Sudah berapa lama negeri ini dan warga masyarakatnya lahir, hidup, eksis, tumbuh, cari maka dan berkegiatan dan bertumpu di kota? Namun sampai sekarang tanpa UU Perkotaan.
Rasakan dan gelutilah masalah kota kini yang sudah akut, dan mendesak diatasi. Tak hanya tambal sulam namun mendasar, berkeadilan dan pasti. Termasuk soal Secure Tenure untuk memastikan hunian yang berkeadilan dan tentu layak ditinggali bukan hanya terjangkau dibeli.
Aturan Secure Tenur dinilai tak ada, itu bukan salah UUPA yang orisinal intennya cenderung ke agraris, bukan cenderung ke kota. Tak ada konsep dan diksi kota dalam UUPA
UUPA hanya menjamin hak atas tanah, dan peruntukannya untuk “abc-fgh”, namun tidak ada persediaan, peruntukan, penggunaan untuk perumahan, permukiman dan perkotaan dalam UUPA. Padahal kua teknis dan historis, perumahan adalah mosaik utama pembentuk kota. Beda dengan peruntukan bagi, misalnya perkebunan, pertanian, yang dibunyikan eksplisit sebagai norma aturan dalam Pasal 14 ayat 1 UUPA.
Lebih lagi memang karena tidak ada UU Perkotaan. Bukankah sudah watak dan cara pemerintah subsider birokrasi yang bekerja berdasarkan apa yang ada aturan –yang disuruhkan. Bukan bekerja atas apa yang boleh dan tak dilarang. Begitu kaidah bekerjanya birokrasi walau ada diskresi atau freis ermessen dengan syarat rechtmatigeheid dan doelmatigeheid.
Berikut ini lain-lain alasan yang tak kalah penting perlunya sepaket UU yang mengeliatkan Housing and Urban Development termasuk Secure Tenur, namun bukan terbatas hanya UU Perkotaan, yakni:
(1) Diatas tanah semua ada dan bertumpu: perkebunan, pertanian, hutan, lingkungan, bangunan gedung, infrastruktur jalan, trotoar, jalur peseda, stasiun kereta, baliho, iklan (bahkan iklan rokok).
Tentunya pada ruang kota pasti ada perumahan (bahkan di lingkaran inti kota), pertokoan mewah, kedai kopi, lalu lintas jalan, stadion bola, masjid, sekolah dan juga monumen landmark kota, tugu peringatan, patung pahlawan, tugu pemberian negara bersahabat, dan segala macam karya peradaban, yang dinikmati demi kenyamanan sebagian besar warga yang beraktifitas di kota dan perkotaan
Namun dan akan tetapi tak ada pengaturan dengan UU Perkotaan. Ajaib kan?
(2) Kota yang ada sekarang ada ialah kota dari zaman ke zaman, yang masib ada dan bernama kota lama yang dibangun kolonial Belanda dan tak bisa dibawanya pulang.
Juga ada dan menggejala kawasan permukiman yang bertumbuh mengkota menjadi perkotaan. Ada juga kawasan baru dibangun sistematis, megah dan mahal menjadi “kota baru” atau sebut saja new town walau ada pada tepian kota bahkan tepian jamak kota.
Pun aliran uang berputar terbesar dari dan di kota, konsumsi listrik paling dominan di kota, arus lintasan penduduk bergerak ke kota sebagai perantau, komuter, urbanisasi, metropolitanisasi, bahkan tak terbantak kriminalitas masih ada.
Juga, untuk sang kota dan kita, maka berkembanglah profesi urban planner, perencana, developer, bahkan REI dimulai dari ibukota Jakarta, sehingga tersebab itu kota termasuk zat buatan paling diperlukan manusia. Demi mengurusi kota maka makin berkembang kota sebagai basis kemajuan sains dan profesi, bahkan paradigma pembangunan yang mencuatkan visi Housing and Urban Development (HUD paradigm).
Juga, mesin ekonomi tumbuh di kota menjadi urban economics yang riuh dan menjanjikan. Kota tak hanya jalan panjang dan pangkalan hunian. Kota tak hanya layanan (services) namun episentrum segala pertumbuhan. Namun, ajaibnya kita masih betah bertahan tanpa UU Perkotaan. Lebih lagi lita lupa dulu Belanda dan rezim awal negeri ini dibangun telah ada gagasan RUU Bina Kota yang mengatur hal ikhwal kota, tak hanya soal organisasi kuasa kota belaka.
(3) Era moderen, dimana Indonesia 100 tahun 2045 kita butuh kota ditata moderen dan berbasis hukum kokoh agar tak ada lagi — setidaknya terjawab– kritik berulang dan berbilang pegiat HUD subsider pak Jehansyah Siregar.
Membangun kota bukan hanya penjumlahan bangunan. Bangunan bukan pula hanya fisiknya saja. Kota dibangun dengan visi, paradigma dan ilmu bahkan profesinya demi memanusiakan manusia. Karena diisi manusia dan warga, dimana perumahan sebagai mosaik utama pembentukan kota, bukan hanya perkantoran, pasar, dan jalan saja.
Kota juga perlu bernafas dan berteduh, asri sehingga layak huni dan hijau, yang diisi penghuni manusia yang beragam rupa, berdaya, beradab, dan smart. Kota bukan hanya otoritas kota. Sebab itu kota dan warganya, juga masyarakat, dunia usaha, pemerintah, membutuhkan UU Perkotaan. Yang melengkapi UU No. 1 Tahun 2011 (UU PKP) dan UU Rumah Susun.
Membangun kota perlu paradigm, ilmu, teknik, teknologi dan profesional serta melindungi konsumen dan masyarakat. Sebab itu UU PKP, UU Rumah Susun, UU Bangunan Gedung, UU PA, bahkan UU Cipta Kerja, tidak memadai. Sepaket dengan perlunya UU Perkotaan, saya mendorong UU Realestat.
(4) Karena semua yang ada diatas tanah yang sudah diatur UUPA, dimana tanah merupakan hak menguasai negara, ada peruntukan, titel haknya, dan ada wewenang pemerintah dalam persediaan, peruntukan, penggunaan tanah versi Pasal 14 ayat 1 UUPA. Namun UUPA tak ada menyebut persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk perumahan dan permukiman.
Inilah kausal mengapa tak ada jaminan persediaan tanah bagi perumahan rakyat, walau dalam pengaturan persediaan tanah dalam UU PKP, namun tidak dalam UUPA.
Jangankan untuk perumahan warga masyarakat yang menempati tanpa sertifikat tanda bukti hak (kalau untuk lahan pertanian disebut penggarap), persediaan tanah untuk perumahan saja belum pasti sebagai kebijakan rencana persedian pun alokasi dalam UU. Artinya, terkonfirmasi bahwa secara hukum belum ada Secure Tenur, padahal itu hak substantif dan kebutuhan dasar jika mengacu konstitusi Pasal 28H ayat 1 UUD 1945.
Padahal jaminan hak perumahan itu adalah diakui universal sebagai hak substantif yang mendasar. Analog seperti hak atas pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan –dalam keadaan apapun– bahkan sedia obat, dokter dan rumahsakit.
(5) Masyarakat, dunia usaha, Pemerintah, bahkan negara membutuhkan “hukum prosedural” mengkonkritkan hak substantif bermukim alias secure tenur yang nota bene hak konstitusi itu. Seperti halnya hukum materil butuh hukum formil. Seperti KUHP dijalankan dengan KUHAP.
Sebab itu perlu ada UU yang memudahkan, aturan prosedural memastikan tegaknya Secure Tenur cq. hak bermukim juncto hak perumahan itu.
Usul saya perlu pengaturan UU yang memastikan tatacara persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk perumahan dan perkotaan yang menjadi National Grand Policy on Public Housing yang menjadi mandat, wewenang dan sekaligus tata kelola (governance) untuk melaksanakan hak substantif atas hak bermukim cq.hak perumahan yang merupakan hak konstitusional itu.
Jadi juga perlu didorong Good Agrarian Governance, melengkapi Good Governance, yang mengikuti dan kompatibel dengan agenda Reforma Agraria Perkotaan.
Tak cukup dengan UUPA, tak memadai dengan UU Cipta Kerja Jo. PP Bank Tanah, sebab tidak ada wewenang materil dan formil badan bank tanah dalam PP 64/2021 menjawab dan intervensi Secure Tenur yang mandatnya bersumber dari konstitusi. Sebab ada gap institusional pun dalam analisa hirarkhi norma.
Sekali lagi, tak bisa dengan Badan Bank Tanah yang hanya operator tak bisa mengambil alih wewenang BPN.
Badan baru hasil dari UU Cipta Kerja tak bisa menjalankan kekuasaan pemerintahan dalam bidang pertanahan yang dipegang Presiden –dan dilaksanakan Menteri Agraria/Kepala BPN– sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan amanat konstitusi.
Lagi pula, Badan Bank Tanah hanya berwenang membuat perencanaan induk untuk melayani ranah urusannya sendiri, karena itu tak valid menjangkau, melayani dan menjawab soal mendasar Secure Tenur.
Dari 5 (lima) narasi dan justifikasi itu perlu sepaket UU Perkotaan, UU Realestat dan UU mengatur penyediaan tanah bagi HUD. Tabik.