Hukum

  • Pengamat Rusun: Hati-hati! Jangan Pilih Pengurus PPPSRS Pemburu Cuan

    JAKARTA, KORIDOR.ONLINE –  Praktisi Hukum Rizal Siregar prihatin melihat meningkatnya eskalasi konflik antar warga dalam perebutan pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) di DKI Jakarta dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya ada oknum-oknum yang ingin mencari cuan ketika sudah menguasai kepengurusan PPPSRS.

    Seperti diketahui, kata Rizal, rata-rata dana Iuran Pemeliharan Lingkungan (IPL) yang ditarik setiap apartemen yang memiliki sekitar 1.000 unit itu di atas Rp1 miliar. Dengan kewenangannya, pengurus terutama Ketua bisa menentukan siapa vendor pengelola dan pengadaan barang.

    ”Oknum-oknum ini selalu membuat isu yang menjelek-jelekan pengembang, bahkan hoaks untuk mendapatkan simpati pemilik dan penghuni apartemen. Misalnya pengembang ingin terus menguasai pengelolaan apartemen, pengelolaan tidak transparan, bahkan menindas pemiliki dan penghuni,” kata Rizal, Senin (14/8), di Jakarta.

    BACA JUGA: Joko Suranto Terpilih Nahkodai REI

    Menurutnya eskalasi konflik pengelolaan apartemen ini makin besar ketika diterbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta 132 tahun 2018 Tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik, kemudian direvisi dua kali (Pergub 133/2019 dan Pergub 70/2022). Dimana semangat Pergub itu  membatasi ruang gerak pengembang dalam pengelolaan apartemen.

    Beberapa aturan yang membatasi itu, antara lain: Surat Kuasa mengikuti Rapat Umum Anggota (RUA) harus diberikan kepada orang dalam satu Kartu Keluarga (anak, istri, atau saudara) dan hak suara memilih pengurus one name one vote.

    ”Sebetulnya tujuan baik yaitu agar pengembang yang menabrak aturan dan berbuat sewenang-wenang  dalam mengelola apartemen dibatasi. Namun dalam praktiknya ternyata tidak menyelesaikan masalah. Karena tidak semua pengembang itu punya niat tidak baik. Umumnya  mereka tidak mau jejak rekamnya buruk karena ada proyeknya jadi kumuh setelah mereka ditinggalkan,” jelas Rizal.

    BACA JUGA: Saatnya MBR Beli Rumah Sekarang, Tahun Depan harga Rumah Subsidi Naik!

    Sementara itu, lanjut pengamat rumah susun ini, tidak ada jaminan pengelolaan apartemen lebih baik ketika pengurus PPPRS-nya itu murni pemilik. Bahkan ada contoh apartemen di Jakarta Selatan yang ketua PPPSRS-nya adalah mantan anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta era Anies Baswedan diduga membayar pajak pribadi pakai uang PPPSRS, menempatkan orang-orangnya di badan pengelola, dan melakukan pekerjaan yang tidak ada di Rencana Kerja Tahunan (RKT).

    Rizal mengatakan, dalam pengamatannya sebagian oknum pemilik/penghuni yang ngotot jadi pengurus ini adalah orang-orang tidak punya pekerjaan tetap, bahkan ada yang terlibat kasus hukum misalnya penipuan. Repotnya, dalam aturan perundang-undangan tidak ada kualifikasi kapasitas dan kapabilitas pemilik yang boleh jadi pengurus, selain hanya berdomisili di apartemen dan menyelesaian kewajibannya (tidak ada tunggakan).

    ”Karena itu jangan heran kalau tak sedikit apartemen menurun kualitas pengelolaannya, bahkan terjadi KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) pasca penyesuaian PPPSRS menurut Pergub DKI. Sehingga menurut hemat saya, tidak ada urgensinya dikotomi pengembang dan pemilik dalam kepengurusan PPPSRS, sebab tidak jaminan akan lebih baik. Yang terpenting aturan yang dibuat harus berimbangan dan adil,” tegasnya.

    BACA JUGA: BP Tapera Soft Launching Tapera Mobile

    Dalam praktiknya, kata Rizal, diduga ada pemilik/penghuni yang kerap minta vendor atau perusahaannya dapat menang ditender pengelolaan apartemen. Mereka akan mendukung siapa saja jadi ketua dan pengurus asal dapat pekerjaan. Tentunya mereka akan lebih leluasa mengatur tender dan pengadaan barang apabila menguasai kepengurusan PPPSRS.

    Padahal sebagian besar pemilik/penghuni dan investor yang merupakan silent majority mendukung siapa saja duduk sebagai pengurus PPPSRS asal profesional. Mereka tidak mempersoalan jika pengembang juga ikut pengurus PPPSRS sebagai pemilik unit yang belum laku.

    Karena itu, Rizal mengingatkan, agar dalam memilih kepengurus PPPSRS pemilik/penghuni sebaiknya mencari tahu jejak rekam calon-calonnya. Apakah mereka punya kepentingan ekonomi saat menjadi  pengurus PPPSRS? Sebaik cari calon kepengurus yang kondisi ekonominya yang mantap, dan tentunya bisa dan mau bekerja tanpa pamrih ekonomi. ***

  • Pengembang Keluhkan Aplikasi Justisia, Rentan Dimanfaatkan Mafia Tanah

    JAKARTA—Penggunaan aplikasi Justisia (Jaringan Untuk Sistem Aplikasi Sengketa di Indonesia) yang telah diluncurkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) dikeluhkan  oleh  pengembang perumahan nasional dan sejumlah investor. Pasalnya, praktek yang terjadi di lapangan, keberadaan aplikasi Justisia, justru dimanfaatkan dan menjadi celah baru, bagi masuknya praktek-praktek mafia tanah. Pada akhirnya mengancam investasi dan bisnis yang dijalankan pengembang

    “Tujuan awal aplikasi digital ini kami dukung, yaitu untuk memantau dan menekan praktek mafia tanah serta sebagai monitoring bagi ATR/BPN. Namun, belakangan keberadaan aplikasi Justisia, justru mengancam keberlanjutan investasi di daerah,” terang Risma Gandhi, Ketua Umum Asosiasi Srikandi Pengusaha Properti Indonesia (SRIDEPPI)

    Pasalnya, ada indikasi aplikasi Justisia dimanfaatkan mafia tanah untuk menekan dan memukul usaha pengembang dengan berusaha memblokir semua sertifikat yang mereka klaim, lewat aplikasi Justisia. Sehingga para pengembang yang sedang membangun, terpaksa harus berhenti. Dan ini jelas sangat menganggu investasi.

    “Aplikasi Justisia bisa dimanfaatkan oleh para mafia tanah untuk memeras  pengembang lewat mekanisme membikin girik palsu dan kemudian melakukan gugatan ke PTUN. Harapannya, setelah gugatan ke PTUN,  nomor perkara dan no  sertifikat dimasukan  dalam aplikasi, maka otomatis semua sertifikat pengembang langsung terblokir,” terangnya.

    Menurut Risma ketika ada pihak lain yang memiliki dokumen girik atau letter c dan menginputnya ke dalam sistem aplikasi Justisia. Maka pengembang atau investor yang status lahannya dipersoalkan tersebut otomatis terblokir, tidak boleh melakukan pembangunan, walaupun tanah yang dikuasai itu  sudah bersertifikat hak guna bangunan atau hak milik.

    “Konteksnya adalah cara verifikasi diaplikasi Justisia ini yang kami kritisi. Bukan aplikasinya. Menurut kami masih belum memberikan keamanan dan kepastian buat pengembang dan investor. Tanah kami yang sudah bersertifikat dan resmi dikeluarkan oleh ATR/BPN, justru diverifikasi dengan dokumen letter C atau girik dari pihak lain, jadi tidak apple to apple dan proses mediasinya itu juga memakan waktu lama,” terang Risma.

    Padalah sebenarnya lanjut Risma tahapan mediasi bisa diselesaikan kedua belah pihak yang bersengketa di ATR/BPN setempat. Misalnya ada permasalahan di legalitas kepemilikan, maka akan masuk ke bagian legal atau paralegal ATR/BPN. Setelah itu dilakukan pengukuran ulang. Kedua belah pihak datang untuk proses penyelesaian sesuai dokumen. Pada saat itu, bisa langsung diselesaikan. Buka blokiran atau lanjutkan proses hukum ke pengadilan

    “Setelah adanya aplikasi Justisia tidak bisa. Karena proses mediasi di ATR/BPN-nya dihilangkan. Langsung masuk ke sistem. Jadi menurut kami verifikasi yang paling utama. Fokus kami diverifikasi legalnya. Dan ini acuannya harus tepat secara hukum. Jadi tidak ada yang dirugikan terutama yang sudah berinvestasi disitu,” jelasnya.

    Celah Baru Praktek Mafia Tanah

    Dwi Nurcahya, Ketua Dewan Pengurus Daerah Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Apernas) Jaya Kalimantan Tengah kuatir, aplikasi Justisia justru betul- betul dimanfaatkan dan bisa menjadi surga bagi para mafia untuk memeras. Bukan hanya pengembang dan investor tetapi juga masyarakat awam.

    “Pada dasarnya proses administrasi tanah di BPN adalah proses bisnis pengembang. Jadi goal mereka (mafia) itu bukan perkara menang atau kalah di PTUN. Tetapi goal-nya adalah memutus proses administrasi di BPN. Akhirnya pelaku usaha diminta mediasi. Nah, disitulah celah mereka memeras. Jika kalah mereka bisa banding lagi dan itulah yang makan waktu. Bisnis terhenti dan itu sangat merugikan,” terang Dwi.

    Seharusnya lanjut Dwi ada verifikasi data administrasi dulu, apple to apple-nya. Lebih masuk akal lagi apabila yang bersengketa itu sertifkat dengan sertifikat. Jika keduanya diblokir tidak masalah. Tetapi jika girik dengan sertifikat maka harusnya dilakukan verifikasi data dulu. Bukan langsung diblokir lewat aplikasi. Karena jika lahannya ada kegiatan bisnis maka perlu ada pertimbangan, karena itu  adalah proses investasi. Proses verifikasi, juga harus selektif tidak asal naik saja ke PTUN. Pembuktian surat-suratnya itu asli atau palsu, bisa lewat puslabfor, misalnya. Jadi mitigasi dan verifikasinya disitu.

    “Jika praktek praktek seperti itu dibiarkan, sangat membahayakan keberlangsungan investasi di daerah. Para mafia itu tahu bahwa sistem bisnis pengembang itu adalah semua proses administrasi pertanahan di BPN, mulai dari cek list, AJB, pasang HT, dll. Disitu  celahnya,” papar Dwi

    Para pengembang lanjut Dwi hanya ingin memberikan masukan agar ATR/BPN  mengevaluasi sistem aplikasi Justisia. Bahwa ada efek dan implikasi negatif.

    “Sebenarnya aplikasi Justisia berguna memantau dan menekan praktek mafia tanah di lapangan. Tetapi faktanya bisa dimanfaatkan mafia tanah untuk menekan dan memukul pengembang dengan memblokir semua sertifikat yang mereka klaim,” tuturnya.

    Saran Direktur PT Citra Mandiri Dwi Pratama itu adalah apabila terverifikasi bahwa surat-surat yang digunakan sebagai bahan gugatan terbukti palsu, maka negara dalam hal ini ATR/BPN harus langsung menggugat balik. Bukan investor, pengembang  atau masyarakat yang melaporkan balik.

    Harus ada aturan, biar adil dan mereka para mafia itu berpikir ulang jika ingin berperkara di PTUN. Gugatan di PTUN harus ada konsekuensi, karena yang digugat itu adalah produk negara. Tujuannya untuk memperkecil ruang gerak mafia, sehingga semua harus ada konsekuensi hukumnya.

    Kementerian ATR/BPN pinta Dwi harus melaporkan balik ke kejaksaan. Bukan masyarakat atau investor yang harus melaporkan balik. Karena jika dibiarkan dan mafia tanah tahu celah kelemahan dari aplikasi Justisia yang tidak ada konsekuensi hukumnya, maka sangat berbahaya bagi kepastian investasi ke depan.

    “Selama ini kan tidak. Walaupun surat-suratnya terbukti palsu, selama yang digugat itu tidak melapor balik, maka tidak ada konsekuensi apa-apa. Akhirnya tidak ada efek jera. Mafia anggap itu iseng-iseng berhadiah. Itu membahayakan investasi, mengancam program sejuta rumah yang sudah dicetuskan Presiden Jokowi,” pungkasnya

    Seperti diketahui, melalui Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Kementerian ATR/BPN sedang memasifkan monitoring kasus pertanahan berbasis digital atau online melalui Aplikasi Justisia.

    Tujuannya diantaranya adalah untuk memantapkan penanganan dan penyelesaian sengkata, konflik pertanahan (SKP),  menyelesaikan kasus pertanahan melalui jalan damai (amicable solution), melakukan verifikasi dan validasi data SKP pertanahan, serta untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan.

    Hal ini sebagai upaya memantau kasus pertanahan yang dilakukan secara daring, berupa pemantauan atas SKP pertanahan yang dilakukan dengan mengggunakan media komunikasi yang terhubung dalam suatu sitem dalam keadaan yang real time secara online.

     

     

  • KBAMB Unjuk Rasa di Balai Kota DKI Jakarta Sampaikan 6 Sikap Warga Marina Ancol

    JAKARTA, KORIDOR.ONLINE – Konflik antar warga apartemen Mediterania Marina Residences (MMR) (lebih dikenal sebagai Apartemen Marina Ancol) memperebutkan kepengurusan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) terus berlanjut.

    Sekitar seratus orang pemilik/penghuni dan karyawan mengatasnamakan Keluarga Besar Apartemen Marina Bersatu (KBAMB) melakukan unjuk rasa damai di depan kantor Balai Kota DKI Jakarta, akhir pekan lalu.

    Menurut salah seorang pemilik apartemen MMR, Andi, aksi ini dilakukan sebagai aksi balasan terhadap unjuk rasa sebelumnya yang dilakukan puluhan warga yang mengatasnamakan warga MMR yang menuduh pengurus PPPSRS berlaku sewenang-wenang.

    BACA JUGA: Pelaku Usaha Kembali Bantu Korban Gempa Cianjur

    Andi mengatakan, hal itu tidaklah benar karena berbagian sebesar massa tersebut adalah oknum pemilik/penghuni yang bermasalah, tidak membayar iuran pemeliharaan lingkungan (IPL), dan sebagian lagi hanya mencari keuntungan atau proyek pengelolaan di MMR.

    “Kami Keluarga Besar Apartemen Marina Bersatu sangat prihatin dengan perkembangan yang terjadi. Apartemen MMR terdiri dari 1.680 satuan unit apartemen, sementara hanya ada puluhan pemilik/penghuni yang bermasalah,” kata Andi kepada wartawan di sela-sela aksi unjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat, 31 Maret 2023.

    Mereka inilah, lanjut Andi, yang duga terus merongrong dan berupaya mendelegitimasi secara sistematis kepengurusan PPPSRS MMR yang baru terpilih secara sah.

    BACA JUGA: Diduga Ada Penyelewengan Dana di Balik Maju Mundurnya Kenaikan Service Charge Apartemen Taman Rasuna

    Oleh karena itu, kata Andi, pihaknya mengajukan enam sikap dan tuntutan, pertama, KBAMB menilai bahwa pembentukan PPPSRS MMR melalui mekanisme Rapat Umum Anggota (RUA) yang diselenggarakan secara hibryd, pada 25 Maret 2023 sah sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan sesuai Peraturan Gubernur Nomor 70 Tahun 2021 perubahan kedua atas pergub No 132 Tahun 2021 Tentang Pembinaan dan Pengeloaan Rumah Susun Milik.

    “Syarat administratif para pengurus terpilih seperti KTP, Domisili dan dokumen terkait telah sesuai ketentuan Pergub DKI No 70 Tahun 2021 Pasal 45, point 1, huruf a sampai a,” jelasnya.

    Kedua, KBAMB membantah keras tuduhan bahwa selama ini pengelola apartemen melakukan kesewenang-wenangan akibat memadamkan listrik dan air di 60-an unit apartemen yang ternyata milik segelintir oknum yang selama ini melakukan upaya-upaya fitnah dan dugaan Tindakan premanisme untuk menjatuhkan nama baik Pengurus PPPSRS, serta membuat tidak nyamannya kehidupan di apartemen MMR.

    BACA JUGA: BP Tapera Genjot Program Pembiayaan Perumahan Untuk PNS Muda

    “Dari data yang kami dapat juga ternyata ada sekitar puluhan oknum yang sakit hati ini, diduga tidak memenuhi kewajibannya membayar iuran IPL bahkan diantaranya ada yang memiliki tunggakan hingga ratusan juta rupiah. Belum lagi adanya oknum-oknum yang jelas-jelas ingin mencari keuntungan ingin jadi vendor pengadaan barang dan jasa di apartemen MMR,” ungkapnya.

    Ketiga, KBAMB mendukung sikap tegas Ketua PPPSRS MMR, Bapak Edi Bangsawan yang tetap mematikan listrik dan air terhadap unit-unit yang belum menyelesaikan kewajiban pembayaran IPL-nya, yang per unitnya ada yang mencapai hingga ratusan juga.

    “Pemutusan harus tetap dilakukan hingga mereka menyelesaikan kewajibannya. Sebab kalau mereka tidak bayar, berarti para pemilik/penghuni yang tertib membayar IPL telah mensubsidi mereka yang jelas-jelas bukan orang tidak mampu,” lanjutnya.

    BACA JUGA: BPK: Transaksi Keuangan BP Tapera TA 2022 Sudah Sesuai UU dan Peraturan

    Keempat, KBAMB juga membantah keras pendapat oknum warga yang menyatakan bahwa SK Disperum No 491 Tahun 2021 tidak sah secara hukum, dimana pada faktanya SK tersebut sudah sah secara hukum dan dikuatkan melalui putusan PTUN DKI Jakarta.

    Kelima, menyangkan adanya sikap oknum DPRD DKI Jakarta yang mendekriditkan SK tersebut tanpa mencari informasi yang lebih obyetif dan berimbang hingga keputusan dan pendapat yang diambil akan merugikan warga MMR.

    Terakhir, keenam, KBAMB berharap masyarakat, Pemerintah DKI Jakarta, DPRD DKI Jakarta dan media masa bisa memberikan pendapat yang obyektif seusia dengan fakta-fakta hukum dan fakta empirik yang terjadi terkait kepengurusan PPPSRS MMR.

    “Jangan sampai masyarakat ataupun pemerintah DKI Jakarta tertipu oleh pencitraan sebagai korban dan penggalangan opini oknum-oknum “nakal” yang selama ini mengatasnamakan para penghuni dan pemilik apartemen,” tegasnya. ***

  • Diduga Ada Penyelewengan Dana di Balik Maju Mundurnya Kenaikan Service Charge Apartemen Taman Rasuna

    JAKARTA, KORIDOR.ONLINE – Kisruh pengelolaan Apartemen Taman Rasuna (ATR), Jakarta Selatan makin memuncak. Pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) ATR yang diketua Naufal Firman Yursak, mantan anggota Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta diduga tidak transparan dalam mengelola dana Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) atau service charge.

    Berlarutnya masalah ini, membuat puluhan pemilik/penghuni ATR menggeruduk Kantor Badan Pengelola pada Jumat, 17 Maret 2023. Mereka melampiaskan kekecewaannya, karena hingga sekarang mantan tim sukses Anies Baswaden dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta (2017) belum juga memberikan jawaban memuaskan dan terkesan menghindar.

    Puluhan pemilik/penghuni ATR itu membawa poster bertuliskan “Selamatkan Uang Warga Apartemen Taman Rasuna”. Mereka ingin bertemu dengan Nuafal dan pengurus PPPSRS lainnya, namun orang yang dicari tidak berada di tempat. Bahkan tidak ada satu pun karyawan Badan Pengelola yang menemui mereka.

    BACA JUGA: BP Tapera Genjot Program Pembiayaan Perumahan Untuk PNS Muda

    Aksi tersebut berlangsung tertib yang mengawasan Ketua RW.010 Yossie Indra Pramana, Ketua RT.001 Novandy Subhand, dan Ketua TR.003 Moh Ichsan selaku Ketua RT 003 ATR. Saat aksi itu, tak satu pun karyawan Badan Pengelola berada di kantor pengelola.

    Menurut Firdan Hasli anggota Tim Service Charge (Tim SC), sengkarut ini bermula saat pengurus PPPSRS ingin menaikkan tarif service charge dengan alasan akan terjadi defisit biaya operasional sebesar Rp16 miliar. Namun anehnya, tidak diperlihatkan rincian laporan keuangannya.

    ”Karena itu, banyak warga yang mempertanyakan pengelolaan uang service charge yang mereka bayarkan. Untuk menginvestigasi hal tersebut, maka dalam Rapat Umum Anggota, 4 Februari 2023, diputuskan membentuk Tim SC yang tugasnya untuk membedah Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2023, guna memastikan apakah biaya cervice charge perlu dinaikkan atau tidak,” kata Firdan, Minggu, 19 Maret 2023, di ATR, Jakarta Selatan.

    BACA JUGA: Pertahankan Citra Positif, Bank DKI Raih Indonesia Public Relation Awards 2023

    Tim SC, kata Firdan, diberikan waktu minimal 4 kali pertemuan dengan Pengurus PPPSRS dan Badan Pengelola untuk membedah RKAT 2023 tersebut. Sejak hari pertama pertemuan, Tim SC mulai meminta agar disiapkan data-data penunjang yang akan diperlukan untuk memproses pembedahan RKAT tersebut.

    ”Baru pertama kami kita bedah sudah ditemukan ada beberapa dugaan ketidakwajaran mengenai Laporan Keuangan yang perlu kita klarifikasi kepada BP dan Pengurus. Dugaan temuan-temuan yang tidak wajar tersebut kita kumpulkan dan selanjutnya dipertanyakan pada rapat yang kedua,” jelas Firdan.

    Kemudian dalam Rapat Kedua (Jumat, 17 Februari 2023), lanjutnya, Tim SC menemukan banyak temuan diduga penyalahgunaan wewenang antara lain ditemukan beberapa penggunaan dana yang tidak tercantum dalam anggaran yang disepakati pada tahun 2022.

    BACA JUGA: Haji Anwar Hadimi, “Raja” Sport Centre Bumi Banua

    Tim Service Charge dan watrga apartemen Taman Rasuna mengadakan pertemuan bahas dugaan penyelewengan dana service charge oleh pengurus PPPSRS
    ”Ditemukan ada pengeluaran yang khususnya ditujukan untuk kepentingan pribadi-pribadi dari anggota Pengurus. Tim SC mencoba klarifikasi kepada Pengurus maupun BP dan mereka mengakui adanya penggunaan dana tersebut yang belum pernah diajukan dan disetujui di RKAT pada tahun sebelumnya. Mereka menyatakan dalam rapat tersebut bahwa bersedia untuk mengembalikan uang tersebut dan akan mempertanggungjawabkannya,” papar Firdan.

    Setelah Tim SC menelusuri lebih dalam, ungkap Firdan, ternyata ditemukan lagi banyak penyelewengan dana service charge, diantaranya banyak pekerjaan atau pembiayaan yang tidak termasuk di dalam budget yang sudah disepakati.

    Lalu dalam pertemuan ketiga (24 Februari 2023, Tim SC meminta data-data tambahan untuk bisa lebih menyempurnakan pembedahan RKAT 2023 tersebut, tapi pihak BP tidak memberikan sepenuhnya data yang diminta.

    BACA JUGA: BTN Kolaborasi Bersama REI Genjot Pertumbuhan Ekonomi Lewat Sektor Properti

    ”Anehnya, pada saat tibanya jadwal pertemuan keempat, Pihak BP dan Pengurus membatalkan secara sepihak agenda pertemuan tersebut. Kami menduga bahwa alasan dibatalkannya pertemuan tersebut, kemungkinan sebagai salah satu upaya menghindar dari perbedaan dan potensi ditemukannya dugaan penyalahgunaan/penyelewengan lebih lanjut” tandas Firdan.

    Yang lebih membingungkan, pada awal Maret 2023 pengurus mengumumkan melalui WhatsApp Group Warga (ATR Channel), yang intinya service charge tidak jadi dinaikkan tanpa ada penjelasan apapun.

    “Pertanyaan kami selaku warga ATR, RKAT mana yang akan digunakan, acuannya apa, dasar yang mana, semua tidak jelas dan ngambang, sehingga bagaimana warga bisa percaya”, tanya Firdan.

    Tim SC, kata Firdan, berharap pengurus dan Badan Pengelola mau menuntaskan masalah ini dengan mengadakan pertemuan sekali lagi (keempat). Bahkan diharapkan bukan hanya sekedar tidak naik service charge saja, tapi juga diharapkan tidak akan terjadi defisit.

    “Kita berharap tetap ada pertemuan yang keempat untuk membedah RKAT agar tuntas, berapakah nilainya? Karena RKAT itu bukan ditentukan atau disahkan melalui Rapat Tim SC dengan Pengurus, tetapi harus ditentukan di Rapat Umum. Kenapa warga ini sekarang bergerak ke Badan Pengelola? Karena warga ingin bertemu dengan Pengurus, dan mempertanyakan alasan pembatalan sepihak pertemuan keempat dengan Tim SC dan tidak melanjutkan bedah RKAT,” pungkasnya. ***

  • Putusan Pengadilan: Tidak Terbukti Secara Sah Dan Meyakinkan Tudingan Malpraktek Di RS Buah Hati Ciputat

    TANGSEL,KORIDOR.ONLINE–Diungkit lagi seakan adanya malpraktek medis terhadap Ny. Yuliantika,  RS Buah Hati Ciputat angkat bicara.  Malalui kuasanya, RS itu mengungkap fakta hukum dan mengacu hasil putusan hukum atas aduan Yuliantika.

    “Ini perkara lama di tahun 2020, dan telah ada dua putusan hukumnya”, jelas Muhammad Joni mewakili RS Buah Hati Ciputat, Senin (23/01).

    Menurut  Muhammad Joni, kuasa hukum RS Buah Hati Ciputat, “Berdasarkan amar putusan Majelis Pemeriksa dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terbit amar putusan yang menyatakan bahwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan di muka sidang oleh karena itu tidak ditemukan pelanggaran disiplin profesi kedokteran yang diadukan Yuliantika.

    Muhammad Joni wanti-wanti menegaskan tidak benar info beredar bahwa ada 12 (duabelas) kali suntikan Anestesi Spinal kepada pasien Yuliantika. Putusan MKDKI atas pengaduan Yuliantika sudah bersifat final, dan menurut amar putusan MKDKI tidak terbukti pelanggaran disiplin profesi kedokteran yang dituduhkan kepada dokter teradu di RS Buah Hati Ciputat.

    MKDKI sudah memutuskan tidak ada kesalahan pelanggaran disiplin profesi kedokteran atas pengaduan Yuliantika, perkara mustinya secara hukum sudah final dan selesai.

    Namun, Yuliantika menggugat lagi ke Pengadilan Negeri Tangerang, dan telah ada putusan PN  Tangerang No. 1324/Pdt.G/2021/PN Tng.,  yang menyatakan bahwa “Gugatan penggugat Yuliantika tidak dapat diterima”.

    Berikut pernyataan RS Buah Hati Ciputat Tangerang Selatan yang disampaikan lewat kuasa hukumnya Muhamad Joni  dari Law Office Joni & Tanamas.

    1. Benar Yuliantika pernah menjadi pasien persalinan di RS. Buah Hati Ciputat, pada 18 Februari 2020, dan padanya dilakukan layanan medis dan tindakan sesuai standar operasional dan prosedur.
    2. Tidak benar opini atau informasi sepihak yang beredar menuding telah dilakukan suntikan Anestesi Spinal sebanyak 12 (dua bekas) kali terhadap pasien Yuliantika. Kelirunya aduan pasien itu sudah terungkap dan terbantah di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang berwenang memeriksa dan memutuskan berdasarkan UU Praktek Kedokteran. Lagi pula tudingan 12 (dua belas) kali suntikan Anestesi Spinal itu musykil dan mustahil terjadi.
    3. Dalam hal keadaan Yuliantika mengaku mengalami kelumpuhan, berdasarkan fakta persidangan bukanlah dikarenakan suntikan Anestesi Spinal. Hal itu merujuk pemeriksaan pada pengadu, teradu, sejumlah saksi dan ahli, dan hasil Putusan Majelis Pemeriksa Disiplin dari MKDKI yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum tanggal 24 Agustus 2021.
    4. Atas aduan Yuliantika, telah terbit Amar Putusan MKDKI yang menyatakan bahwa: “…Pasien mengalami kelumpuhan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan di muka sidang  oleh karena itu tidak ditemukan  pelanggaran disiplin profesi kedokteran..”.
    1. Juga, terhadap gugatan Yuliantika kepada dokter dan RS melalui Pengadilan  Negeri Tangerang telah diputuskan yang dalam pokok perkara amar putusan berbunyi: “Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima”.
    1. Dengan kerendahan hati, berkenan kami sampaikan pernyataan manajemen RS Buah Hati Ciputat, bahwa tidak benar opini seakan peristiwa sedemikia itu telah terjadi berkali-kali pada RS Buah Hati Ciputat. Itu tidak benar dan tidak faktual. Namun hanya dan hanya aduan pasien Yuliantika saja.  Lagi pula sama sekali  tidak terbukti pelanggaran disiplin kedokteran, ataupun tuduhan makpraktek medis. Karena hal itu telah terjawab lugas dengan putusan MKDKI atas aduan Yuliantika,  maupun Putusan PN Tangerang No. atas 1324/Pdt.G/2021/PN Tng., atas gugatan Yuliantika, yang kedua putusan tersebut telah bersifat final dan mengikat.
    1. Kiranya kami dengan hormat mohon kearifan kita semua untuk menahan diri dengan tidak menyebarkan informasi yang bukan sebenar-benarnya, dan berbeda dari putusan-putusan hukum. RS Buah Hati Ciputat menghormati putusan hukum yang telah ada.

    RS Buah Hati Ciputat semenjak awal kejadian bertanggungjawab dan aktif memberikan perawatan terbaik bagi pasien Yuliantika ke RS rujukan, dan tetap berempati pada  Yuliantika.

     

  • BP Tapera Tuntaskan Sosialisasi Pemutakhiran Data di 13 Provinsi

    JAKARTA,KORIDOR.ONLINE–Banten menjadi provinsi ke-13 tempat pelaksanaan sosialisasi pemutakhiran data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) yang dilaksanakan pada hari Selasa (27/9) di Aula Dinas PUPR, Banten. “Banten menjadi provinsi terakhir kami melaksanakan sosialisasi kegiatan pemutakhiran data periode pertama ini. Kami akan melakukan evaluasi dan tidak menutup kemungkinan kegiatan serupa tetap akan berlanjut. Kegiatan ini akan terus dilakukan agar dapat bersentuhan langsung dengan para peserta Tapera di daerah, sehingga dapat memberikan solusi yang nyata agar dapat segera memanfaatkan produk Tapera,” ungkap Deputi Komisioner Bidang Pemanfaatan Dana Tapera, Ariev Baginda Siregar pada sambutannya.

    Kegiatan yang mengangkat tema,”Sosialisasi Program tapera dan Pemutakhiran Data PNS bersama Pemerintah Daerah Provinsi/Kab/Kota di Banten” selain dihadiri oleh Deputi Komisioner Bidang Pemanfaatan Dana Tapera, juga turut hadir Asisten Administrasi Umum Sekretariat Daerah Provinsi Banten, Deni Hermawan dan  Kepala Badan Kepegawaian Daerah pemerintah Provinsi Banten, Nana Supiana.

     Sosialisasi yang dilaksanakan di Provinsi Banten ini memberikan penjelasan terkait dengan pentingnya pemutakhiran data Tapera dan layanan yang saat ini dapat dimanfaatkan oleh para Peserta Tapera berupa pembiayaan perumahan bagi Peserta yang telah memenuhi persyaratan untuk memiliki rumah pertama, dan hanya diberikan 1 (satu) kali selama masa kepesertaan. Meliputi pembiayaan pemilikan rumah (KPR), pembangunan rumah (KBR), dan perbaikan rumah (KRR).

    Sebagai upaya melaksanakan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, saat ini telah dilakukan pengalihan peserta serta dana Taperum PNS pada akhir Desember 2021 kepada BP Tapera, sebanyak 5,04 juta (PNS) yang terdiri dari 1,02 juta PNS pensiun dan 4,02 juta PNS aktif serta dana sebesar Rp11,8 Triliun. Selain itu, pengembalian tabungan peserta pensiun Tapera, sampai dengan bulan Agustus 2022 telah disalurkan kepada yang berhak sebanyak 77.775 peserta senilai Rp296,94 Miliar.

    Berdasarkan data yang ada, Peserta Tapera di Provinsi Banten, tercatat sebanyak 75.151 Peserta (PNS) aktif. Berdasarkan updating data yang telah dilakukan, 4.738 peserta memilih pengelolaan dana dengan Prinsip Konvensional dan 719 peserta memilih pengelolaan dana dengan Prinsip Syariah.

    Pemerintah Provinsi Banten selaku Pemberi Kerja telah menyelesaikan pemutakhiran data kepada 61.030 Peserta (84,59%) melalui portal sitara.tapera.go.id. Namun perlu diketahui bersama, bahwa pemutakhiran data Peserta selain dilakukan oleh Pemberi Kerja, para peserta tetap perlu melakukan pemutakhiran data yang bersifat pribadi dan confidential yang hanya bisa diakses dan diisi oleh masing-masing Peserta.

    Pemutakhiran data penting bagi Peserta untuk mengetahui dan memastikan informasi data Peserta, status kepesertaan (aktif/nonaktif), besaran setoran dan saldo Simpanan, pilihan prinsip pengelolaan dana (konvensional/syariah) serta rekening pengembalian Simpanan pada saat pensiun.

    “Kami memberikan apresiasi kepada 16.398 (22,73%) Peserta di Provinsi Banten yang telah melakukan pemutakhiran data melalui portal sitara.tapera.go.id sejak pertengahan 2021. Namun masih ada sebanyak 55.753 peserta (77,27%) di Provinsi Banten yang belum melakukan pemutakhiran data secara individu. Oleh karena itu, segera lah lakukan pemutakhiran data. Agar Bapak Ibu semua bisa memanfaatkannya bagi yang berpenghasilan tidak melebihi Rp8 juta,” ujar Ariev Baginda Siregar menghimbau.

     Ditegaskan Ariev Baginda Siregar, “Konsentrasi kepada Kebutuhan BUKAN keinginan. Sehingga rumah sebagai kebutuhan dasar harus diutamakan,”

    Dalam kesempatan yang sama Asisten Administrasi Umum Sekretariat Daerah Provinsi Banten, Deni Hermawan menyampaikan Banten terdiri dari 8 Kabupaten/Kota dan khusus Banten, terdiri dari Sembilan Ribuan PNS. “Kami berharap informasi yang diperoleh hari ini dapat dimanfaatkan dan ditularkan kepada PNS lain yang tidak hadir pada hari ini. Menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan dasar terutama urusan papan di awal,” ujarnya mengajak.

    Dalam penyaluran dana Tapera,  hingga akhir September 2022 ini, Provinsi Banten sendiri telah merealisasikan akad KPR Tapera sebanyak 28 unit rumah senilai Rp4,07 Miliar yang tersebar di sembilan Kabupaten dan Kota. Sedangkan secara nasional, total realisasi pembiayaan perumahan Tapera telah mencapai 2.866 unit rumah, atau senilai Rp414,31 Miliar. Sedangkan untuk pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) per 26 September 2022 telah tersalurkan sebanyak 145.701 unit senilai Rp16,19 triliun.

     Raih Peluang Gelegar Rejeki Tapera Periode ke-2, Oktober Mendatang

     Bagi yang belum beruntung mendapatkan Gelegar Rejeki Tapera periode pertama yang diundi di bulan Juli lalu, maka masih berpeluang untuk meraihnya Oktober mendatang. Periode ke-2 ini akan mengundi peserta yang telah melakukan pemutakhiran data bulan Juli hingga September 2022. Dalam periode ini peserta akan berpeluang untuk mendapatkan hadiah reguler 7 unit Samsung Tab dan 20 unit handphone Samsung A03.

    Sedangkan periode ke-3 nantinya akan  mengundi peserta yang melakukan pemutakhiran data di bulan Oktober hingga Desember akan diundi pada Januari 2023 dan bagi pemenang berhak mendapatkan Grand Prize 1 unit Mitsubhisi All New Xpandeer GLS MT.

    Menurut Deputi Komisioner Bidang Pemanfaatan Dana Tapera, Ariev Baginda Siregar Gelegar Rejeki Tapera hanya sebuah wadah disiapkan untuk memberika apresiasi kepada peserta Tapera yang telah melakukan pemutakhiran data. Namun, pemutakhiran data itu dapat menentukan pilihan prinsip pengelolaan dana konvensional atau syariah, dapat melihat saldo tabungan dimanapun dan kapanpun, mengajukan minat pembiayaan rumah pertama (KPR/KBR/KRR) dan menentukan bank pencairan tabungan ketika nanti pensiun atau berakhir masa kepesertaan.

     

  • Belajar dari Anak Berlari di Kampung Susun Eks Bukit Duri: Jak Transform (2)

    Belajar dari Anak Berlari di Kampung Susun Eks Bukit Duri: Jak Transform (2)

    Menengok lagi anak-anak usia belia itu berlari-lari melewati  ‘Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung-Eks Bukit Duri’, awak tersentak. Termagnit, belajar dari energi anak bahagia berlari.

    Pada anak-anak berlari happy
    itu, ada pelajaran: “It takes a city to rise a child”, butuh kota (yang layak) menumbuhkan anak. Kota yang kudu berubah, mengikuti tumbuh kembang anak.

    Dalam diam saya berkeyakinan, stunting bukan takdir anak. Tak ada anak yang miskin. Homeless bukan takdir anak. Konstitusi negara kesejahteraan mendefenisikan anak dipelihara negara, yang bermakna semua anak sejahtera. Hanya saja masih soal krusial perihal keadilan sosial. Kampung Susun itu inovasi menjawab kemiskinan perumahan, solusi dalam perebutan ruang.

    Tubuh mungil anak-anak itu tidak ontok diam, walau dalam gambar terlihat diam.  Namun darahnya bergegas berkembang.  Jiwanya progres, tidak stagnan, tumbuh berlari kepada transformasi, yang tak bisa dihalangi satuan waktu. Transformasi jiwanya tak terhalangi surat keputusan penggusuran. Kucing bernama ‘Libi’ saja paham.

    Tumbuh kembang dan naluri perubahan anak mutlak tak bisa menunggu esok. Tapi sekarang.  “Many think can wait. Children can not. To them we can not say tomorow. Their name is today”, gubah penyair Gabriella Mistral, menamsilkan perubahan pada anak.

    Selain ‘Their name is today’, tumbuh kembang anak adalah subyek pelajaran mahal perihal perubahan. Anak adalah hamoraon (kekayaan), dikenal luas sebagai Living Laws dalam kosakata bahasa Batak.

    Anak-anak hari ini, ialah pemimpin sekejap masa nanti. Mereka yang mengambil alih dan mengubah zaman hadapan. Agent of the next tansformation.

    Renungan saya, bahwa perubahan adalah niscaya, hal yang naluriah sekaligus hak alamiah anak. Bahkan perubahan sangat cepat, tak bisa diinterupsi, lebih cepat dari perubahan fisik kota yang cenderung degeneratif: menua. Namun anak tidak, transformasi ke dewasa semakin berharga: hamoraon.

    Bagi anak, tak hanya hak hidup (rights to life) dan hak kelangsungan hidup (rights to survival). Anak berhak atas tumbuh kembang (rights to development), dan hak atas partisipasi (rights to participation). Itu empat kelompok besar hak anak versi Konvensi PBB tentang Hak Anak (UN’s Convention on the Rights of the Child). Izinkan saya menambahkan hak anak atas perubahan.

    Serupa halnya dengan kebutuhan atas hunian sebagai hak atas perumahan –yang layak dan terjangkau–   namun tidak hanya melekat pada dua rukun perumahan rakyat itu. Ijinkan saya mengimbuhkan rukun tambahan: housing in transforming. Karena soalan perumahan melekat dan mosaik utama pembentuk kota, maka  saya menyebutnya dengan housing and urban transformation (disingkat “HUT”).

    Kiranya, isu HUT itu melakukan refleksi dan transformasi atas sistem kelembagaan penyelenggaraan perumahan rakyat  –sebagai hak konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945– yang masih labil.Di tarik ke sana kemari. Pernah dibubarkan. Dieksiskan lagi kementeriannya, dan begitu mudah digabungkan.

    Juga, kua normatif (UU)seakan “strata” urusan/bidang yang lebih rendah daripada urusan/bidang alias sektor tertentu, misalnya:  kesehatan,  sosial, pendidikan –yang juga bunyi dalam konstitusi.

    Ada bias dalam menakrifkan makna konstitusi bertempat tinggal ke dalam kelembagaan. Hak konstitusi itu musti direkonstruksi: takrif dan kelembagaannya.

    Dari titik itu, penting perubahan mengatasi soalan perumahan rakyat, yang kompleks: masih jumbo statistik defisit rumah (backlog),  yang belum tuntas diatasi walau nyaris 10 tahun dalam penggabungan.

    Buktinya, angka backlog 12,7 juta sementara ini tidak akan mampu dicapai, kalau hanya menggunakan APBN saja dan tidak mungkin bisa terkejar secara cepat,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam side even G20 bertema ‘Securitization Summit 2022’. Padahal, hybrid dengan kementerian yang APBN-nya besar.

    Pun, tatkala sampai titik kulminasi kiprah FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dari dana APBN bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) –yang berubah menjadi/kepada BP Tapera, kini– namun  12,7 juta angka backlog itu masih tinggi, lho. Belum lagi pertambahan 700 ribu sd 800 ribu rumah tangga baru yang butuh hunian baru.

    Sebabnya? Karena pembangunan masih dilakukan dengan skim jual-beli dan memasuki  pasar perumahan, dan karena itu berlaku kaidah komersial.  Walau Pemerintah memberikan subsidi bantuan dan kemudahan sahaja. Namun masih dibatasi alokasi, kuota, dan fiskal terbatas. Ruang fiskal  pun subsidi pembiayaan perumahan rakyat/MBR dalam APBN dari masa ke masa kita masih ukuran minimalis, jika dibanding negeri jiran sekawasan.

    Idemditto,  skim BP Tapera –yang mengaku berasas gotong royong dengan sumber dana dari pemberi pekerja dan  kerja— ya…, mirip FLPP juga.

    Mengapa perumahan MBR tidak dibangun badan pemerintah dan perangkat badan usaha milik daerah, sebagaimana ‘Jak Habitat’. Saya membatin, namun jiwa saya berlari, seperti anak-anak yang bertubuh ceria itu, kiranya ‘Jak Habitat’ kudu berubah  menjadi ‘Ina Habitat’. Kelembagaan perumahan rakyat perlu direkonstruksi.

    Patut dan absah, jika perumahan rakyat digugah terus berubah. Menjadi housing in transforming. Tidak hanya melakoni penyediaan perumahan: program sejuta rumah sahaja. Mustinya program strategis nasional, bisa!

    Apalagi urusan konkuren perumahan rakyat dibawa ke sana ke mari,  dalam berbagai rezim UU Pemerintahan Daerah, dan dinihilkan sebagai urusan konkuren daerah dalam Lampiran Huruf D UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (“UU Pemda”).

    Sebab itu, perlu pikiran-pikiran baru yang terbuka, out of the box in the boxes, belia, segar dan wangi dari pengapnya hawa sektoralitas. Juga,  menghargai warna warni kearifan lokal dan bekal/ modal lokal, namun teruji dan terpuji dalam aplikasi lapangan alias workable.

    Perlu rekonstruksi kelembagaan yang mampu menjadi dirijen antar sektor, sebab masih adanya gap antara isu penyediaan dengan pembiayaan. Antara penyediaan dengan kelembagaan (Badan Percepatan Pembangunan Perumahan/BP3).  Antara pembangunan dari urusan pusat dengan urusan konkuren Pemda.

    Tentu saja, antara penyediaan/ pembangunan dengan pertanahan. Antara pembangunan dengan perlindungan konsumen dan pemberdayaan MBR. Antara menyasar MBR formal dengan MBR non formal dan pekerja mandiri.

    Tersebab itu, perubahan ikhwal perumahan rakyat bukan mimpi buruk namun keniscayaan, seperti anak-anak yang  bertumbuh dewasa. Perubahan yang pasti datang, mutlak tak bisa ditolak. Menjadi hamoraon.

    Hari kemarin lebih singkat daripada hari esok yang lebih panjang. Perubahan yang zaman berzaman, mengapa tidak? Jak Transform, banyak pelajaran inovasi dan perubahan. Bukankah begitu, Libi? Tabik. (bersambung#3).

    [Muhammad Joni, Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat]

  • Kompak! Stakeholder Perumahan Tolak “Pencaplokan” BTN Syariah

    JAKARTA,KORIDOR.ONLINE—Rencana aksi korporasi yang dilakukan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dengan menggabungkan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) dan BTN Syariah terus mendapat penolakan. BTN Syariah merupakan Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN).

    Masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholder) perumahan, sepakat menolak dan mengecam aksi korporasi tersebut. Pasalnya, pencaplokan BTN Syariah dikuatirkan dapat mengancam Program Sejuta Rumah (PSR), yang notabene merupakan salah satu program andalan yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.

    Penolakan keras juga disampaikan oleh Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera), yang beranggapan akan memperlemah dan mempersulit akses masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan pembiayaan perumahan khususnya yang berbasis syariah. Hal itu, menurut konsorsium ini karena BTN Syariah tidak dapat terlepas dari ekosistem pembiayaan perumahan.

    Ketua Umum Kornas-Pera, Muhammad Joni mengatakan, perumahan rakyat adalah mandatory konstitusi dan juga program strategis nasional, maka BTN dan UUS (BTN Syariah) harus saling bergandengan tangan. Kornas-Pera, menurut Joni, sangat setuju dengan harapan para stakeholder perumahan bahwa BTN Syariah harus dibiarkan terus berkembang maju dan menjadi bagian dari pembiayaan yang fokus di perumahan.

    “Jangan lupa, perumahan rakyat adalah amanat konstitusi negara Pasal 28H ayat (1) UUD1945. BTN Syariah itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem, kinerja, dan kultur pembiayaan perumahan bersubsidi yang merupakan bagian penting dalam Program Sejuta Rumah,” ujar Muhammad Joni dalam Talkshow bertajuk “Pencaplokan” BTN Syariah Ancam Program Sejuta Rumah yang diadakan Kornas-Pera di Jakarta, Jumat (22/7).

    Selain itu, sambung Joni, jika diambil atau dipindahkannya BTN Syariah ke BSI dimaksudkan untuk menyediakan industri perbankan halal yang lebih kuat, maka hal itu harus dilakukan dengan cara yang thoyyib (baik) dan sesuai perundang-undangan.

    “Halal tidak titik, tapi harus thoyyib juga. Kalau pemisahan itu menghapus keberadaan  BTN Syariah, itu artinya tidak thoyyib karena menghilangkan sistem, kinerja dan kultur BTN Syariah yang sudah sangat baik,” ujar dia sembari mendorong BTN Syariah lebih dibesarkan.

    Lebih lanjut Joni pun meminta, pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN tidak melupakan sejarah. Pasalnya, Bung Karno pada 1964 telah mengukuhkan keberadaan BTN dari sekadar bank pos menjadi permodelan institusi pembiayaan perumahan.

    “BTN punya roadmap menjadi bank pembiayaan perumahan terbaik di Asia Tenggara tahun 2025. Apakah agenda BTN itu masih relevan dan tidak menjadi backfire apabila diambil alih oleh bank lain,” kata Joni.

    Dikatakan Joni, meski pun Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur adanya kewajiban bank umum konvensional yang memiliki UUS harus melakukan pemisahan (spin off), namun syaratnya jika asetnya sudah mencapai 50% dari aset bank induk. Menurut lawyer tersebut, diksi yang dipakai jelas pemisahan, bukan pengambilalihan atau pun penggabungan.

    “Pertanyaannya adalah pemisahan kemana? Pasal 68 UU Perbankan Syariah menyebutkan pemisahan UUS dari bank induknya saja. Tidak kepada entitas bank yang lain selain induknya,” ungkap Joni.

    Masalahnya, pakem norma Pasal 68 UU Perbankan Syariah  diperlebar  oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 59 tahun 2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan UUS  yang justru memperbolehkan pemisahan UUS dari bank induknya atau ke bank lain yang bukan induknya.  POJK ini, kata Joni, jelas kebablasan, karena mandat itu melampaui norma Pasal 68 UU Perbankan Syariah yang jelas dan tegas.

    “Pendapat kami kalau pun dilakukan spin off, maka biarkan dia berdiri sendiri. Biarlah dia punya legal standing sebagai bank fokus pembiayaan perumahan dan fokus misi konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,” ulas Joni.

    Apalagi secara kinerja dalam penyaluran KPR FLPP bersubsidi, kalau BTN dan BTN Syariah digabung kontribusinya sudah mencapai 66 persen (data BP Tapera). Kalau diarahkan ke bank yang kinerja penyaluran KPR FLPP hanya 3 persen, tentu tidak logis dan tidak thoyyib.

    Kalau pemerintah ingin mengembangkan kapitalisasi BSI, maka caranya bukan dengan mengambil BTN Syariah karena tidak akan ada efeknya juga karena secara aset BTN Syariah tidak besar yakni sekitar Rp37 triliun-Rp38 triliun.

    Rekomendasi Kornas-Pera

    Jika ingin meningkatkan kapitalisasi perusahaan BUMN, tegas Joni, justru lebih baik bubarkan Kementerian BUMN dan lakukan agenda super holding BUMN. Oleh karena itu, Kornas-Pera menyatakan sikap sebagai berikut.

    Pertama, tetap pertahankan dan besarkan BTN Syariah sebagai bank  syariah yang fokus pada misi teknis pembiayaan perumahan dan misi juridis konstitusional. Kedua, menolak langkah pemisahan BTN Syariah dari bank konvensional induknya yang mengakibatkan hilangnya BTN Syariah yang bersama-sama dengan BTN konvensional sudah membuktikan eksistensi, kapasitas, kapabilitas dan kompetensinya sebagai bank fokus pembiayaan perumahan rakyat bagi MBR.

    Ketiga, Kornas-Pera menyiapkan upaya hukum dan juridis konstitusional untuk mempertahankan atau membesarkan BTN Syariah.

    Sementara itu, ditempat yang sama, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Junaidi Abdillah mengatakan kegelisahan timbul ketika isu merger atau akuisisi BTN Syariah oleh BSI. Pasalnya, realisasi KPR termasuk KPR FLPP untuk rumah subsidi rata-rata berada di BTN dan BTN Syariah. Sementara kontribusi BSI hanya 3%.

    “Pemikiran kita, bagaimana nasib rakyat yang ingin KPR BTN Syariah dialihkan dengan paksa? Hak konstitusi nasabah dan rakyat dipaksa untuk berpindah tanpa mengajak musyawarah terlebih dulu. Jadi ada hak konstitusi rakyat di situ,” ujar Junaidi.

    Apersi sepakat dengan cita-cita PSR dan pemulihan ekonomi nasional pasca Covid-19 yang dilakukan pemerintah. Semangat Presiden Jokowi tersebut harus didukung penuh oleh semua pihak termasuk Kementerian BUMN. “Jangan malah gaduh dan menghambat semangat pemulihan ekonomi,” tegasnya.

    Kegelisahan pengembang itu logis, mengingat ke depan juga tidak ada kepastian jika BTN Syariah sudah dipindah ke BSI, bagaimana pelaku usaha properti dapat memperoleh kredit konstruksi dan kredit pembebasan lahan. Pasalnya, bank yang sudah merger saja sampai sekarang belum solid.

    “Apersi menilai, jangan mencaplok bank yang sudah berjalan dengan baik. Selain itu, perlu diingat bahwa sdalah satu penggerak ekonomi adalah pengembang dan 90 persen sektor properti ini melibatkan tenaga padat karya,” kata Junaidi. Pengambilalihan BTN Syariah ini, kata dia, juga menjadi isu yang sensitif karena bank yang mau mengambil adalah bank fokus pembiayaan UMKM.

    Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mendesak pemerintah mempertimbangkan secara matang rencana akuisisi BTN Syariah oleh BSI. Pasalnya, BTN Syariah adalah satu-satunya bank syariah yang fokus di perumahan.

    “Kalau nanti BTN Syariah digabung atau dilebur ke bank lain, maka tinggal BTN konvensional sendirian yang fokus pada pembiayaan rumah subsidi. Padahal persentase penyaluran KPR FLPP bersubsidi justru seharusnya ditambah termasuk bank fokusnya,” ujar Totok.

    Dia pun khawatir, kalau tidak ada BTN dan BTN Syariah siapa yang akan memberikan kredit konstruksi dan kredit pembebasan lahan. Padahal mayoritas developer rumah subsidi adalah UMKM. Karena itu, kata Totok, jika tidak ada kredit untuk developer rumah subsidi maka tidak akan ada yang akan merealisasikan pembangunan rumah rakyat.

    “Sekali lagi ini mohon dipertimbangkan ulang, sehingga pembiayaan perumahan terlebih untuk MBR tidak mengalami stagnasi. Pengadaan rumah rakyat ini dijamin konstitusi dan mayoritas yang membutuhkan adalah para pekerja/buruh,” sebut Totok.

    Pekerja memang menjadi salah satu MBR yang berharap tetap ada konsistensi pembiayaan perumahan. Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Pramuji Hari Purnama menyebutkan sesuai hasil Kongres V KSPI mendorong kepemilikan perumahan menjadi satu dari tiga program prioritas KSPI. “Penciptaan kesejahteraan buruh tidak cukup hanya sandang dan pangan saja, tetapu juga papan,” jelasnya.

     

  • Kornas-Pera: Pemerintah Tekan Alarm Darurat Pembiayaan Perumahan

    JAKARTA,KORIDOR.ONLINE—Pekan lalu tersiar peringatan terbuka Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa masyarakat akan semakin sulit memiliki rumah karena tren kenaikan suku bunga acuan.  Hal itu menarik, karena Menteri Sri Mulyani mengaitkan dengan hak bermukim atas rumah yang merupakan kebutuhan dasar. Rumah dan sektor perumahan telah disodok menjadi indikator pasang atau surutnya  perekonomian. Masih menurut SMI,  tren kenaikan suku bunga sedang terjadi, dengan reaksi  melawan inflasi yang terus melambung. Dari negeri Paman Sam, Bank sentral Amerika Serikat (AS) yang dipatok sebagai acuan lebih cepat bereaksi, karena sudah naik selama 3 kali pada semester I-2022 dan akan terus naik untuk mendinginkan inflasi.

    “Untuk membeli rumah 15 tahun mencicil di awal berat, suku bunga dulu, prinsipalnya di belakang. Itu karena dengan harga rumah tersebut dan interest rate sekarang harus diwaspadai karena cenderung naik dengan inflasi tinggi,” jelas Sri Mulyani dalam Acara Securitization Summit 2022, di Jakarta, Rabu (6/7/2022).

    Muhamad Joni, Ketua Umum Kornas-Pera

    Merespon itu, Muhamad Joni, Ketua Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera) menyikapi dengan keraguan.

    “Sisi “wow”nya Menteri Sri Mulyani peduli tinggi menjadikan perumahan rakyat sebagai indikator pasang surut perekonomian, bukan bidang yang disisihkan”, kata Ketua Kornas Pera Muhammad Joni, kepada media.

    Namun, bagi Joni, peringatan Menkeu bak alarm kencang agar mewaspadai darurat pembiayaan perumahan rakyat khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

    “Alarm SMI ini clear and present ancaman tepat sasaran dan target  program sejuta rumah”, kuatir Muhammad Joni.

    Walau begitu, lanjut Joni,  alarm kencang SMI itu musti ditindaklanjuti dengan membongkar secara mendasar dan struktur kebijakan pembiayaan perumahan MBR, baik moneter, fiskal, maupun inovasi skim pembiayaan.

    “Tantangannya menciptakan ekologi pembiayaan jangka panjang dan murah, dalam arti yang sebenarnya dengan efisiensi cost of fund,  inovasi pembiayaan perumahan MBR Non Formal, dan mengatasi hambatan setiap items rantai pasok pembiayaan dan penyediaaan lerumahan MBR”, lanjut Advokat yang tercatat Sekretaris Umum The HUD Institute

  • Asprumnas Usulkan Sejumlah Hal Ke KPK Untuk Cegah Tindakan Korupsi

    JAKARTA,KORIDOR.ONLINE–Empat Ketua Asosiasi pengembang perumahan Indonesia dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait persoalan pertanahan yang selama ini dialami para pengembang. Empat asosiasi tersebut adalah: Realestat Indonesia (REI), Ketua Asosiasi Pengembang dan Pemasar Rumah Nasional (ASPRUMNAS), Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) dan Ketua Asosiasi Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (HIMPERRA).

    Muhamad Syawali, Ketua Umum DPP Asprumnas menjelaskan bahwa undangan KPK pada minggu lalu, Senin (4/7) tersebut berkenaan dengan informasi yang dibutuhkan oleh KPK terkait dengan Kajian yang sedang mereka lakukan.

    “Kami diundang untuk berdiskusi sehubungan dengan Potensi Korupsi pada Layanan Pertanahan di Kementerian ATR/ BPN yang sedang dilakukan oleh KPK. Tim kajian Direktorat Monitoring KPK pada kesempatan itu meminta masukan kepada para pengembang khususnya terkait kendala dan masukan perbaikan layanan pertanahan di Kementerian ATR/BPN,” terang Syawali.

    Pada kesempatan itu menurut Syawali, masing-masing asosiasi memberikan masukan dan permintaan terhadap poin-poin yang ditanyakan KPK dan masukan yang diberikan asosiasi

    “Ada beberapa hal yang menjadi topik bahan diskusi hangat. Misalnya tentang LSD (Lahan Sawah Dilindungi), Ploting Lahan perumahan atas nama perusahaan masih ada/masih berlangsung yang masih dilakukan oleh  Calo-calo besar, soal Perizinan oleh Pemda, terkait rekomendasi PLN yang berbelit tentang pemasangan Jaringan dan Tiang-tiang listrik, Perpindahan regulasi IMB ke PBG dan lain-lain,” ujarnya.

    Masing-masing asosiasi pada kesempatan tersebut lanjut Syawali memberikan usulan dan juga permintaan kepada KPK agar pelayan pertanahan di kantor-kantor BPN seluruh Indonesia menjadi lebih baik. Termasuk pentingnya dibuatkan Hotline nomor pengaduan ke KPK dan dipampang di dinding ruang tunggu BPN dan Pemda/PTSP perizinan.

    “Diskusi menurut kami berjalan cukup konstruktif dan terbuka. KPK sepakat jangan ada lagi terjadi kasus suap menyuap agar izin cepat keluar,” tambahnya.

    KPK juga meminta kepada setiap asosiasi agar semua usulan dibuat tertulis kemudian dirangkum masing-masing Asosiasi sebagai masukan yang akan jadi pertimbangan KPK untuk pelayanan pertanahan dan perizinan ke depan yang lebih cepat, efisien dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

     

     

     

     

     

Back to top button