

    KORIDOR, JAKARTA – Membeli rumah melalui pembiayaan kredit dari perbankan, yaitu KPR (Kredit Pemilikan Rumah) umumnya konsumen dikenakan uang muka atau down payment (DP), yang besaran sekitar 10 – 30 persen. Agar lebih menarik dan tidak mengganggu cashflow calon pembeli, DP ini dapat dicicil panjang, bahkan ada developer yang berani 3 hingga 4 tahun.

    DP dibayarkan konsumen bersamaan dengan proses KPR, dan jika cicilan DP-nya panjang maka biasa akan diurus menjelang pelunasan DP tersebut. Masalahnya, bagaimana bila ternyata pengajuan KPR ke bank itu tolak?

    Harusnya tidak ada masalah, karena umumnya dalam Surat Pesan Rumah (SPR), dinyatakan jika KPR ditolak karena merupakan kebijakan bank, maka DP akan dikembalikan (refund), namun ada potongan-potongannya. Sialnya, meski sudah ada dalam perjanjian (SPR) kadang ada developer ogah balikin DP.

    Hal ini dialami oleh Wati (bukan nama asli) yang membeli rumah di sebuah perumahan di Cibinong, Kab. Bogor yang pada tahun 2017. Waktu itu Wati tertarik karena cicilan DP-nya ditarik panjang hingga 3 tahun (2017-2020). Dia pede mengambil rumah seharga Rp521 juta karena akan joint income dengan suaminya yang juga berprofesi guru.

    “Yang paling menarik adalah rumah bisa langsung menempati dengan syarat tidak mengubah dan menambah bangunan,” ujar Wati, dalam surat keluhan yang disampaikan ke Redaksi Koridor.online, pertengahan awal September 2020.

    Sesuai dengan perjanjian, proses KPR dilakukan tahun 2020, dengan dikenakan BPHTB dan biaya full notaris. Wati mengikuti semua point yang ada pada perjanjian.  Membayar DP sebesar Rp64 juta dan memasukkan berkas KPR di bulan Juli 2020. Ternyata berkas KPR-nya ditolak bank.  Karena akibat pandemi Covid-19 ini, Wati sudah tidak bekerja lagi, sehingga bank tidak “berani” memberikan  fasilitas KPR. Mungkin ke depannya dikhawatirkan gagal bayar.

    Merujuk SPR pasal 5, ayat f, maka KPR konsumen ditolak bank, maka pihak developer akan mengembalikan uang DP dikurangi booking fee dan dipotong sebesar 15% dari total uang yang telah dibayar.

    Mengacu pada klausula tersebut, maka awal Agustus 2020 Wati mengajukan Surat Permohonan refund DP. “Pada saat kami mengajukan refund kami mengikuti semua prosedur diantaranya mengembalikan SPR asli, mengembalikan bukti kwitansi asli dan lain-lain,” ungkapnya.

    Setelah itu, dia mendapat info dari staf developer ternyata pengajuan uang refund-nya tidak disetujui dengan alasan tidak jelas. Seketika itu juga dia minta semua berkas aslinya dikembalikan tapi belum dikembalikan. Dia pun bingung dan mempertanyakan posisi hukumnya, apakah  kuat jika menuntut secara hukum terkait pengembalian DP yang sudah kami bayarkan ke developer?

    Menurut Garry Triargo praktisi hukum properti, kasus yang dialami Wati ini sering terjadi. Namun persoalannya tidak bisa disamaratakan, tapi harus dilihat kasus per kasusnya. Tapi pada prinsipnya, katanya,  hubungan hukum yang timbul antara Wati dengan developer adalah berdasarkan Surat Pemesanan Rumah (“SPR”), sehingga berlaku asas pacta sun servanda atau perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihaknya.

    “Berdasarkan keterangan Ibu Wati proses pengajuan KPR-nya telah mendapat penolakan dari pihak bank, mesikpun syarat telah terpenuhi, karenanya menjadi perlu surat keterangan dari bank yang menyatakan meskipun syarat-syarat pengajuan KPR telah dilengkapi tetapi berdasarkan kebijakan bank pengajuan KPR ibu ditolak sebagai bukti penolakan dimaksud,” jelas Garry.

    Jika telah memperoleh bukti tersebut, lanjutnya, maka sudah tepat jika Wati mengajukan (haknya) refund berdasarkan pasal 5, huruf F SPR, namun jika dari pihak developer tetap tidak memenuhi ketentuan refund tersebut, maka dapat dipastikan pihak developer telah melakukan wanprestasi atas ketentuan tersebut.

    “Kalau itu terjadi, maka sesuai mekanisme perselisihan SPR yaitu melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat, namun dalam hal tidak tercapai mufakat, maka Wati dapat mengajukan gugatan wanprestasi pada domisili hukum yang telah ditentukan dalam SPR yaitu Pengadilan Negeri setempat setelah terlebih dahulu memberikan somasi/teguran kepada pihak developer,” saran Garry.

    Garry mengingatkan, merupakan hal penting asli dokumen dan kwitansi akan menjadi alat bukti di pengadilan harus diminta kembali. Karenanya perlu dipastikan apakah ketika menyerahkan dokumen asli tersebut terdapat tanda terima dari developer. Hal tersebut penting untuk disiapkan sebagai bukti di kemudian hari, sehingga berdasarkan tanda terima tersebut ibu dapat meminta kembali dokumen asli tersebut.

    “Tapi jika dari pihak developer tetap tidak mengembalikan Wati dapat memberikan somasi/teguran dan membuat laporan polisi atas dugaan penggelapan dokumen dan/atau penipuan, dimana kerugian dapat ditimbulkan akibat hilangnya bukti-bukti tersebut sehingga ibu tidak dapat memberikan bukti asli pada gugatan wanprestasi yang telah diterangkan sebelumnya,” tandasnya.

    Penulis: Erlan Kallo

  • Atasi Sengketa Tanah Proyek Perumahan dengan Solusi 3P

     

    Oleh: Juneidi D Kamil, SH. ME. CRA

    Sengketa kasus tanah yang melibatkan pengembang dan pemilik tanah atau oknum yang mengaku pemilik tanah sah masih sering terjadi di industri properti. Beberapa kasus berujung ke pengadilan dan melewati jalur yang panjang sekali. Namun ada kasus yang diselesaikan secara damai atau kekeluargaan.

    Dalam menghadapi masalah-masalah sengketa tanah ini, sebaiknya perusahaan properti lebih mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan (non litigasi). Pola penyelesaian dengan cara ini lebih efektif dibandingkan dengan harus berperkara di pengadilan. Solusi 3P dapat dilakukan sebagai upaya menyelesaikan permasalahan ini. Solusi 3P adalah singkatan dari Pastikan, Pertimbangkan dan Putuskan.

    Pertama, pastikan posisi hukum perusahaan  terhadap hak  atas tanah proyek perumahan harus diketahui secara pasti. Apakah  penguasaan  hak atas  tanah  itu sudah kuat secara  hukum? Atau, apakah penguasan itu justru memiliki kelemahan.

    Kedua, pertimbangkan  instrumen  pilihan penyelesaian hukum baik non litigasi maupun litigasi. Harus diukur biaya, jangka waktu dan  prosedur  yang diperlukan dalam setiap instrumen penyelesaian. Ketiga, putuskan  solusinya  segera, dengan memperhatikan kepastian posisi hukum dan beberapa alternatif penyelesaian yang dimungkinkan.

    Untuk mengetahui secara pasti posisi hukum perusahaan atas permasalahan tanah tersebut, maka pengembang harus melakukan pemeriksaan masalah hukum (legal audit). Pemeriksaan masalah hukum ini dilakukan berdasarkan dokumen-dokumen yang ada serta informasi-informasi lain yang diperlukan. Perusahaan properti mungkin dapat menugaskan bagian legal perusahaan untuk melakukan legal audit.

    Pemeriksaan hukum akan memberikan gambaran tentang kekuatan hukum dan kelemahan hukum perusahaan dalam penguasaan tanah perumahan tersebut. Kesimpulan dari legal audit yang dibuat akan memberikan pendapat hukum (legal opinion) dengan rekomendasi langkah penyelesaian yang terbaik. Penyelesaian terbaik itu tentu saja akan diukur berdasarkan biaya (cost), prosedur dan jangka waktu penyelesaian.

    Sebagai bahan pertimbangan, berdasarkan UU No. 5/ 1960 dan PP No.40/2007 tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat hak atas tanah itu bukanlah satu-satunya alat bukti. Sertifikat hak atas tanah hanya merupakan alat pembuktian yang kuat. Terhadap sertifikat hak atas tanah itu masih terbuka kemungkinan pihak lain untuk menggugat keabsahan kepemilikannya.

    Perusahaan pengembang juga sebaiknya mempertimbangkan beberapa mekanisme penyelesaian yang dapat dilakukan baik penyelesaian non litigasi maupun litigasi. Bentuk penyelesaian non litigasi lain, selain langsung dilakukan secara kekeluargaan adalah melalui mediasi yang terdapat di Kantor BPN dimana obyek tanah terperkara itu berada.

    Juneidi D Kamil

    Apabila penyelesaian secara non litigasi tidak dapat menjadi solusi, maka harus dipahami pihak yang mengaku atas kepemilikan tanah itu dapat mengajukan gugatan secara perdata, gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bahkan tuntutan pidana.

    Gugatan perdata dilakukan dengan alasan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Pasal ini mengatur bahwa, “Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”.

    Mereka juga dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk menuntut pembatalan atas penerbitan sertifikat hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan UU No.5/1986 jo. UU No.51/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Mereka akan mendalilkan dalam gugatannya bahwa penerbitan sertifikat hak atas tanah itu tidak sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

    Sedangkan tuntutan pidana dapat dilakukan atas dasar penguasaan tanah tanpa hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Prp tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya. Tuntutan pidana juga dapat disertai dengan alasan pasal 385 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling lama empat tahun, atau tidak tertutup kemungkinan juga mereka melakukan pelaporan pidana atas dasar adanya dugaan tindak tindak pidana pemalsuan (pasal 263 dan 266 KUHP).

    Langkah-langkah hukum secara litigasi itu dapat mengakibatkan proyek perumahan itu status quo (standfast). Keadaan ini dapat menyebabkan munculnya kendala dalam penjualan kepada konsumen yang berminat untuk membeli. Aliran kas (cashflow) keuangan perusahaan pasti akan terganggu.

    Jika proyek perumahan tersebut mendapat dukungan kredit modal kerja konstruksi dan KPR dari perbankan, maka pihak bank pasti akan khawatir memberikan pencairan kredit dalam tahap berikutnya. Sebaiknya permasalahan ini dapat secepatnya diselesaikan dan tidak berlarut-larut.

    Pengembang tidak perlu khawatir terlalu berlebihan atas adanya risiko-risiko hukum. Pada hakekatnya risiko hukum atas proyek perumahan itu bisa diukur berdasarkan hasil legal audit yang telah dilakukan.

    Silahkan gunakan solusi 3P untuk penyelesaian permasalahan sengketa tanah. Semoga bermanfaat.

     

    Penulis adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan

    Korespondensi dapat disampaikan melalui:

    email : kamiljuneidi@gmail.com

     

     

     

     

     

     

     

     

Back to top button