KPR Ditolak Bank, Developer Ogah Balikin DP
Umumnya dalam Surat Pesan Rumah (SPR), dinyatakan jika KPR ditolak karena merupakan kebijakan bank, maka DP akan dikembalikan (refund).
KORIDOR, JAKARTA – Membeli rumah melalui pembiayaan kredit dari perbankan, yaitu KPR (Kredit Pemilikan Rumah) umumnya konsumen dikenakan uang muka atau down payment (DP), yang besaran sekitar 10 – 30 persen. Agar lebih menarik dan tidak mengganggu cashflow calon pembeli, DP ini dapat dicicil panjang, bahkan ada developer yang berani 3 hingga 4 tahun.
DP dibayarkan konsumen bersamaan dengan proses KPR, dan jika cicilan DP-nya panjang maka biasa akan diurus menjelang pelunasan DP tersebut. Masalahnya, bagaimana bila ternyata pengajuan KPR ke bank itu tolak?
Harusnya tidak ada masalah, karena umumnya dalam Surat Pesan Rumah (SPR), dinyatakan jika KPR ditolak karena merupakan kebijakan bank, maka DP akan dikembalikan (refund), namun ada potongan-potongannya. Sialnya, meski sudah ada dalam perjanjian (SPR) kadang ada developer ogah balikin DP.
Hal ini dialami oleh Wati (bukan nama asli) yang membeli rumah di sebuah perumahan di Cibinong, Kab. Bogor yang pada tahun 2017. Waktu itu Wati tertarik karena cicilan DP-nya ditarik panjang hingga 3 tahun (2017-2020). Dia pede mengambil rumah seharga Rp521 juta karena akan joint income dengan suaminya yang juga berprofesi guru.
“Yang paling menarik adalah rumah bisa langsung menempati dengan syarat tidak mengubah dan menambah bangunan,” ujar Wati, dalam surat keluhan yang disampaikan ke Redaksi Koridor.online, pertengahan awal September 2020.
Sesuai dengan perjanjian, proses KPR dilakukan tahun 2020, dengan dikenakan BPHTB dan biaya full notaris. Wati mengikuti semua point yang ada pada perjanjian. Membayar DP sebesar Rp64 juta dan memasukkan berkas KPR di bulan Juli 2020. Ternyata berkas KPR-nya ditolak bank. Karena akibat pandemi Covid-19 ini, Wati sudah tidak bekerja lagi, sehingga bank tidak “berani” memberikan fasilitas KPR. Mungkin ke depannya dikhawatirkan gagal bayar.
Merujuk SPR pasal 5, ayat f, maka KPR konsumen ditolak bank, maka pihak developer akan mengembalikan uang DP dikurangi booking fee dan dipotong sebesar 15% dari total uang yang telah dibayar.
Mengacu pada klausula tersebut, maka awal Agustus 2020 Wati mengajukan Surat Permohonan refund DP. “Pada saat kami mengajukan refund kami mengikuti semua prosedur diantaranya mengembalikan SPR asli, mengembalikan bukti kwitansi asli dan lain-lain,” ungkapnya.
Setelah itu, dia mendapat info dari staf developer ternyata pengajuan uang refund-nya tidak disetujui dengan alasan tidak jelas. Seketika itu juga dia minta semua berkas aslinya dikembalikan tapi belum dikembalikan. Dia pun bingung dan mempertanyakan posisi hukumnya, apakah kuat jika menuntut secara hukum terkait pengembalian DP yang sudah kami bayarkan ke developer?
Menurut Garry Triargo praktisi hukum properti, kasus yang dialami Wati ini sering terjadi. Namun persoalannya tidak bisa disamaratakan, tapi harus dilihat kasus per kasusnya. Tapi pada prinsipnya, katanya, hubungan hukum yang timbul antara Wati dengan developer adalah berdasarkan Surat Pemesanan Rumah (“SPR”), sehingga berlaku asas pacta sun servanda atau perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihaknya.
“Berdasarkan keterangan Ibu Wati proses pengajuan KPR-nya telah mendapat penolakan dari pihak bank, mesikpun syarat telah terpenuhi, karenanya menjadi perlu surat keterangan dari bank yang menyatakan meskipun syarat-syarat pengajuan KPR telah dilengkapi tetapi berdasarkan kebijakan bank pengajuan KPR ibu ditolak sebagai bukti penolakan dimaksud,” jelas Garry.
Jika telah memperoleh bukti tersebut, lanjutnya, maka sudah tepat jika Wati mengajukan (haknya) refund berdasarkan pasal 5, huruf F SPR, namun jika dari pihak developer tetap tidak memenuhi ketentuan refund tersebut, maka dapat dipastikan pihak developer telah melakukan wanprestasi atas ketentuan tersebut.
“Kalau itu terjadi, maka sesuai mekanisme perselisihan SPR yaitu melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat, namun dalam hal tidak tercapai mufakat, maka Wati dapat mengajukan gugatan wanprestasi pada domisili hukum yang telah ditentukan dalam SPR yaitu Pengadilan Negeri setempat setelah terlebih dahulu memberikan somasi/teguran kepada pihak developer,” saran Garry.
Garry mengingatkan, merupakan hal penting asli dokumen dan kwitansi akan menjadi alat bukti di pengadilan harus diminta kembali. Karenanya perlu dipastikan apakah ketika menyerahkan dokumen asli tersebut terdapat tanda terima dari developer. Hal tersebut penting untuk disiapkan sebagai bukti di kemudian hari, sehingga berdasarkan tanda terima tersebut ibu dapat meminta kembali dokumen asli tersebut.
“Tapi jika dari pihak developer tetap tidak mengembalikan Wati dapat memberikan somasi/teguran dan membuat laporan polisi atas dugaan penggelapan dokumen dan/atau penipuan, dimana kerugian dapat ditimbulkan akibat hilangnya bukti-bukti tersebut sehingga ibu tidak dapat memberikan bukti asli pada gugatan wanprestasi yang telah diterangkan sebelumnya,” tandasnya.
Penulis: Erlan Kallo