JAKARTA, KORIDOR – Pandemi Covid-19 ternyata tidak hanya memakan korban individu manusia, tetapi beberapa perusahaan pengembang (properti) turut merasakan dampaknya yang harus berujung pailit alias bangkrut.
Pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadaan yang berwenang.
Satu salah kasus pailit pengembang yang belum lama ini sudah mendapatkan “sertifikat kebangkrutannya” adalah PT Cowell Development Tbk, pengembang perumahan mewah di kawasan Serpong, Kota Tangerang Selatan, dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dengan register Nomor: 21/Pdt. Sus/Pailit/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst, yang diajukan oleh kreditor atas nama PT Multi Cakra Kencana Abadi.
Kasus-kasus kepailitan perusahaan properti ke depan mungkin saja akan terus berlanjut dan hal ini mengundang keprihatinan Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia (LAKPI) Erwin Kallo. Sebab dalam setiap kasus pailit tersebut akan merugikan berbagai pihak, terutama konsumen dan developer itu sendiri.
“Sudah menjadi rahasia umum jika “proyek” pailit ini sering ada mafianya, bahkan tidak jarang ada pemodalnya, dan memang di-setting dari awal. Ujung-ujungnya yang paling dirugikan selalu adalah konsumen jika terjadi kasus pailit,” kata Erwin dalam acara Exclusive Interview bertema “Pailit di Industri Properti, Siapa Untung Siapa Rugi”, yang disiarkan secara live di CNBC Indonesia, Jumat, 18 September 2020.
Mengapa dirugikan, karena dalam Undang-Undang Kepailitan, konsumen itu dikategorikan sebagai Kreditur Konkuren, yaitu kreditor yang tidak mempunyai hak untuk menguasai jaminan berupa benda sehingga penyelesaian utang terhadap Kreditur Konkuren dilakukan setelah kewajiban terhadap kreditur lain diberikan. Berbeda dengan Kreditur Preferen yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa.
Artinya, properti konsumen (terutama yang belum lunas) itu masih dihitung sebagai aset developer (deditur), sehingga pembayarannya paling akhir setelah utang-utang developer kepada pihak ketiga terutama kontraktor dibayarkan. Celakanya, uang dari kasus pailit ini sering tersisa hanya sedikit, bahkan bisa minus.
Karena itu, Erwin mengusulkan, agar dalam resivi UU Kepailitan status konsumen dinaikkan dari Kreditur Konkuren menjadi Kreditur Preferen. Mengapa demikian? Karena selama ini mungkin pertimbangannya kontraktor yang bangun, sehingga uangnya dari kontraktor dan wajar didahulukan pembayarannya ketika terjadi pailit. Itu kalau turnkey project.
Turnkey project ini adalah pembayaran oleh developer atau pemilik proyek terhadap kontraktor sebagai pelaksana pada saat pekerjaan telah selesai seluruhnya atau pada saat proyek serah terima dari pelaksana ke pemilik.
“Tapi dalam kenyataannya tidak. Kalau sistem progress payment itu uangnya kosumen (untuk membangun). Jadi seharusnya konsumen ditempatkan sebagai Kreditur Preferen. Kalau Konkuren kasihan. Sebab apa? Dia (konsumen) tidak terlibat kesalahan terhadap proyek itu. Kalau kontraktor bisa saja salah. Saya banyak temukan kontraktor yang nakal. Artinya status Preferen kontraktor justru saya pertanyakan. Selain konsumen yang paling dirugikan, adalah developer dan bank,” tegas Erwin.
Justru itu, kata Erwin, konsumen mau tidak mau harus mencegah terjadi pailit dalam rapat kreditur dengan menggunakan hak suara. “Dan yang paling untung adalah oknum, para distressed investor dan tentu saja kurator. Karena kurator langsung mendapatkan bagian 7% di depan, apapun hasil akhir kepailitannya,” ungkapnya.
Penulis: Erlan Kallo