JAKARTA, KORIDOR – Meski pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja menerbitkan banyak kontroversi, namun di sektor properti “naga-naganya” mendapatkan “angin segar”, khususnya di subsektor pasar apartemen. Pasalnya, dalam Undang-Undang tersebut kran pemilikan unit apartemen oleh orang asing diperbolehkan.
Hal ini tercantum dalam Pasal 143 (hal.545) yang berbunyi: “Hak milik atas satuan rumah susun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”
Kemudian berlanjut ke Pasal 144, ayat 1 (hal. 546) yang mempertegas siapa saja yang bisa mendapatkan Hak milik atas satuan rumah susun tersebut, yaitu: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; c. warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; atau e. perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia.
Selanjutnya, Pasal 114 ayat 2 menerangkan, hak milik atas sarusun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan. Dan ayat 3 menjelaskan, Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Diperbolehkannya orang asing memiliki unit satuan rumah susun (Sarusun) ini diamini oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil dalam konferensi pers bersama UU Cipta Kerja, Rabu (7/10/2020).
Menurut Sofyan menegaskan, Warga Negara Asing ( WNA) diizinkan untuk memiliki ruang rumah susun (rusun) atau apartemen. Izin ini diberikan karena sifat rusun berbeda dengan landed house (rumah tapak).
Mengenai perdebatan soal kepemilikan apartemen oleh WNA karena apartemen berdiri di atas tanah bersama yang dimiliki bersama. Sofyan pun mengilustrasikan, bahwa kepemilikan tanah di rumah tapak dan apartemen itu berbeda. Misalnya tanah bersama di apartemen seluas 1.000 m2, maka masing-masing pemilik memiliki satu meter ruang apartemen karena tanah dibagi sesuai dengan jumlah apartemen di atas tanah bersama atau berdasarkan NPP (Nilai Perbandingkan Proporsional).
“Karena ada 1 m2 itu bagi pemilik rumah tidak peduli dengan tanah 1 m2 tapi karena konstruksi hukum Hak Guna Bangunan (HGB) tidak boleh dimiliki orang asing maka selama ini yang terjadi perdebatan,” ujar Sofyan.
Sofyan melanjutkan, UU Cipta Kerja juga mengatur WNA yang membeli apartemen, tidak akan mendapatkan hak atas tanah bersama. Namun, jika tanah atas apartemen itu dijual kepada WNI, maka tanah bersama akan menjadi milik bersama.
Sementara untuk kepemilikan rumah tapak bagi orang asing, Sofyan mengatakan, pihaknya tidak merubah adapun ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Orang asing yang mau beri rumah tapak hanya boleh memiliki Hak Pakai.
Sesuai dengan harapan para pengembang yang bermain apartemen selama ini. Menurut mereka potensi pasar apartemen untuk orang asing sangat lah besar, namun menjadi tidak menarik karena regulasi yang ada tidak mendukung hal tersebut, karena orang asing hanya boleh memiliki sebagai Hak Pakai.
Di DKI Jakarta penyerapan pasar apartemen dari tahun 2015 terus merosot. Data dari Colliers International (Indonesia) menyebutkan tren penurunan yang signifikan di DKI Jakarta yaitu: 2015 : 10.620 unit, 2016 : 8.867 unit, 2017 : 8.243 unit, 2018 : 5.898 unit, dan 2019 : 4.682.
Apakah UU Cipta Kerja ini benar-benar menjadi “angin segar” bagi pasar apartemen di Indonesia? Tentunya masih banyak faktor yang menjadi pertimbangan orang asing membeli apartemen di Indonesia. Namun jika benar UU Cipta Kerja ini jadi diundangkan, maka paling tidak menjadi secercah harapan di tengah gelombang pandemi tak berkesudahan.
Penulis: Erlan Kallo