Opini

7 Postulat Hunian Madani Berkelanjutan Berbasis Syariah*

Oleh: Muhammad Joni_Advokat, Sekretaris Umum The HUD Institute

Di tengah gegap gemuruh  pergunjingan ihwal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjatuhkan amar putusan UU Cipta Kerja (UU CK) inkonstitusional bersyarat,  The Housing and Urban Development (HUD) Institute acap bergiat mementingkan  perumahan rakyat –yang layak, terjangkau dan berkelanjutan. Khususnya bagi masyarakat berpeghasilan rendah (MBR) yang terimbas pendemi COVID-19.

Peduli skala tinggi pada MBR,   The HUD Institute menggelar lokakarya   ‘Pengarusutamaan Hunian Madani dan Berkelanjutan di Indonesia’, 30 Nopember 2021.  Dalam helat sehari,  lembaga  nirlaba tempat berhimpunnya pemikir, praktisi, lintas profesi dan pelaku usaha  perumahan dan pembangunan perkotaan itu menelurkan 10 rekomendasi. Dengan menggandeng  Dewan Syariah Nasional MUI, Realestat Indonesia (REI),  HIMPERRA, APERSI, Asosiasi Developer Property Syariah (ADPS), lembaga pemerintah, bank BUMN dan lembaga pembiayaan.

Berikut ini 7 alasan mengapa perumahan madani dan berkelanjutan berbasis syariah (sebut saja “PMBS”), yang  diikat sebagai 7 postulat opini ini.

  1. PMBS itu signifikan sebagai daftar sediaan/ pasokan perumahan ke pasar hunian perumahan. Akibatnya,  sediaan perumahan  menjadi semakin ramai,  berwarna,  dan plural, sehingga pasar maupun konsumen semakin rasional dan realistis  dalam pilih-memilih  sediaan perumahan. Konsumen  bebas memilih dengan cerdas dan nyaman. Seperti alasan emak-emak mengapa pergi ke pasar “A”  bukan ke pertokoan  “B”, karena: “Di sini enak, nyaman dan banyak pilihan”.  Postulat ke-1 opini ini bahwa PMBS membuat pasar makin rasional dan nyaman.
  2. Dari data ADPS di forum The HUD Institute, dipatok ultimate objective ADPS 2025 untuk 2 (dua) hal: mematangkan model bisnis properti syariah dan program sediaan 1 juta unit properti syariah. Dengan peta proyek  (tahun 2021) total 1054 proyek, 1180 Hektar, 45 ribu unit rumah, market size (2013-2021) ditaksir 20 triliun, menyerap lebih 5.000 teaga kerja langsung dan 16.000 freelancer. Apa jurus rahasianya? Tahun 2025 ADPS menarget 1 juta unit properti syariah ekuivalen 400 triliun. Tentu dengan asumsi data ini sudah dikalibrasi dan dikonfirmasi.
  3. PMBS itu memungkinkan dan menyediakan alternatif  pembiayaan perumahan yang tidak hanya pembiayaan konvensional, namun syariah bahkan tanpa lembaga  pembiayaan/ bank. Berkaca pada ADPS yang mengusung tagline gamahripah ini:  #TanpaBank #TanpaRiba #TanpaDenda dan #TanpaSita.  Bukan berarti hendak anti bank, siapa yang tak gusar dengan  denda dan gemetar dengan sita? Takut riba? Perlu penasaran  panjang dan diskusi mengakar di luar opini alakadar ini untuk menjawab hal-ikhwal esensial itu.  Bahkan perumahan tanpa lembaga pembiayaan, memiliki akar kuat sebagai “native” bukan “alter-native” pembangunan perumahan. Periksalah konsep perumahan komunitas, pun perumahan swadaya/ swakarsa yang dinormakan dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan kawasan Permukiman (UU No. 1/2011). PMBS membuat pembiayaan makin ramai, inovatif, kompetitif menjangkau MBR.   Postuat ke-2 opini ini, PMBS mendorong  lembaga pembiayaan  makin inovatif, menyamankan MBR, atau konsumen mengucapkan “selamat tinggal”.  Apalagi di era digital,  kondite developer  terekam dalam genggaman. Sekali ‘Klik’, konsumen pun cau pergi ke toko sebelah.
  4. PMBS terhimpun dalam suatu asosiasi pengembang  yang  bergerak signifikan ke dalam ADPS  yang mengonsolidasi/ terkonsolidasi ke segenap kabupaten/ kota seluruh Indonesia, dengan proyek di 29 provinsi, 1054 lokasi di 153 kabupaten/kota.  Belum lagi pelaku pembangunan perumahan MBR yang tersebar di asosiasi besar seperti REI, HIMPERRA, APERSI. Sehingga beralasan mengarusutamakan (mainstreaming) pengembangannya yang semakin tersistem dan tumbuh massif. Tentu saja memastikan produk yang  terstandar, sehingga   bisa menjadi alibi  relasi bilateral yang setara, dan kenyamanan produsen-konsumen yang terjaga,  dan menyumbang  pembudayaan praktik good public housing governance.  PMBS berkembang karena produk terstandar, pelaku usaha menyamankan konsumen. Postulat ke-3 opini ini, merumahkan rakyat itu membangun kenyamanan sosial,  tak sekadar pembangunan fisik, dan harus dicatat: beyond transaction scheme and engineering!
  5. PMBS itu signifikan dalam mengatasi pemulihan ekonomi nasional. Jika merujuk data yang disajikan, maka sektor perumahan menyumbang pertumbuhan lebih dari yang diperkirakan, apalagi berkaitan dengan rantai pasok yang jamak dan menggeliatkan 174 jenis usaha turunan. Walau kondisi pendemi mengemas MBR, akan tetapi  “Pendemi, Pembiayaan Properti Syariah Tumbuh Eksponensial”, dengan  tantangan untuk meningkatkan skala usaha berbasis syariah,  begitu ulasan ‘Indonesia Housing’. Kelompok Tasnim  misalnya, membuka peluang pemilik lahan bahan komunitas ditarik sebagai co-develover, bukan hanya melepaskan tanahnya, tersisih dari tanahnya, dan tinggal di “kampung terjepit”. Jurus ini efektif memitigasi  sengketa pertanahan. Postulat ke-4 opini ini, PMBS membuka tabir co-developer yang berkomitmen memitigasi konflik sejak perencanaan.
  6. PMBS itu signifikan terbukti bisa inovatif dalam hal  keunggulan produk,  comparative advantages, bahkan kenyaman dalam relasi produsen-konsumen.  Sehingga merangsang  geliat  potensi pasar  yang hati-hati dan wait and see, yang terpaut hati dengan tawaran produk tampil beda dan kenyamanan bukan hanya atas  pasokan hunian  produk properti namun lebih dari sekadar layanan purna jual. Tapi purna    Pembangunan perumahan bukan transaksi sekali pakai, namun bagian dari niat mulia konsumen cerdas dan bijak mempergunakan dananya membangun keluarga bahagia.  Membangun perumahan adalah menjaga peradaban, dan itu konstitusional. Postulat ke-5 opini ini, developer tak hanya belakon bak mesin “pencetak uang”, tetapi membangun reputasi menjadi “Developer of Happy Land”, seperti ayat ke 28 dari buku ‘Ayat-Ayat Perumahan Rakyat’ (2018).
  7. PMBS itu signifikan digerakkan lebih besar, dengan melakukan scale up, yang menasional dan bersifat universal. Sebab PMBS sah sebagai bagian dari sistem pembiayaan perumahan, pembiayaan  perumahan MBR versi UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera)  dan bagian dari keutamaan  ekonomi syariah untuk mengungkit kesejahteraan ekonomi bangsa Indonesia.  Kalau ADPS bisa bergeliat menjadi mesin pembangkit pemulihan ekonomi nasional di sektor perumahan rakyat, mengapa tidak untuk mesin baru bernama BP Tapera –yang memungkinkan pembiayaan syariah—  yang lebih murah dan menjangkau semua lapis MBR? Ingat, UU Tapera itu mandatory UU No. 1/2011  yang menganut asas perumahan layak dan terjangkau. Dengan mengarusutamakan PMBS ke dalam ekosistem perumahan rayat?  Bagian penting dari ”omnibus” perumahan rakyat.  Postulat ke-6 opini ini, sahih dan bertenaga memosisikan  PMBS bagian dari ekosistem perumahan rakyat.
| Baca Juga:   Menyoal Sengketa Lahan Rocky Gerung Vs Sentul City*

Dengan data dan pelajaran dari PMBS  diatas,   terbangun relasi developer-konsumen dengan  kenyamanan, madani, dan berkelanjutan. Yang diyakini dan  diprediksi mampu menekan konflik produsen-konsumen yang acap tercatat rangkin teratas sebagai  pengaduan konsumen  di badan perlindungan konsumen nasional. Yang bahkan berbuntut pada merebaknya gugatan PKPU dan kepailitan developer. Yang bahkan menyasar developer skala kota mandiri.   Bukan hanya kepintaran  menjual, namun kenyamanan-lah yang mengikat  loyalitas konsumen. Rawatlah itu. Jangan ugal-ugalan kepada konsumen. Saya percaya watak asli developer   membangun kenyamanan. Postulat ke-7 opini ini, bisnis properti adalah rantai  usaha yang panjang, berkelanjutan, bergenerasi. Bukan arena  hit and run. Tak zamannya lagi!  Perlu jurus yang “omnibus”  menyamankan  konsumen. Itu berkah dan dahsyat.  Tabik.

*Tulisan Ini merupakan pendapat pribadi penulis

Erfendi

Penulis dan penikmat informasi terkait industri properti dan turunannya dengan pengalaman lebih dari 15 tahun. Email: exa_lin@yahoo.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button