
Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang baru saja disahkan mengatur badan bank tanah. Menggunakan nama bank yang menjadi lembaga intermediari yang menjembatani “penabung” dengan pengguna dana. Dari manakah “penabung” sumber tanah bank tanah? Apa status tanah yang dikelola? Akankah menyasar perumahan rakyat khususnya bagi mayarakat berpenghasilan rendah(MBR)? Langkah apa perlu disegerakan?
Berikut wawancara redaksi Koridor.Online dengan Muhammad Joni SH MH, seorang praktisi dan profesional hukum perumahan dan pertanahan yang saat ini merupakan Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute dan Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) di Jakarta, baru-baru ini.
Bank Tanah disahkan dalam UU Cipta Kerja, komentar Anda?
Institusi ini lama dinanti. Pernah hendak dimasukkan dalam RUU Pertanahan, pernah pula hendak dibuat dengan Peraturan Presiden. The HUD Institute menggemakannya sejak lama khususnya bank tanah perumahan rakyat.
Badan baru ini sebenarnya bukan “barang” baru, karena sudah lazim di banyak negara lain, Bahkan di Indonesia korporasi developer swasta maupun BUMN sudah mempraktikkan pengelolaan tanah layaknya bank tanah dengan versi berbeda.
Sebagai badan baru yang dibentuk Pemerintah Pusat yang mengelola tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, maka bank tanah ini kunci untuk membuka gembok permasalahan penyediaan tanah perumahan rakyat perkotaan.

Apa nantinya status badan ini?
Badan ini dibentuk sebagai badan khusus, bukan BUMN, bukan pula badan layanan umum (BLU), yang tugasnya mengelola tanah seperti bunyi Pasal 125 ayat (2), walaupun dibagian lain dinormakan bukan hanya land manager bahkan lebih luas lagi, sebab badan ini melakukan fungsi perencanaan, perolehan dan pengadaan. Juga, pengadaan, pemanfaatan dan pendistribusian yang diatur Pasal 125 ayat (4).
Jadi mirip seperti lazimnya bank keuangan, namun bank tanah bersifat nonprofit. Apalagi bank tanah ini dikaitkan dengan keadilan ekonomi dan agenda reforma agraria. Menurut hemat saya, badan bank tanah ini juga harus berperan dalam mengendalikan harga tanah. Jangan malah harga tanah tetap saja tidak efisien setelah kehadiran bank tanah.
Dengan begitu, bank tanah ini benar-benar menjadi kunci mengatasi backlog dengan ketersediaan perumahan rakyat yang layak, terjangkau dan untuk semua, tak ada yang tertinggal. Apa lagi bank tanah ini akan terkoneksi dengan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3), badan khusus yang juga bakal segera dibentuk dengan Peraturan Presiden.
Bank tanah ini apakah nantinya tidak tumpang tindih dengan Badan Pertanahan Nasional?
BPN sebagai land regulator body dan menyelenggarakan administrasi pendaftaran tanah (national land administration), meski kalau menurut saya BPN seharusnya juga melakukan perencanaan kebijakan pertanahan (national land policy) dan mengembangkan sistem informasi pertanahan nasional yang dapat diakses publik secara terintegrasi.
Artinya, BPN tidak bisa sebagai operator atau land manager. Badan bank tanah sebagai pengelola tanah dengan segenap fungsinya menjadi operator dan provider sesuai hukum yang berlaku. Periksalah UU Cipta Kerja, tidak ada fungsi regulator melekat pada badan bank tanah.
Kaitannya dengan penyediaan tanah perumahan rakyat?
Absolut, sebab itu mandat konstitusi dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. BPN harus meregulasi kebijakan nasional penyediaan tanah untuk perumahan rakyat, baik MBR maupun masyarakat miskin. Dasarnya bisa mengacu pada Pasal 14 ayat (1) UUPA. Kini diperjelas dengan Pasal 126 yang tugasnya menjamin ketersediaan tanah yang berkeadilan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, pembangunan nasional, yang tentu saja dimaksudkan untuk perumahan rakyat.
Perlu dicatat, UU menyebut dengan menjamin dan ekonomi berkeadilan. Bukan dengan mekanisme pasar bebas. Justru disitu bedanya misi dan fungsi badan bank tanah.
Konkritnya?
Tanah untuk perumahan rakyat harus lebih mudah. Tanah untuk perumahan rakyat dialokasikan signifikan dalam regulasi bank tanah, dan karenanya musti lebih mudah, murah dan harga jual perumahan rakyat bagi MBR lebih murah dan terjangkau, bukan justru semakin mahal. Karena badan ini bertindak sebagai pengendali harga tanah. Bagi rakyat dan dalam bahasa empiris, ya rumah lebih murah karena faktor tanah yang sulit sudah diatasi.
Bank tanah perannya berat, ditengah masalah akut kelangkaan tanah dan rumitnya masalah perumahan rakyat.
Sumber tanah yang dikelola bank tanah darimana saja?
Ini soal yang penting, dan titik krusial. Jika ditelaah dari status tanah yang dikelola badan bank tanah disebutkan sebagai hak pengelolaan (HPL). UU juga memberi dasar HPL kepada badan bank tanah. Namun, sepanjang saya periksa tidak eksplisit menyebut sumber tanah darimana?
Maksudnya?
Jika ditafsirkan dari Pasal 129 ayat (1), tanah yang dikelolanya dengan diberikan hak pengelolaan. Jika diasumsikan semuanya diberi hak pengelolaan, maka sumbernya bukan dari barang milik negara/ daerah (Barang Milik Negara/ BMN) ataupun Barang Milik Daerah (BMD) yang sudah dikelola dan dimanfaatkan serta telah diberikan hak semisal hak pakai, hak guna bangunan.
Kita ketahui BMN/BMD tunduk pada ketentuan rezim UU Perbendaharaan Negara. Mari sama-sama kita periksa lagi, mengapa tidak ada dibunyikan dalam UU Cipta Kerja sumber tanah berasal dari BMN/BMD. Juga, tidak disebutkan frasa/norma tanah terlatar, tanah cadangan umum negara (TCUN), tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, atau tumbuh ataupun tanah bekas pertambangan atau perkebunan. Tidak pula disebut karena perubahan tata ruang.
Menteri ATR menyebutkan dari tanah terlantar, pendapat anda?
Nah, itu yang harus dicarikan landasan normatifnya. Bisa jadi dilakukan legal improvement dengan merumuskan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur sumber kekayaan badan bank tanah dengan penyertaan modal negara, ataupun sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Karena status tanah terlantar maupun TCUN bahkan bekas perkebunan maupun pertambangan adalah domein otoritas BPN, yang lantas diberikan kepada bank tanah menjadi hak pengelolaan. Jadi tetap dikendalikan BPN.
Hemat saya, sekalian saja BPN menyiapkan national land policy, sehingga ada kebijakan lebih pasti dan tinggi dari sekadar kebijakan parsial pemberian hak tanah negara kepada bank tanah dengan HPL.
Jadi BMN/ BMD tetap dikelola BUMN selaku pemegang haknya?
Menurut saya, UU Cipta Kerja tidak mengalihkan itu ke badan bank tanah, kecuali sudah menjadi tanah negara karena jatuh jempo jangka waktu pemberian hak. Jadi bagi BMN/ BMD sistemnya tetap berjalan sedia kala.
Anda optimis kepada badan bank tanah?
Normatif sudah maju eksponental, tetapi penerapan hukum kan berada di ruang sosial, bersimpul dengan birokrasi dalam keadaan konkrit. Hukum yang efektif itu adalah hukum dilaksanakan dan menjadi hukum empiris, yang nyata berlaku dan dirasakan hasil kemanfaatannya, kepastiannya, dan keadilannya. Bukan hanya eksis sebagai aturan hukum formal.
Kita sama-sama lihat bagaimana kenyataan sosial dan realitas hukum empirisnya. Di situlah, hemat saya bukan hanya substansi hukum perlu di-OmnibusLaw-kan, namun juga kelembagaan yang efektif dan budaya hukumnya yang kokoh untuk kebahagian sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya dengan memastikan keadilan dan kepastian dalam keadilan. Seperti pernah saya tulis dari Omnibus Law ke Omnibus “Happy” Law.
Saran Anda?
Ya, badan bank tanah musti memiliki tata kelola yang baik, dengan profesional judgement rules, dan komite, pengawas dan badan pelaksana diisi sumberdaya yang kapabel dan kredibel.
Regulasi harus pasti dan harmonisasi efektif. Standar etiknya mutlak mesti terbangun dengan solid. PP-nya disusun sempurna tanpa sela, normanya memiliki validitas tak hanya demi keberlakuan saja. Prosesnya harus partisipatif, sehingga perumusannya utuh dan bisa mengantisipasi masalah, serta mengisi celah-celah hukum. Proses partisipatif itu bisa membenihkan kepercayaan publik.
Saya menamsilkan badan ini ibarat ombak yang datang menemui teluk, dimana airnya harus mengalir sampai ke sela-sela halus batu karang, sehingga tidak terjadi kekosongan “air” hukum.