
JAKARTA, KORIDOR – Diperbolehkannya warga negara asing (WNA) beli apartemen dengan status Hak Milik untuk satuan rumah susun (sarusun) atau unitnya saja dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja disambut gembira pelaku bisnis properti di tanah air. Kebijakan ini dianggap sebagai “angin segar” untuk perbesar potential market apartemen yang di masa pandemi Covid-19 ini merosot tajam.
Meski demikian, Ali Hanafia Lijaya praktisi pemasaran properti menilai, payung hukum ini sudah terlambat jika dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Singapura malah berani memberikan hak Freehold Estate dan Leasehold Estate untuk pembelian apartemen oleh WNA.
Freehold Estate adalah tanah yang dipegang hak atas tanahnya oleh seseorang untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Terdapat dua jenis freehold estate yaitu yang dapat diwariskan dan yang berlaku hanya sebatas seumur hidupnya. Sementara Leasehold Estate adalah tanah yang jangka waktunya ditentukan, umumnya 99 tahun atau 999 tahun.
“Namun dengan adanya undang-undang ini masih lebih baik daripada tidak ada. Paling tidak akan memberikan confidence WNA yang ingin memiliki hunian dan berinvestasi properti di Indonesia,” kata Direktur Utama Li Realty ini, Senin (19/10), di Jakarta.
Menurut Ali, jika pemerintah ingin WNA berinvestasi properti (apartemen) di Indonesia, maka contohlah Singapura. Pemerintah Singapura secara aktif mendorong masuknya investasi asing ke negaranya salah satunya adalah dengan cara mempermudah kepemilikan rumah susun bagi orang asing. Juga pajak transaksi yang tidak tinggi. Tidak heran kalau apartemen di Singapura, kata Ali, banyak dibeli orang asing termasuk warga negara Indonesia (WNI).
Lantas apakah dengan dilegalkannya Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMSRS) bagi WNA, orang asing langsung berbondong-bondong beli apartemen di Indonesia? “Ini tidak seperti makan cabai langsung pedes. WNA pasti wait and see juga. Apa benar peraturannya begitu? Bagaimana situasi politik dan keamanan di Indonesia? Apakah ada masalah jika mereka ingin jual kembali? Banyak hal yang akan mereka pertimbangkan untuk sampai pada keputusan berinvestasi,” ujar Ali.
Di samping itu, lanjut Ali, agar WNA tertarik beli apartemen, para pengembang harus melakukan berbagai inovasi dalam pembangunan dan pemasaran apartemen. Karena itu, studi kelayakannya harus tepat, terutama WNA dari negara mana yang disasar dan seberapa besar kemampuannya?

Mengapa mesti takut
Ali mengatakan, masyarakat tidak perlu takut kalau orang asing membeli apartemen berstatus HMSRS, maka harga property (apartemen) akan gila-gilaan. Walau kran pemilikan apartemen WNA dibuka, tapi aturan-aturan yang ada tetap membatasi. Bahwa WNA yang dapat membeli apartemen itu adalah WNA yang Berkedudukan di Indonesia yang keberadaanya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi, serta memiliki ijin tinggal di Indonesia.
“Lagi pula ada batasan harga sesuai daerah masing-masing jika WNA ingin beli apartemen. Apartemen yang dibeli pun harus dari primary market (apartemen baru yang dipasarkan pengembang). Sehingga marketnya tidak terlalu besar. Yang kita jual itu hanya langit (unit apartemen), sementara tanahnya tetap Hak Guna Bangunan. Jadi mengapa mesti takut?,” pungkas Ali.
Di saat ekonomi yang sedang menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19, Ali mengusul pembatasan-pembatasan tersebut dibuka saja. Toh tenaga kerja asing juga sudah berkurang atau kembali ke negaranya masing-masing. Jadi percuma dibatasi.
Lebih lanjut Ali menyarankan, pemerintah jangan setengah-setengah bila ingin menarik orang asing investasi properti di Indonesia. Untuk saat ini sebaiknya dibuka lebih lebar sampai kuota tertentu, jika membludak baru dibatasi.
“Regulasinya kan bisa kita buat on-off. Kalau belum apa-apa sudah dibatasi, ibarat perempuan merasa kecantikan, yakin banyak asing mau beli apartemen di Indonesia dengan iming-iming Hak Milik, padahal belum tentu. Jangan kepedean,” tegas Ali.
Penulis: Erlan Kallo