JAKARTA, KORIDOR.ONLINE- Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) tengah mematangkan penyusunan peta jalan (road map) Program Tiga Juta Rumah. Dengan alokasi APBN yang terbatas, Kementerian PKP tengah menyiapkan sejumlah skenario untuk dapat mencapai target Program Tiga Juta Rumah untuk rakyat.
Menteri PKP Maruarar Sirait mengatakan, sekenario yang disiapkan tersebut merupakan rencana kerja yang nantinya akan disampaikan dalam rapat bersama DPR RI.
“Selanjutnya kita agendakan bertemu dengan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia) untuk memperjelas target kerja yang harus dicapai Kementerian PKP beserta rencananya,” kata Menteri PKP Maruarar Sirait.
Dalam rapat kali ini, Jumat (17/1/2024), Kementerian PKP juga mengundang sejumlah perwakilan asosiasi pengembang sebagai bagian dari ekosistem perumahan untuk menyiapkan skenario Program Tiga Juta Rumah.
Skenario yang disiapkan Kementerian PKP di antaranya dengan memanfaatkan anggaran APBN Tahun 2025 yang telah ditetapkan serta mendorong ekosistem perumahan dalam pembangunan perumahan bagi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Skenario lainnya adalah dengan realokasi APBN dan dukungan ekosistem perumahan. Skenario terakhir adalah dengan tambahan APBN-P dan dukungan ekosistem perumahan
IKN, KORIDOR.ONLINE– Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Perumahan siap memastikan pelaksanaan Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang disalurkan kepada masyarakat tepat sasaran dan bebas dari pungutan dari pihak manapun. Kementerian PUPR juga meminta masyarakat dan pihak manapun segera melaporkan apabila ditemukan adanya pelanggaran prosedur atau penyelewengan bantuan perumahan pro rakyat tersebut.
“Kami minta jangan main – main dalam penyaluran Program BSPS untuk masyarakat yang membutuhkan bantuan perumahan ini. Kami siap tindak tegas siapapun yang melanggar prosedur atau penyelewengan dalam penyaluran bantuan pemerintah ini,” ujar Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto di Ibu Kota Nusantara, Jum’at (27/9/2024).
Menurut Iwan, Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) ini adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas rumah masyarakat yang tidak layak huni. Dengan adanya rumah yang layak huni diharapkan masyarakat khususnya mereka yang berpenghasilan rendah bisa lebih sejahtera dan hidup sehat bersama keluarganya.
Kementerian PUPR, imbuh Iwan, juga meminta masyarakat atau siapa saja yang menemukan adanya penyelewengan bantuan BSPS untuk melaporkan melalui kanal pengaduan yang disediakan pemerintah seperti Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) Lapor. Dalam penyaluran bantuan, Kementerian PUPR juga menerjunkan Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) Program BSPS untuk mendampingi kelompok masyarakat dalam membangun rumah sesuai dengan syarat rumah sehat.
Sebagai informasi, kanal pengaduan SP4N Lapor adalah sebuah platform nasional yang memfasilitasi pengaduan dan aspirasi masyarakat terkait pelayanan publik. Platform ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mendorong partisipasi publik dalam pengawasan dan peningkatan kualitas pelayanan publik di seluruh daerah.
“Kami siap menindaklanjuti apabila ada pengaduan masyarakat terkait program perumahan. Hal ini juga menjadi salah satu upaya mitigasi kami dalam manajemen risiko Program BSPS,” tandasnya
Lebih lanjut, Iwan menambahkan, dalam Program BSPS Kementerian PUPR menyalurkan dana stimulan senilai Rp 20 juta untuk pembelian bahan bangunan Rp 17,5 juta dan upah tukang Rp 2,5 juta. Masyarakat penerima bantuan juga harus memiliki keswadayaan maupun semangat untuk memperbaiki rumahnya dan menentukan toko bangunan yang ditunjuk untuk menyediakan bahan material bangunan yang diperlukan dalam proses pembangunan.
“Kami menegaskan bahwa Program BSPS ini tidak ada pungutan biaya oleh pihak nanapun. Jadi jangan percaya apabila ada pihak-pihak yang melakukan tekanan ataupun menjanjikan sesuatu misalnya komisi jika ingin mendapatkan Program BSPS,” tandasnya.
JAKARTA, KORIDOR.ONLINE— Para penghuni dan pemilik rumah susun (rusun) dan apartemen se-Jabodetabek menolak keras rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL). Meski sudah melayangkan protes kepada Direktur Jenderal Pajak, namun tak kunjung mendapat tanggapan. Padahal Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) sudah melakukan berbagai upaya guna menyampaikan keresahan para penghuni rusun.
“Jika masalah ini belum juga mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, PPPSRS yang merupakan warga rumah susun/apartemen akan melakukan demostrasi di depan Kantor Direktur Jenderal Pajak, Jl. Gatot Subroto, Jakarta,” tegas Adjit Lauhatta, Ketua Umum DPP P3RSI, pada awak media di acara Press Conference P3RSI, bertajuk: PPPSRS Bersatu Tolak IPL Rumah Susun/Apartemen Kena PPN!”, di Jakarta, Selasa, 24/9.
Press Conference P3RSI, bertajuk: PPPSRS Bersatu Tolak IPL Rumah Susun/Apartemen Kena PPN!”, di Jakarta, Selasa, 24/9
Sebelumnya menurut penuturan Adjit, dalam Talk Show P3RSI akhir Juli lalu, pihaknya meminta pemerintah melalui Tunjung Nugroho, narasumber yang mewakili Dirjen Pajak, agar IPL rumah susun/apartemen tidak dikenakan PPN. Saat itu, Tunjung pun berjanji akan mengajak P3RSI berdialog untuk bahas hal ini. Namun surat Permohonan Audensi yang terkirim sejak tanggal 30 Agustus 2024, hingga kini belum direspon Kantor Dirjen Pajak.
Alih-alih berdialog dahulu dengan pemangku kepentingan utama (pemilik dan penghuni rumah susun), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Barat malah sudah melayangkan surat Sosialisasi Pengelola Apartemen kepada seluruh rumah susun di Jakarta Barat, yang ujung-ujung “memaksa” pengenaan PPN atas IPL yang menurun “urunan” warga rumah susuh untuk membiayai pengelolan dan perawatan apartemen.
“Selain karena Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) merupakan badan nirlaba yang kegiatannya bidang sosial kemasyarakatan yang setara RT/RW, juga karena banyak kondisi apartemen yang mengalami defisit biaya pengelolaan,” kata Adjit
Adjit mengatakan, pemerintah tak sepantasnya membeban pajak yang dapat menyusahkan, bahkan menyengsarakan rakyatnya. Seperti yang dialami pemilik dan penghuni rumah susun yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen atas “biaya urunan” Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL).
Defisit anggaran pengelolaan ini, lanjut Adjit, juga diperbesar oleh adanya tunggakan IPL pemilik/penghuni yang jumlahnya cukup besar. Hampir dipastikan semua apartemen di Indonesia mengalami tunggakan pembayaran IPL yang ada mencapai miliaran rupiah. Tak sedikit warga, terutama rumah susun menengah bawah (subsidi) yang ekonominya sedang tidak baik-baik saja, malah merasa berat bayar IPL. Apalagi ditambah beban PPN 11 persen, pasti hal ini akan makin memberatkan.
“Keluhan ini sudah kami sampaikan di Dirjen Pajak saat acara Talk Show, namun tidak ada kepedulian dari pemerintah. Sikap P3RSI yang beranggotakan 54 PPPSRS dengan puluhan ribu pemilik dan penghuni tegas menolak IPL Rumah Susun/Apartemen Kena Pajak!,” tegasnya.
Kalau pemerintah tetap memaksakan, kata Adjit, P3RSI akan turun ke jalan berdemonstrasi dengan ribuan anggota (PPPSRS) se-Jabodetabek, dan mengajak semua pemilik dan penghuni rumah susun/apartemen se-Indonesia, tolak kebijakan yang tidak kreatif ini.
Ketua PPPSRS Kalibata City Musdalifah Pangka menegaskan, PPPSRS merupakan perwakilan warga sebagai pemilik unit apartemen yang ditunjuk untuk merawat apartemen, agar terpelihara dengan baik.
Atas dasar tersebut, kata Musdalifah, PPPSRS membentuk badan pengelola untuk menjalankan operasional dari iuran yang ditagihkan ke warga tanpa cari keuntungan. Ia mencontohkan, di Kalibata City, badan pengelola dibentuk oleh PPPSRS sendiri, bukan menunjuk badan hukum profesional. Sehingga bisa diibaratkan, badan pengelola adalah unit kerja dari PPPSRS itu sendiri.
Menurut Musdalifah, jika merujuk pada SE (Surat Edaran) Dirjen Pajak No. SE – 01/PJ.33/1998, Tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Perhimpunan Penghuni Dari Rumah Susun Yang “Strata Title”. Jelas pada point 5 disebutkan:
Pengelolaan rumah susun yang dilakukan oleh Perhimpunan Penghuni atau Badan Pengelola yang dibentuk oleh Perhimpunan Penghuni yang merupakan unit di bawah Perhimpunan Penghuni sebagaimana pada butir 2.e. pada dasarnya adalah kegiatan yang dilakukan oleh Perhimpunan Penghuni. Oleh karena kegiatan Perhimpunan Penghuni diserasikan dengan kegiatan RT/RW yang bergerak di bidang kemasyarakatan, maka atas jasa pengelolaan tersebut termasuk dalam pengertian jasa di bidang pelayanan sosial yang tidak terutang PPN.
“Dari penjelasan tersebut cukup jelas bahwa kegiatan yg dilakukan PPPSRS adalah kegiatan dalam bidang kemasyarakatan, yaitu mengelola apartemen ini agar dapat terpelihara dengan dengan baik tanpa mencari keuntungan sedikitpun,” ujar Musdalifah.
Dalam menjalankan pelayanan pengelolaan, imbuhnya, PPPSRS Kalibata City menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, dimana setiap mengadaan barang dan jasa itu telah dibebankan PPN, sehingga apabila IPL yang diterima dari warga juga dibebankan PPN, maka itu artinya telah memberikan kontribusi pajak sebanyak 2 kali.
Makanya, lanjutnya, sangat aneh jika iuran yang warga urunan membiayai pengelolaan dan perawatan gedung (IPL) itu dikenakan PPN. Karena itu, pengurus PPPSRS dan warga apartemen Kalibata City Menolak Keras, jika pemerintah tetap memaksakan IPL kenakan PPN, dan berjanji akan memperjuangkan keadilan untuk warganya.
“Pemerintah harus ingat bahwa belasan tower di Kalibata City itu adalah rusun subsidi, dimana banyak pemilik dan penghuninya yang keuangannya pas-pasan. Kami akan kerahkan ribuan warga turun jalan (demonstrasi) protes, jika kebijakan yang menyusahkan warga kami tetap dipaksakan,” kata Musdalifah dengan tegas.
Sementara itu, Ketua PPPSRS Thamrin Residences Bernadeth Kartika menyatakan, jika mengacu pada aturan yang ada, dana urunan warga (IPL) tidak sepantas dikenakan pajak. Sebab berdasarkan pasal 1, ayat (1) PP MenKum & HAM No. 6 tahun 2014, disebutkan PPPSRS adalah badan hukum yang merupakan kumpulan orang yang didirikan untuk mewujudkan kesamaan maksud dan & tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan tidak membagikan keuntungan kepada anggotanya.
“PPPSRS adalah perkumpulan yang berbentuk badan hukum yang tidak mencari keuntungan, dikarenakan meskipun ada dana yang dihimpun dari para anggota, namun dana terkumpul tersebut dipergunakan untuk membayar jasa para vendor outsoursing yang memberikan jasa pemeliharaan atas bagian bersama, benda bersama, tanah bersama dan penghunian,” kata Bernadeth, kepada wartawan.
Bernadeth menjelaskan, dana yang dihimpun berupa IPL itu digunakan untuk membayar biaya listrik, air area publik, pemeliharaan gedung, biaya administrasi, gaji karyawan, jasa kebersihan, jasa keamanan, jasa receptionis dan lain-lain.
Dimana terhadap jasa-jasa tersebut sudah terutang PPN pada saat pembayaran sebagian atau seluruhnya atas penyerahannya jasa atau pada saat diterbitkannya faktur atau tagihan atas jasa- jasa tersebut. Sehingga jika IPL-nya juga dikenakan PPN, maka beban pajaknya dikenakan dua kali.
Ketua PPPSRS Royal Mediterania Garden Yohanes mengatakan, Pengenaan PPN atas IPL tidak tepat jika dikenakan. Pasalnya, IPL itu adanya iuran atau urunan bersama warga. Kemudian dana tersebut akan dibayarkan kepada vendor yang berkerja di lingkungan apartement sehingga operasional apartemen berjalan.
“IPL bukan objek PPN, karena pada prinsipnya PPN dikenakan atas pertambahan nilai atas transaksi. Sementara IPL adalah pengumpulan dana dari warga lingkungan yang disetor kepada kasir/akun bank yang mengatasnamakan PPPSRS yang anggotanya terdiri dari seluruh warga lingkungan rumah susun. Jika pemilik menyetor dana IPL kepada rekening bersama milik penghuni, apakah atas penyetoran tersebut merupakan penyerahan terhutang PPN? Jika KPP mencari sumber baru untuk setoran negara, sebaiknya dipertimbangkan lagi atas pengenaan PPN atas IPL, karena tidak tepat,” gugat Yohanes.
Yohanes menjelaskan, banyaknya tantangan dalam pengelolaan keuangan di rumah susun/apartemen, salah satunya, warga selalu protes dan menentang kenaikan IPL, sehingga tarif IPL stagnan. Sementara biaya operasional meningkat setiap tahunnya. Ditambah lagi kondisi apartemen yang sudah lama (umur diatas 10 tahun), dimana kondisi bangunan dan fasilitas umum perlu peremajaan yang memerlukan biaya yang banyak.
“Jadi kalau pemerintah ingin bebankan PPN pada IPL sebaiknya dikaji lagi lebih dalam. Jangan sampai buat keresahan dan ketidaknyamanan tinggal di rumah susun/apartemen karena penurunan kualitas pengelolaan. Carilah sumber pendapatan pajak lain yang memang jelas-jelas mendapat nilai tambah dari transaksi barang dan jasa,” pungkasnya.
Dana IPL Tak Mencukupi
Ketua PPPSRS Mediterania Boulevard Residences Kian Tanto juga menyatakan keberatannya dan menolak jika pemerintah, dalam hal ini Dirjen Pajak “memaksakan” dana urunan (IPL) untuk pengelolaan dan perawatan benda bersama, tanah bersama, dan bagian bersama dibebankan PPN.
Kian mengaku, betapa sulitnya memenuhi kebutuhan operasional pengelolaan dan perawatan gedung apartemen Mediterania Boulevard Residences. Dimana dana IPL-nya tidak mencukupi untuk biaya operasional, sehingga pengurus harus mencari pendapatan lain-lain. Seperti menyewakan ruang-ruang bagian bersama, benda bersama, space-space area komerial, BTS, ATM dan lain sebagainya.
Kian mengatakan, karena dana tarikan IPL tak mencukupi, sehingga untuk operasional dan perbaikan gedung yang biasanya menggunakan dana sink fund, mereka sampai patungan dengan pemilik dan penghuni.
“Kami hampir tak punya dana cadangan (sink fund) yang mencukupi, sehingga ketika harus dilakukan pengecatan gedung atau perbaikan-perbaikan yang butuh biaya besar, maka biaya harus dibagi rata dengan pemilik dan penghuni apartemen,” jelas Kian.
Kian pun mengeluhkan, dalam beberapa tahun ini PPPSRS mengalami kesulitan mencukupi biaya operasional pengelolaan apartemennya. Apalagi sejak pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi global. Banyak pemilik dan penghuni alami kesulitan ekonomi, sehingga tidak sedikit yang menunggak kewajiban bayar IPL.
“Kami tak dapat bayangkan kalau pemerintah menambah beban pemilik dan penghuni apartemen. Jika IPL dibebankan PPN, hampir dipastikan pengelolaan dan perawatan gedung terancam, dan akan lebih menyulitkan pemilik dan penghuni. Di apartemen kami hanya sekitar 70 persen penghuni yang tertib membayar IPL,” ungkap Kian.
Sedangkan sekitar 30 persen, lanjutnya, sering nunggak karena alasan ekonomi. Pemilik dan penghuni yang memiliki tunggakan IPL ini sangat sulit untuk ditagih. Hal ini tentu menghambat operasional gedung. Dampaknya, dalam 3 tahun ini, PPPSRS terpaksa melakukan pengurangan karyawan karena defisit keuangan pada pengelolaan.
Karena itu, dia himbau pemerintah sebelum membebankan PPN kepada IPL, sebaiknya melihat dulu kondisi lapangannya. Kasihan rakyat yang saat ini kondisi ekonominya banyak yang tidak baik-baik saja. Sehingga kalau IPL ini dibebankan PPN lagi, maka kesulitan warga rumah susun makin bertambah.
Agar tidak keliru, simak seluk-beluk mengenai IPL apartemen di bawah ini.
Dasar Hukum IPL Apartemen
Landasan hukum mengenai kewajiban membayar IPL apartemen diatur dalam sejumlah perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah (PP).
Misalnya dalam Pasal 57 Undang-Undang (UU) No.20/2011 tentang Rumah Susun atau Pasal 78 PP No.13/2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun.
Dari kedua beleid tersebut disebutkan bahwa pengelola apartemen punya kewenangan untuk menarik biaya IPL sebagai iuran pengelolaan hunian vertikal atau rumah susun.
Iuran tersebut dibebankan kepada pemilik atau penghuni dengan mempertimbangkan biaya operasional, pemeliharaan, dan perawatan.
Sanksi Tidak Membayar IPL Apartemen
Mangkir dari kewajiban membayar biaya IPL akan dikenakan sanksi administratif, seperti tidak diperkenankan memakai fasilitas dan layanan yang ada di apartemen.
Kebijakan terkait sanksi sendiri merupakan hak prerogatif manajemen apartemen. Namun, jenis sanksi yang diberikan biasanya akan tercantum dalam surat perjanjian yang dibuat oleh manajemen dan penghuni apartemen.
Karena itu, penghuni seharusnya sudah mengetahui konsekuensi yang akan diterima jika mangkir dalam kewajiban membayar IPL apartemen.
Ada sejumlah komponen yang masuk dalam perhitungan IPL apartemen.
Berbagai komponen ini biasanya berhubungan dengan fasilitas dan servis yang diberikan pengelola kepada para penghuni.
Apa saja? Berikut uraiannya.
Biaya Utilitas
Komponen utilitas adalah biaya yang meliputi pengelolaan dan perawatan jaringan instalasi seperti listrik, air, dan gas.
Selain itu, aktivitas perawatan atau penggantian peralatan apartemen juga termasuk dalam perhitungan biaya utilitas.
Service Charge
Service charge digunakan untuk keperluan operasional seperti penyediaan fasilitas kebersihan dan keamanan.
Pemenuhan gaji karyawan dan kebutuhan operasional pengelolaan apartemen juga diambil dari biaya servis ini.
Sinking Fund
Sinking fund dialokasikan sebagai dana cadangan. Artinya bila mana ada fasilitas apartemen yang mengalami kerusakan dan harus segera diperbaiki, maka biaya perbaikannya diambil dari dana ini.
Seperti yang telah disebutkan, besaran IPL ditetapkan oleh pengelola apartemen atau Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS).
Penetapan besaran iuran pun tidak diambil secara sepihak, melainkan telah melalui proses pembicaraan dan kesepakatan dengan para penghuni.
Perhitungan iuran ini biasanya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti fasilitas, karakteristik dan usia gedung, serta jumlah unit yang tersedia.
Selain itu, aspek lain yang menjadi pertimbangan adalah rencana pengeluaran setahun dan potensi pemasukan di luar IPL.
Apa saja potensi pemasukan di luar IPL? Misalnya biaya sewa ruang mesin ATM, sewa pemasangan iklan, kerja sama bisnis, dan sebagainya
Setelah disepakati, nantinya besaran iuran tersebut akan tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Cara Menghitung IPL Apartemen
Adapun cara menentukan besaran iuran IPL disesuaikan dengan luas unit apartemen yang dimiliki oleh penghuni.
Karena itu, semakin luas unit apartemen yang dimiliki, maka semakin besar pula iuran pemeliharaan yang harus dibayarkan.
Rumus penghitungannya adalah sebagai berikut:
IPL apartemen x luas unit apartemen.
Misalnya kamu memiliki unit apartemen seluas 30 meter persegi, lalu biaya IPL yang dikenakan adalah Rp20 ribu per m2.
Maka, besaran IPL yang harus kamu bayar setiap bulannya adalah Rp600 ribu. Besaran biaya IPL bersifat fluktuatif, artinya bisa mengalami kenaikan atau penurunan.
Naik-turunnya jumlah iuran dipengaruhi sejumlah faktor, seperti kondisi fisik bangungan, lokasi yang tidak lagi strategis, atau ketersediaan dan fungsi fasilitas apartemen. ***
KORIDOR.ONLINE, JAKARTA – Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, pembangunan high-rise building terutama rumah susun hunian (apartemen) sangat bergairah. Beberapa pengembang rumah susun seperti Summarccon, Sinar Mas, Agung Sedayu Group dan Agung Podomoro Group cukup masif kembangkan apartemen segmen menengah hingga high end.
Namun di balik hingar-bingar “kemewahan” pembangunan apartemen oleh pelaku pembangunan tersebut, ternyata telah menanti berbagai persoalan setelah gedung rumah susun itu dihuni. Hal ini sulit dihindari karena banyak manusia dengan berbagai latar belakang suku, agama dan Ras (SARA), serta adat istiadat bertemu tinggal dalam suatu lingkungan gedung.
Menurut praktisi hukum properti Rizal Siregar, persoalan hunian rumah susun tidak hanya sebatas antar penghuni, tetapi juga tak jarang perselisihan itu antara penghuni dengan pelaku pembangunan, atau penghuni dengan pengurus PPPSRS (Perhimpunan Penghuni dan Pemilik Satuan Rumah Susun)/badan pengelola.
Sebagai negara hukum, ungkapnya, selayaknya jika terjadi perselisihan, para pihak yang bersengketa seharusnya merujuk kepada aturan-aturan (regulasi) yang mengatur tentang rumah susun. Kalau semua sepakat taat pada aturan (hukum), maka tidak ada masalah yang tak ada jalan keluarnya.
”Akan tetapi justru di situlah episentrum masalahnya. Regulasi mengenai rumah susun di Indonesia (UndangUndang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun) yang seharusnya memberikan koridor dan rambu-rambu terhadap permasalahan rumah susun, ternyata belum mampu berperan sesuai harapan,” kata Rizal.
Rizal mengatakan, undang-Undang ini bukannya memberikan rujukan pasti, malah seakan turut lebih memperbesar konflik sebab pasal-pasalnya dapat dimultitafsirkan dan tidak mudah diaplikasikan di “kehidupan nyata” rumah susun.
Hingga tidak heran kalau undang-undang ini masih saja diperdebatkan baik di forum-forum seminar, diskusi, pernyataan di berbagai media massa. Bukan hanya oleh pelaku pembangunan, pengurus PPPSRS, badan pengelola, penghuni/pemilik, bahkan eksekutif bingung ketika hendak menjabarkan undang-undang hasil inisiatif legislatif (DPR) ini ke peraturan pemerintah tentang rumah rusun.
”Masalah yang kompleks di rumah susun terutama dalam hal pengelolaan tidak dapat memformulasikan solusi dari perbedaan kepentingan masing-masing stakeholder rumah susun, sehingga persoalannya tambah rumit.
PPPSRS
Rizal menjelaskan, salah satu masalah pelik dihadapi adalah PPPSRS yang fungsinya untuk mengelola Tanah Bersama, Bagian Bersama dan Benda Bersama dalam strata title tersebut. Tanah/Bagian/Benda Bersama yang dikelola ini nilai miliaran rupiah rawan disalahgunakan. Karena itu, kredibilitas pengurus PPPSRS menjadi hal penting dalam mengoperasionalkan pengelolaan rumah susun.
Pengurus PPPSRS sepatutnya paham betul tentang aspek-aspek pengelolaan, regulasi-regulasi yang mengatur rumah susun, dan yang terpenting punya niat baik untuk memajukan rumah susun, serta punya komitmen kuat untuk menciptakan harmonisasi di lingkungan rumah susun. Untuk itu pengurus PPPSRS harus bersinergi dengan semua pemangku kepentingan (penghuni/pemilik, badan pengelola, pelaku pembangunan, dinas perumahan, dan lain sebagainya).
”Misalnya saja, bahwa bukan suatu hal yang patut diperdebatkan apakah pelaku pembangunan boleh atau tidak menjadi pengurus PPPSRS? Karena jawabnya boleh. Sebab sama seperti pemilik rusun, pelaku pembangunan yang masih memiliki unit yang belum terjual juga memiliki hak menjadi pengurus PPPSRS. Toh tidak ada jaminan jika semua pengurus itu murni adalah pemilik rumah susun akan menjadikan pengelolaannya lebih baik,” tegasnya.
Lebih jauh Rizal berpendapat, idealnya pengurus PPPSRS itu campuran dari penghuni/pemilik dan pelaku pembangunan yang masih memilik unit. Sebab pelaku pembangunan yang lebih paham mengenai struktur dan konstruksi gedung rumah susun. Mengenai pelaku pembangunan mengintervensi dan mengambil keuntungan tak perlu dikhawatiran karena ada laporan dan audit keuangan yang dipertanggungjawaban dalam RUTA (Rapat Umum Tahunan) setiap tahunnya.
Hal-hal tersebut di atas sepatutnya dapat diakomodir oleh setiap regulasi tentang rumah susun yang ada di Indonesia. Kerjasama yang saling sinergis dan saling melengkapi antara masing-masing komponen adalah kalimat kunci dalam menciptakan harmonisasi dan kenyamanan tinggal di rumah susun yang merupakan tujuan utama dari semua stakeholder rumah susun. Sehingga kita berharap, dengan adanya persepsi dan sudut pandang yang sama, maka tidak ada lagi masalah yang tak dapat diselesaikan. ***
KORIDOR.ONLINE, JAKARTA – Sewa unit apartemen secara harian seperti layaknya hotel sebetulnya banyak mudaratnya, jika dilihat dari kepentingan bersama para pemilik dan penghuni apartemen. Pasalnya, sewaan harian unit apartemen itu banyak disalahgunakan baik tindak asusila dan kriminal.
Setidaknya, sejumlah peristiwa tindak pidana berulang kali terjadi di apartemen di beberapa apartemen yang sering diberitakan oleh media massa. Mulai dari prostitusi anak, dijadikan tempat bisnis esek-esek peredaran narkoba, hingga kasus mutilasi.
Sebagian besar pengelola apartemen, dalam hal ini pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) tidak memperbolehkan para pemilik menyewakan unti apartemennya secara harian. Meski aturan tersebut sudah tegaskan dalam house rule apartemen tersebut, namun pelanggaran (sewa harian) tetap saja marak terjadi.
Sejumlah upaya untuk menangani persoalan tersebut dilakukan pengurus PPPSRS, bahkan ada yang menggandeng pihak kepolisian (Polsek setempat) untuk membuat larangan “staycation” harian ini lebih ditaati oleh para pemiliknya yang kebanyakan adalah investor.
Menurut Sekretaris Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) Nyoman Sumayasa, upaya melarang penyewaan untuk apartemen secara harian di mana menjadi celah untuk melakukan tindak pidana sudah sering disosialisasikan pengurus PPPSRS dan badan pengelola.
Sewa harian ini memang masih mengudang kontroversi, namun kami akan dicarikan pola yang tepat, berapa lama minimal apartemen disewa dari sisi kemudahan untuk pengendalian keamanannya. Untuk itu, kata Nyoman, pengurus PPPSRS dan badan pengelola harusnya lebih tegas lagi tegakkan aturan larangan sewa harian unit apartemen.
”Menurut aturan minimal sewa itu 3 bulan dan setiap penyewa harus melaporkan data huniannya ke badan pengelola. Hal ini dilakukan agar pengelola tahu unit-unit mana saja yang disewakan hingga jika terjadi hal-hal yang tidak inginkan pengelola bisa cepat ambil tindakan,” kata Nyoman, beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Untuk mencegah unit apartemen disalahgunakan, Nyoman mengatakan, beberapa anggotanya bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk memantau unit-unit yang dicurigai. Dengan demikian, polisi bisa segera bertindak apabila menemukan penghuni atau tamu yang mencurigakan.
”Namun, polisi tidak bisa sendirian untuk mencegah prostitusi dan peredaran narkoba di apartemen. Butuh kerjasama menyeluruh dengan pihak manajemen, sekuriti, para pedagang di ruko, hingga seluruh penghuni apartemen,” jelasnya.
Nyoman menghimbau warga atau penguni apartemen yang mengetahui atau menjadi korban kejahatan untuk bisa melapor ke badan pengelola atau ke Polsek setempat. Sebab dengan kerja sama yang baik antara semua stakeholder, maka penyalahgunaan unit apartemen bisa di minimalisir.
Nyoman juga menegaskan, hal terpenting adalah mensosialisasikan larangan sewa harian kepada para pemilik unit harus rutin dilakukan. Bahwa unit apartemen hanya boleh disewakan minimal dengan jangka waktu tiga bulan. Sosialisasi dilaksanakan secara langsung atau dengan media yang ada seperti spanduk, flyer, mading dan sebagainya.
Meski begitu, tetap saja ada pemilik atau agen properti yang melanggar. Pihak manajemen mengakui memang sulit untuk mengawasi pelaksanaan larangan sewa harian ini. Sebab, penyewaan unit apartemen secara harian itu dilakukan langsung oleh pemilik unit. ***
JAKARTA. KORIDOR.ONLINE – Rapat Pembentukan Panitia Musyawarah (Panmus) untuk persiapan pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) Umum dan Komersial Kalibata City yang dilaksanakan Sabtu, 28 Oktober 2023, secara demokratis berhasil memilih 7 orang pemilik unit apartemen Kalibata City sebagai anggota Panmus.
Mereka adanya Muhammad Mada (Ketua ), Mulyana (Sekretaris), Evi Tristanti Silaban (Bendahara), dan Denny MP, Firdinandus, Teguh Budi S., dan Nita Indriani masing masing sebagai Anggota Panmus yang dipilih oleh warga Kalibata City.
Hasil pemilihan melalui voting (pemungutan suara) tersebut disambut antusias oleh warga Kalibata City yang tergambar dari hasil yang termuat dalam website PollingKita.com. Dalam polling yang dibuat pada, 31 Oktober 2023, pukul 12:55 WIB, hingga saat dipantau Jumat pagi telah ikuti 1.294 orang.
Dalam polling tersebut ditanyakan “Setuju apa Tidak setuju hasil pembentukan PANMUS KALCIT 28 OKTOBER 2023?” Hasilnya, sebanyak 77,6 persen atau 1.004 orang menyatakan SETUJU. Sementara hanya 22,4 persen atau 290 orang yang menyatakan TIDAK SETUJU.
Berbagai komentar dukungan pun diutarakan dalam kolom komentar di website tersebut. Misalnya saja, Taufik Sri menyatakan, ” Sy sangat setuju dengan hasil pembentukan PANMUS dikalibata city semoga kedepannya lebih maju dan sukses selalu.”.
Lalu ada lagi Poetoe Ina Meilya dengan antusias menulis, ”Saya sangat setuju dengan hasil Pembentukan PANMUS tgl 28 okt 2023 yang amat fair dan aman. Semoga Tim PANMUS semangat terus dalam melancarkan Proses sampai dengan Pemilihan Ketua P3SRS dan maju terus Kalibata City menjadi Hunian yg aman, nyaman utk penghuninya.MAJU TERUS TIM PANMUS..”
Ada juga Keisha Rahman yang berkomentar sedikit menohok, ”Saya sangat setuju, karna panmus ini semua sudah TEPAT. dan adil, biarkan pihak yang licik tidak menguasai ini,” katanya tanpa menyebut siapa pihak licik yang dimaksud.
Hasil polling ini pun, disambut gembira dan antusias oleh Ketua Panmus Kalibata City, Muhammad Mada. Mada bersyukur bahwa sebagian besar masyarakat rapat pembentuk kemarin berlangsung sudah sesuai aturan yang berlaku.
”Ternyata rapat yang difasilitasi pelaku pembangunan mendapat apresiasi sangat besar. Semua persiapan rapat hingga pelaksanaannya dilakukan transparan dan selalu dikoordinasikan dengan Dinas Perumahan DKI Jakarta,” kata Mada, di Kalibata City, Jumat, 3 Oktober 2023.
Kegiatan Rapat Panmus turut dihadiri sejumlah instansi terkait, seperti Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta dan Sudin PRKP Jakarta Selatan.
Sumber PollingKita.com
Sebagai Ketua Panmus, Mada berjanji akan berusaha menjalankan amanah ini sebaik-baiknya, agar tidak ada warga yang merasa dirugikan. Dia meyakini pembentukan PPPSRS ini akan menjadi sejarah bagi Kalibata City dan tentu akan menciptakan Apartemen Kalibata City menjadi lebih baik, harmonis, indah, dan lebih nyaman lagi.
”Kalau pun ada pihak yang belum puas dengan hasilnya, kami merasa itu suatu kewajaran. Sebab dalam pemilihan dalam tingkat apa pun, mulai tingkat RT, RW, Bupati, hingga presiden pasti ada pihak yang tidak puas,” kata Mada yang juga sedang menjabat Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Nurullah Kalibata City.
Mada pun memperingatkan, kepada pihak-pihak yang tidak puas, bahwa asal mereka tidak melakukan hal-hal destruktif (merugikan) dan tetap bermain dalam koridor demokrasi, itu tidak masalah. Tapi kalau sudah menghalalkan secara cara, Mada berjanji akan bertindak tegas sesuai aturan yang berlaku.
”Kita yang mengikuti rapat pembentukan kemarin semuanya adalah pemilik dan mayoritas (77,7 persen) menyatakan puas dengan hasilnya. Jadi jangan ada pihak yang mengklim bahwa hanya mereka yang pemilik atau warga Kalibata City,” pungkas Mada. ***
JAKARTA, KORIDOR.ONLINE – Praktisi Hukum Rizal Siregar prihatin melihat meningkatnya eskalasi konflik antar warga dalam perebutan pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) di DKI Jakarta dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya ada oknum-oknum yang ingin mencari cuan ketika sudah menguasai kepengurusan PPPSRS.
Seperti diketahui, kata Rizal, rata-rata dana Iuran Pemeliharan Lingkungan (IPL) yang ditarik setiap apartemen yang memiliki sekitar 1.000 unit itu di atas Rp1 miliar. Dengan kewenangannya, pengurus terutama Ketua bisa menentukan siapa vendor pengelola dan pengadaan barang.
”Oknum-oknum ini selalu membuat isu yang menjelek-jelekan pengembang, bahkan hoaks untuk mendapatkan simpati pemilik dan penghuni apartemen. Misalnya pengembang ingin terus menguasai pengelolaan apartemen, pengelolaan tidak transparan, bahkan menindas pemiliki dan penghuni,” kata Rizal, Senin (14/8), di Jakarta.
Menurutnya eskalasi konflik pengelolaan apartemen ini makin besar ketika diterbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta 132 tahun 2018 Tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik, kemudian direvisi dua kali (Pergub 133/2019 dan Pergub 70/2022). Dimana semangat Pergub itu membatasi ruang gerak pengembang dalam pengelolaan apartemen.
Beberapa aturan yang membatasi itu, antara lain: Surat Kuasa mengikuti Rapat Umum Anggota (RUA) harus diberikan kepada orang dalam satu Kartu Keluarga (anak, istri, atau saudara) dan hak suara memilih pengurus one name one vote.
”Sebetulnya tujuan baik yaitu agar pengembang yang menabrak aturan dan berbuat sewenang-wenang dalam mengelola apartemen dibatasi. Namun dalam praktiknya ternyata tidak menyelesaikan masalah. Karena tidak semua pengembang itu punya niat tidak baik. Umumnya mereka tidak mau jejak rekamnya buruk karena ada proyeknya jadi kumuh setelah mereka ditinggalkan,” jelas Rizal.
Sementara itu, lanjut pengamat rumah susun ini, tidak ada jaminan pengelolaan apartemen lebih baik ketika pengurus PPPRS-nya itu murni pemilik. Bahkan ada contoh apartemen di Jakarta Selatan yang ketua PPPSRS-nya adalah mantan anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta era Anies Baswedan diduga membayar pajak pribadi pakai uang PPPSRS, menempatkan orang-orangnya di badan pengelola, dan melakukan pekerjaan yang tidak ada di Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Rizal mengatakan, dalam pengamatannya sebagian oknum pemilik/penghuni yang ngotot jadi pengurus ini adalah orang-orang tidak punya pekerjaan tetap, bahkan ada yang terlibat kasus hukum misalnya penipuan. Repotnya, dalam aturan perundang-undangan tidak ada kualifikasi kapasitas dan kapabilitas pemilik yang boleh jadi pengurus, selain hanya berdomisili di apartemen dan menyelesaian kewajibannya (tidak ada tunggakan).
”Karena itu jangan heran kalau tak sedikit apartemen menurun kualitas pengelolaannya, bahkan terjadi KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) pasca penyesuaian PPPSRS menurut Pergub DKI. Sehingga menurut hemat saya, tidak ada urgensinya dikotomi pengembang dan pemilik dalam kepengurusan PPPSRS, sebab tidak jaminan akan lebih baik. Yang terpenting aturan yang dibuat harus berimbangan dan adil,” tegasnya.
Dalam praktiknya, kata Rizal, diduga ada pemilik/penghuni yang kerap minta vendor atau perusahaannya dapat menang ditender pengelolaan apartemen. Mereka akan mendukung siapa saja jadi ketua dan pengurus asal dapat pekerjaan. Tentunya mereka akan lebih leluasa mengatur tender dan pengadaan barang apabila menguasai kepengurusan PPPSRS.
Padahal sebagian besar pemilik/penghuni dan investor yang merupakan silent majority mendukung siapa saja duduk sebagai pengurus PPPSRS asal profesional. Mereka tidak mempersoalan jika pengembang juga ikut pengurus PPPSRS sebagai pemilik unit yang belum laku.
Karena itu, Rizal mengingatkan, agar dalam memilih kepengurus PPPSRS pemilik/penghuni sebaiknya mencari tahu jejak rekam calon-calonnya. Apakah mereka punya kepentingan ekonomi saat menjadi pengurus PPPSRS? Sebaik cari calon kepengurus yang kondisi ekonominya yang mantap, dan tentunya bisa dan mau bekerja tanpa pamrih ekonomi. ***
JAKARTA—Penggunaan aplikasi Justisia (Jaringan Untuk Sistem Aplikasi Sengketa di Indonesia) yang telah diluncurkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) dikeluhkan oleh pengembang perumahan nasional dan sejumlah investor. Pasalnya, praktek yang terjadi di lapangan, keberadaan aplikasi Justisia, justru dimanfaatkan dan menjadi celah baru, bagi masuknya praktek-praktek mafia tanah. Pada akhirnya mengancam investasi dan bisnis yang dijalankan pengembang
“Tujuan awal aplikasi digital ini kami dukung, yaitu untuk memantau dan menekan praktek mafia tanah serta sebagai monitoring bagi ATR/BPN. Namun, belakangan keberadaan aplikasi Justisia, justru mengancam keberlanjutan investasi di daerah,” terang Risma Gandhi, Ketua Umum Asosiasi Srikandi Pengusaha Properti Indonesia (SRIDEPPI)
Pasalnya, ada indikasi aplikasi Justisia dimanfaatkan mafia tanah untuk menekan dan memukul usaha pengembang dengan berusaha memblokir semua sertifikat yang mereka klaim, lewat aplikasi Justisia. Sehingga para pengembang yang sedang membangun, terpaksa harus berhenti. Dan ini jelas sangat menganggu investasi.
“Aplikasi Justisia bisa dimanfaatkan oleh para mafia tanah untuk memeras pengembang lewat mekanisme membikin girik palsu dan kemudian melakukan gugatan ke PTUN. Harapannya, setelah gugatan ke PTUN, nomor perkara dan no sertifikat dimasukan dalam aplikasi, maka otomatis semua sertifikat pengembang langsung terblokir,” terangnya.
Menurut Risma ketika ada pihak lain yang memiliki dokumen girik atau letter c dan menginputnya ke dalam sistem aplikasi Justisia. Maka pengembang atau investor yang status lahannya dipersoalkan tersebut otomatis terblokir, tidak boleh melakukan pembangunan, walaupun tanah yang dikuasai itu sudah bersertifikat hak guna bangunan atau hak milik.
“Konteksnya adalah cara verifikasi diaplikasi Justisia ini yang kami kritisi. Bukan aplikasinya. Menurut kami masih belum memberikan keamanan dan kepastian buat pengembang dan investor. Tanah kami yang sudah bersertifikat dan resmi dikeluarkan oleh ATR/BPN, justru diverifikasi dengan dokumen letter C atau girik dari pihak lain, jadi tidak apple to apple dan proses mediasinya itu juga memakan waktu lama,” terang Risma.
Padalah sebenarnya lanjut Risma tahapan mediasi bisa diselesaikan kedua belah pihak yang bersengketa di ATR/BPN setempat. Misalnya ada permasalahan di legalitas kepemilikan, maka akan masuk ke bagian legal atau paralegal ATR/BPN. Setelah itu dilakukan pengukuran ulang. Kedua belah pihak datang untuk proses penyelesaian sesuai dokumen. Pada saat itu, bisa langsung diselesaikan. Buka blokiran atau lanjutkan proses hukum ke pengadilan
“Setelah adanya aplikasi Justisia tidak bisa. Karena proses mediasi di ATR/BPN-nya dihilangkan. Langsung masuk ke sistem. Jadi menurut kami verifikasi yang paling utama. Fokus kami diverifikasi legalnya. Dan ini acuannya harus tepat secara hukum. Jadi tidak ada yang dirugikan terutama yang sudah berinvestasi disitu,” jelasnya.
Celah Baru Praktek Mafia Tanah
Dwi Nurcahya, Ketua Dewan Pengurus Daerah Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Apernas) Jaya Kalimantan Tengah kuatir, aplikasi Justisia justru betul- betul dimanfaatkan dan bisa menjadi surga bagi para mafia untuk memeras. Bukan hanya pengembang dan investor tetapi juga masyarakat awam.
“Pada dasarnya proses administrasi tanah di BPN adalah proses bisnis pengembang. Jadi goal mereka (mafia) itu bukan perkara menang atau kalah di PTUN. Tetapi goal-nya adalah memutus proses administrasi di BPN. Akhirnya pelaku usaha diminta mediasi. Nah, disitulah celah mereka memeras. Jika kalah mereka bisa banding lagi dan itulah yang makan waktu. Bisnis terhenti dan itu sangat merugikan,” terang Dwi.
Seharusnya lanjut Dwi ada verifikasi data administrasi dulu, apple to apple-nya. Lebih masuk akal lagi apabila yang bersengketa itu sertifkat dengan sertifikat. Jika keduanya diblokir tidak masalah. Tetapi jika girik dengan sertifikat maka harusnya dilakukan verifikasi data dulu. Bukan langsung diblokir lewat aplikasi. Karena jika lahannya ada kegiatan bisnis maka perlu ada pertimbangan, karena itu adalah proses investasi. Proses verifikasi, juga harus selektif tidak asal naik saja ke PTUN. Pembuktian surat-suratnya itu asli atau palsu, bisa lewat puslabfor, misalnya. Jadi mitigasi dan verifikasinya disitu.
“Jika praktek praktek seperti itu dibiarkan, sangat membahayakan keberlangsungan investasi di daerah. Para mafia itu tahu bahwa sistem bisnis pengembang itu adalah semua proses administrasi pertanahan di BPN, mulai dari cek list, AJB, pasang HT, dll. Disitu celahnya,” papar Dwi
Para pengembang lanjut Dwi hanya ingin memberikan masukan agar ATR/BPN mengevaluasi sistem aplikasi Justisia. Bahwa ada efek dan implikasi negatif.
“Sebenarnya aplikasi Justisia berguna memantau dan menekan praktek mafia tanah di lapangan. Tetapi faktanya bisa dimanfaatkan mafia tanah untuk menekan dan memukul pengembang dengan memblokir semua sertifikat yang mereka klaim,” tuturnya.
Saran Direktur PT Citra Mandiri Dwi Pratama itu adalah apabila terverifikasi bahwa surat-surat yang digunakan sebagai bahan gugatan terbukti palsu, maka negara dalam hal ini ATR/BPN harus langsung menggugat balik. Bukan investor, pengembang atau masyarakat yang melaporkan balik.
Harus ada aturan, biar adil dan mereka para mafia itu berpikir ulang jika ingin berperkara di PTUN. Gugatan di PTUN harus ada konsekuensi, karena yang digugat itu adalah produk negara. Tujuannya untuk memperkecil ruang gerak mafia, sehingga semua harus ada konsekuensi hukumnya.
Kementerian ATR/BPN pinta Dwi harus melaporkan balik ke kejaksaan. Bukan masyarakat atau investor yang harus melaporkan balik. Karena jika dibiarkan dan mafia tanah tahu celah kelemahan dari aplikasi Justisia yang tidak ada konsekuensi hukumnya, maka sangat berbahaya bagi kepastian investasi ke depan.
“Selama ini kan tidak. Walaupun surat-suratnya terbukti palsu, selama yang digugat itu tidak melapor balik, maka tidak ada konsekuensi apa-apa. Akhirnya tidak ada efek jera. Mafia anggap itu iseng-iseng berhadiah. Itu membahayakan investasi, mengancam program sejuta rumah yang sudah dicetuskan Presiden Jokowi,” pungkasnya
Seperti diketahui, melalui Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Kementerian ATR/BPN sedang memasifkan monitoring kasus pertanahan berbasis digital atau online melalui Aplikasi Justisia.
Tujuannya diantaranya adalah untuk memantapkan penanganan dan penyelesaian sengkata, konflik pertanahan (SKP), menyelesaikan kasus pertanahan melalui jalan damai (amicable solution), melakukan verifikasi dan validasi data SKP pertanahan, serta untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan.
Hal ini sebagai upaya memantau kasus pertanahan yang dilakukan secara daring, berupa pemantauan atas SKP pertanahan yang dilakukan dengan mengggunakan media komunikasi yang terhubung dalam suatu sitem dalam keadaan yang real time secara online.
JAKARTA, KORIDOR.ONLINE – Konflik antar warga apartemen Mediterania Marina Residences (MMR) (lebih dikenal sebagai Apartemen Marina Ancol) memperebutkan kepengurusan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) terus berlanjut.
Sekitar seratus orang pemilik/penghuni dan karyawan mengatasnamakan Keluarga Besar Apartemen Marina Bersatu (KBAMB) melakukan unjuk rasa damai di depan kantor Balai Kota DKI Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut salah seorang pemilik apartemen MMR, Andi, aksi ini dilakukan sebagai aksi balasan terhadap unjuk rasa sebelumnya yang dilakukan puluhan warga yang mengatasnamakan warga MMR yang menuduh pengurus PPPSRS berlaku sewenang-wenang.
Andi mengatakan, hal itu tidaklah benar karena berbagian sebesar massa tersebut adalah oknum pemilik/penghuni yang bermasalah, tidak membayar iuran pemeliharaan lingkungan (IPL), dan sebagian lagi hanya mencari keuntungan atau proyek pengelolaan di MMR.
“Kami Keluarga Besar Apartemen Marina Bersatu sangat prihatin dengan perkembangan yang terjadi. Apartemen MMR terdiri dari 1.680 satuan unit apartemen, sementara hanya ada puluhan pemilik/penghuni yang bermasalah,” kata Andi kepada wartawan di sela-sela aksi unjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat, 31 Maret 2023.
Mereka inilah, lanjut Andi, yang duga terus merongrong dan berupaya mendelegitimasi secara sistematis kepengurusan PPPSRS MMR yang baru terpilih secara sah.
Oleh karena itu, kata Andi, pihaknya mengajukan enam sikap dan tuntutan, pertama, KBAMB menilai bahwa pembentukan PPPSRS MMR melalui mekanisme Rapat Umum Anggota (RUA) yang diselenggarakan secara hibryd, pada 25 Maret 2023 sah sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan sesuai Peraturan Gubernur Nomor 70 Tahun 2021 perubahan kedua atas pergub No 132 Tahun 2021 Tentang Pembinaan dan Pengeloaan Rumah Susun Milik.
“Syarat administratif para pengurus terpilih seperti KTP, Domisili dan dokumen terkait telah sesuai ketentuan Pergub DKI No 70 Tahun 2021 Pasal 45, point 1, huruf a sampai a,” jelasnya.
Kedua, KBAMB membantah keras tuduhan bahwa selama ini pengelola apartemen melakukan kesewenang-wenangan akibat memadamkan listrik dan air di 60-an unit apartemen yang ternyata milik segelintir oknum yang selama ini melakukan upaya-upaya fitnah dan dugaan Tindakan premanisme untuk menjatuhkan nama baik Pengurus PPPSRS, serta membuat tidak nyamannya kehidupan di apartemen MMR.
“Dari data yang kami dapat juga ternyata ada sekitar puluhan oknum yang sakit hati ini, diduga tidak memenuhi kewajibannya membayar iuran IPL bahkan diantaranya ada yang memiliki tunggakan hingga ratusan juta rupiah. Belum lagi adanya oknum-oknum yang jelas-jelas ingin mencari keuntungan ingin jadi vendor pengadaan barang dan jasa di apartemen MMR,” ungkapnya.
Ketiga, KBAMB mendukung sikap tegas Ketua PPPSRS MMR, Bapak Edi Bangsawan yang tetap mematikan listrik dan air terhadap unit-unit yang belum menyelesaikan kewajiban pembayaran IPL-nya, yang per unitnya ada yang mencapai hingga ratusan juga.
“Pemutusan harus tetap dilakukan hingga mereka menyelesaikan kewajibannya. Sebab kalau mereka tidak bayar, berarti para pemilik/penghuni yang tertib membayar IPL telah mensubsidi mereka yang jelas-jelas bukan orang tidak mampu,” lanjutnya.
Keempat, KBAMB juga membantah keras pendapat oknum warga yang menyatakan bahwa SK Disperum No 491 Tahun 2021 tidak sah secara hukum, dimana pada faktanya SK tersebut sudah sah secara hukum dan dikuatkan melalui putusan PTUN DKI Jakarta.
Kelima, menyangkan adanya sikap oknum DPRD DKI Jakarta yang mendekriditkan SK tersebut tanpa mencari informasi yang lebih obyetif dan berimbang hingga keputusan dan pendapat yang diambil akan merugikan warga MMR.
Terakhir, keenam, KBAMB berharap masyarakat, Pemerintah DKI Jakarta, DPRD DKI Jakarta dan media masa bisa memberikan pendapat yang obyektif seusia dengan fakta-fakta hukum dan fakta empirik yang terjadi terkait kepengurusan PPPSRS MMR.
“Jangan sampai masyarakat ataupun pemerintah DKI Jakarta tertipu oleh pencitraan sebagai korban dan penggalangan opini oknum-oknum “nakal” yang selama ini mengatasnamakan para penghuni dan pemilik apartemen,” tegasnya. ***