Oleh: Juneidi D Kamil, SH. ME. CRA
Sengketa kasus tanah yang melibatkan pengembang dan pemilik tanah atau oknum yang mengaku pemilik tanah sah masih sering terjadi di industri properti. Beberapa kasus berujung ke pengadilan dan melewati jalur yang panjang sekali. Namun ada kasus yang diselesaikan secara damai atau kekeluargaan.
Dalam menghadapi masalah-masalah sengketa tanah ini, sebaiknya perusahaan properti lebih mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan (non litigasi). Pola penyelesaian dengan cara ini lebih efektif dibandingkan dengan harus berperkara di pengadilan. Solusi 3P dapat dilakukan sebagai upaya menyelesaikan permasalahan ini. Solusi 3P adalah singkatan dari Pastikan, Pertimbangkan dan Putuskan.
Pertama, pastikan posisi hukum perusahaan terhadap hak atas tanah proyek perumahan harus diketahui secara pasti. Apakah penguasaan hak atas tanah itu sudah kuat secara hukum? Atau, apakah penguasan itu justru memiliki kelemahan.
Kedua, pertimbangkan instrumen pilihan penyelesaian hukum baik non litigasi maupun litigasi. Harus diukur biaya, jangka waktu dan prosedur yang diperlukan dalam setiap instrumen penyelesaian. Ketiga, putuskan solusinya segera, dengan memperhatikan kepastian posisi hukum dan beberapa alternatif penyelesaian yang dimungkinkan.
Untuk mengetahui secara pasti posisi hukum perusahaan atas permasalahan tanah tersebut, maka pengembang harus melakukan pemeriksaan masalah hukum (legal audit). Pemeriksaan masalah hukum ini dilakukan berdasarkan dokumen-dokumen yang ada serta informasi-informasi lain yang diperlukan. Perusahaan properti mungkin dapat menugaskan bagian legal perusahaan untuk melakukan legal audit.
Pemeriksaan hukum akan memberikan gambaran tentang kekuatan hukum dan kelemahan hukum perusahaan dalam penguasaan tanah perumahan tersebut. Kesimpulan dari legal audit yang dibuat akan memberikan pendapat hukum (legal opinion) dengan rekomendasi langkah penyelesaian yang terbaik. Penyelesaian terbaik itu tentu saja akan diukur berdasarkan biaya (cost), prosedur dan jangka waktu penyelesaian.
Sebagai bahan pertimbangan, berdasarkan UU No. 5/ 1960 dan PP No.40/2007 tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat hak atas tanah itu bukanlah satu-satunya alat bukti. Sertifikat hak atas tanah hanya merupakan alat pembuktian yang kuat. Terhadap sertifikat hak atas tanah itu masih terbuka kemungkinan pihak lain untuk menggugat keabsahan kepemilikannya.
Perusahaan pengembang juga sebaiknya mempertimbangkan beberapa mekanisme penyelesaian yang dapat dilakukan baik penyelesaian non litigasi maupun litigasi. Bentuk penyelesaian non litigasi lain, selain langsung dilakukan secara kekeluargaan adalah melalui mediasi yang terdapat di Kantor BPN dimana obyek tanah terperkara itu berada.
Apabila penyelesaian secara non litigasi tidak dapat menjadi solusi, maka harus dipahami pihak yang mengaku atas kepemilikan tanah itu dapat mengajukan gugatan secara perdata, gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bahkan tuntutan pidana.
Gugatan perdata dilakukan dengan alasan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Pasal ini mengatur bahwa, “Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”.
Mereka juga dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk menuntut pembatalan atas penerbitan sertifikat hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan UU No.5/1986 jo. UU No.51/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Mereka akan mendalilkan dalam gugatannya bahwa penerbitan sertifikat hak atas tanah itu tidak sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan tuntutan pidana dapat dilakukan atas dasar penguasaan tanah tanpa hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Prp tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya. Tuntutan pidana juga dapat disertai dengan alasan pasal 385 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling lama empat tahun, atau tidak tertutup kemungkinan juga mereka melakukan pelaporan pidana atas dasar adanya dugaan tindak tindak pidana pemalsuan (pasal 263 dan 266 KUHP).
Langkah-langkah hukum secara litigasi itu dapat mengakibatkan proyek perumahan itu status quo (standfast). Keadaan ini dapat menyebabkan munculnya kendala dalam penjualan kepada konsumen yang berminat untuk membeli. Aliran kas (cashflow) keuangan perusahaan pasti akan terganggu.
Jika proyek perumahan tersebut mendapat dukungan kredit modal kerja konstruksi dan KPR dari perbankan, maka pihak bank pasti akan khawatir memberikan pencairan kredit dalam tahap berikutnya. Sebaiknya permasalahan ini dapat secepatnya diselesaikan dan tidak berlarut-larut.
Pengembang tidak perlu khawatir terlalu berlebihan atas adanya risiko-risiko hukum. Pada hakekatnya risiko hukum atas proyek perumahan itu bisa diukur berdasarkan hasil legal audit yang telah dilakukan.
Silahkan gunakan solusi 3P untuk penyelesaian permasalahan sengketa tanah. Semoga bermanfaat.
Penulis adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan
Korespondensi dapat disampaikan melalui:
email : kamiljuneidi@gmail.com