Jakarta,Koridor–Pertumbuhan sektor properti dalam 5 tahun belakangan ini terus mengalami pelambatan. Bahkan, di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Tak heran kemudian tahun lalu, pengusaha properti merayu pemerintah untuk kembali memangkas sejumlah regulasi khususnya di bidang perpajakan dan perizinan.
Namun hasilnyanya tetap tidak mengembirakan. Sri Mulyani, Menteri Keuangan dalam salah satu forum menagih janji pengusaha properti.
“Saya mau nagih kapan sektornya (properti) pickup 10% per tahun growthnya? Kan sudah saya turuti maunya, kok malah geleng-geleng?” kata Sri Mulyani dalam Rakornas Kadin Bidang Properti.
Sebelumnya memang pemerintah sudah menuruti keinginan swasta agar pajak penjualan properti barang mewah dan PPH untuk hunian mewah turun lewat beleid Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Namun apa daya beleid PMK itu tak mampu membuat bisnis properti bergairah.
Karena itu begitu Rancangan Undang Undang Omnibus Law diwacanakan pemerintah, serta merta pengusaha berharap banyak. Omnibus Law memang dianggap sebagai aturan sapu jagad yang bakal efektif memangkas sejumlah aturan yang tumpang tindih.
“Kami harap omnibus law sesuai usulan pelaku usaha. Misalnya, terkait dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kami ingin ada keseimbangan, baik hak pengembang maupun hak end user,” papar Totok Lusida, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia.
Beberapa peraturan yang diusulkan untuk dilakukan perubahan antara lain adalah Peraturan menteri PUPR No. 23/2018 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) dan Permen PUPR No. 11/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (PPJB).
“Selain aturan-aturan tersebut, kami sudah sampaikan masukan terkait regulasi-regulasi lainnya yang dianggap masih menghambat pertumbuhan industri properti,” ucapnya.
dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan pengusaha properti mengakui kementerian terkait saat ini tengah melakukan kajian terkait dengan regulasi yang dianggap masih menghambat pertumbuhan industri properti.
“Intinya aturan-aturannya akan dilihat lagi apa saja yang membuat selama ini penciptaan lapangan kerja terganggu yang disebabkan oleh persoalan birokrasi dan bukan karena persoalan substansi, maka akan kita ubah,” ujarnya.
Menurutnya, ada banyak aturan yang akan diubah, khususnya yang secara substansi tidak ada nilai tambahnya dan justru malah mengganggu dan menghambat iklim investasi.
Sofyan mengungkapkan bahwa aturan-aturan yang dianggap masih menjadi perhatian dari para pebisnis properti dan diharapkan bisa segera dilakukan penyederhanaan ialah mengenai pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB). Proses pengurusan IMB dianggap masih terlalu lama yaitu bisa mencapai 2 tahun.
“Yang jadi persoalan sebenarnya bukan IMB-nya, melainkan proses pengurusannya yang lama sekali dan bikin frustrasi. Kami akan terus kaji alternatif-alternatif yang terbaik untuk dan mengatasi hambatan regulasi maupun birokrasi demi memperbaiki iklim investasi,” jelasnya.
Pihaknya juga berharap agar pembahasan beleid yang menyatukan sejumlah aturan menjadi sebuah payung hukum baru itu bisa tuntas pada pertengahan tahun ini.
Menurut Sofyan, pembahasan RUU Omnibus Law perlu dipercepat agar iklim investasi Indonesia bisa menjadi lebih baik sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi lagi.