Opini

  • Cemburu Kota Layak Anak, Apa Inisiatif Jalur Aman Sekolah?: Kalsekung!

    Jakarta,–Ahad pagi (20/6/2021) patik memungut barang mahal di jalanan. Nyata bukan dunia maya. Berharga bukan “dolar kuning”. Yaitu gambar suasana rambu sangat sederhana. Hasil jepret ketika gowes tipis-tipis dekat rumah di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di kepala seakan ada “jalan layang”. Gambar ini harus mutan menjadi Inisiatif! Harus ada jalan.

    Sering gowes melewati bawah jalan layang melengkung ke arah kawasan “kota baru” yang memakai label kelapa gading, rambu itu macam baru ada di sana kemarin malam. Buah kelapa gading memang kuning, walau tak berdaun sirih yang hijau. Kelapa Gading dan Kebon Sirih punya naming rights sejak dulu-dulunya.

    Dari cara memacakkan, rambu kuning itu agak terbiarkan. Kurang mencolok ke langit, untung ada corak kuningnya. Ups tunggu dulu. Jangan melihat dengan mata. Walau tak mencolok bola mata, lihatlah dengan “mata” yang lain. Seperti nasihat melihat angin menerbangkan debu dari penyair sufi Jalaluddin Rumi.

    Itu rambu kuning yang bertugas amat penting. Coba tanya, siapa tak sayang anak? Dari cadas dan cabaran “monster” bermesin di jalanan? Dari tabrak lari si pengecut. Dari begal yang berandal. Jawaban warga seisi dunia pasti sama. Buah hati sibiran tulang. Putra putri kehidupan, kata Kahlil Gibran. Tak perlu menjadi kutu buku pun teradiksi kata bijak untuk mengerti itu. Cukup tanyakan hati yang tak terpasung. KalseKung: aKal Sehat menduKung.

    Kota mana yang tanpa jalan? Idemditto setiap kota pun negara ada pahlawan dimakamkan. Jalan H.M.Joni –yang berpotongan Jalan Sisingamangaraja di sudut makam pahlawan– adanya di kota Medan. Di sana banyak kedai kopi dan rumah kulineri, kini. Medan hendak dijadikan Walikota Bobby Nasution berlabel: ‘Kitchen of Asia’. Tak harus ibu dan ayah muda menghapal jalan mana yang aman. Kalau asap dapur musti aman, bung!

    Buatlah siasat mengamankan jalur aman sekolah sebagai kebijakan yang ditegakkan zero tollerance. Yth. Pak Walikota, perbanyaklah bus sekolah yang dibuat elok, yang di seluruh dunia berwarna kuning mencolok. Kuning juga warna Melayu. Cocok dengan Medan.

    Juga, warna kuning tanda hati-hati: waspada. Kuning mudah ditangkap mata. Bus sekolah boleh jalan lambat dan berhenti dimana saja. Kuning itu tanda hal ikhwal berharga. Untuk menyebut beberapa alasan mengapa bus sekolah kuning warnanya sedunia. Warna kuning itu digagas Dr.Frank W. Cyr dari Universitas Columbia, New York, USA, tahun 1939. Dunia menyadari, selamat di sekolah kota lebih berharga daripada dolar berwarna apapun, mata uang negara manapun.

    Postulat saya, rute aman dari/ke sekolah, bukan hanya sampiran. Jangan remehkan kisah tegakan rambu jalanan yang dituding narasi melayang. Bukan sisipan dari konsep kota layak huni. Bukan pula hanya rambu yang tegak merunduk yang harus dirapihkan Dinas Perhubungan.

    Itu alibi dan bukti warga kota menghendaki Kota Layak Anak, yang kudu terus diikhtiarkan. Analog, Karl von Savigny menyebut hukum itu dengan ‘volk geist’. Memupuk jiwa bangsa yang peduli anak jauh lebih penting dari sekadar diverifikasi, dilombakan dan menjadi indeks mutu kepatuhan pemerintah kota. Itu demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child), prinsip dalam KHA (Konvensi PBB tentang Hak Anak) yang telah diratifikasi dengan Keppres No.36 Tahun 1990. Instrumen HAM utama yang diratifikasi dengan Keppres, ya hanya KHA saja.

    Walau kini anak sekolah belum masuk bersekolah secara luring (offline), kota harus tetap dihuni layak anak. Tak kalah penting dari membuat layak dan apik 11,2 kilometer jalur sepeda jalan Sudirman-Thamrin dengan planters box yang bernilai Rp30 miliar. Jangan silap, itu tak dibiayai APBD Propinsi DKI Jakarta namun dari kompensasi pihak ketiga, seperti diujarkan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo kepada media.

    Narasi ini bisa jadi dicemburui saya sendiri, aktifis anak pegiat inisiatif jalur aman sekolah, dan gerobak kota yang menyiasati simpang tiga menjajal jalan berlawanan arah angin. Diwartakan tahun 2030 akan ada 300 kilometer jalur sepeda di Jakarta. Cemburu kepada tulisan sendiri, cara mengaktivasi mitokondria pembangkit energi diri. Cemburu yang menghasilkan inisiatif baru. Proposal baru.

    *Majelis Pembaca yang bersemangat. Kota adalah gambaran siapa kita. Sebab itu membangun kota bukan hanya bersih-bersih, berpulas lipstik, hawa wangi, dan biautifikasi. Namun kota ada jiwa-cum-semangat. Misi kota memberdayakan warga kota dan menyayanginya. Bangun kotanya, bahagiakan warganya; semangat duo Anis Baswedan dan Arriza Patria. Jauhkan semena-mena. Bukan menghardik dan syak wasangka. Itu gaya lama. Kota tumbuh dengan jiwa semangat warganya. Tekat yang wajar tanpa syarat. Kota dan warganya musti mesra. Relasi yang inklusif. Menjadi kota inklusif, ujar kawan saya M. Jehansyah Siregar, Ph.D, sang anak Medan, ahli perumahan dan perkotaan, dosen senior ITB.

    “It takes a city to raise a child”, butuh kota menumbuhkan anak. Saya petik dan olah sedikit kalimat itu dari buku ‘Kota untuk Semua’ karya pak Wicaksono Sarosa. UNICEF mendorong Kota Layak Anak. Pun, Sustainability the City and Community dari Suistainable Development Goals: SDGs –yang diagendakan sekujur negeri dan negara dunia. Artinya: agenda mondial. Malu dong menjadi asing di sorot mata dunia.

    Benar. Di sini sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Yang diterbitkan untuk melaksanakan Pasal 21 ayat (6) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun peraturan hanya law in books. Bagaimana law in action? Norma hukum yang bersua dalam ruang sosial, meminjam istilah almarhum Prof.Mahadi, guru besar FH USU yang pernah menjadi hakim.

    Patik bersua dengan data. Bahwa kota Jakarta Utara pernah meraih predikat KLA tingkat Pratama pada 2018 dan Madya (2019). Target berikut, KLA Nindya 2021. Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak terdiri atas lima predikat, yaitu Pratama, Madya, Nindya, Utama dan Kabupaten/Kota Layak Anak.

    Walikota Medan Bobby Nasution menarget Medan memenangi KLA tahun 2021. Salah satu indikator memiliki Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok). Bulan Juni 2021 ini sebuah tim tengah giat Verifikasi Lapangan Hybrid (VLH), termasuk datang ke Medan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menjadi penjuru. Kawan saya pak Nahar –yang berkarier dari awal di Kementerian Sosial– kini Deputi Perlindungan Khusus Anak KPPA tentu turut sibuk total, seperti wataknya yang biasa totalitas bekerja.

    Di negeri sebelah sana, prakarsa selamat ke sekolah digarap lebih beragam, dengan dukungan otoritas kota pada inisiatif itu lebih deras lagi. Tak hanya membangun tugu dan penanda kota baru yang berwarna kuning. Menggeliatkan dan menduplikasi ‘Safe Routes to School: Helping Communities Save Lives and Dollars’, mengapa tidak?

    Otoritas kota idemditto ibukota negara berkepentingan. Pada kota yang layak dihuni anak –putra putri kehidupan sang pemilik masa depan kota untuk semua. Itu misi mulia membangun sekujur kota, dan membahagiakan seisi warga. Bahkan tanpa ada yang tertinggal: no one be left.

    Anak bangsa jauh lebih bernilai dari situs sudut kota. Ibaratnya, warna mereka adalah kuning. Yang berharga setara bahagia dan ekstra hati-hati dijaga. Dengan kota bahagia yang layak dihuni anak.

    Tendensi opini ini, mengusung ‘Inisiatif Jalur Aman Sekolah’ yang terintegrasi jalur sepeda yang aman- nyaman-terjaga, dengan atau tanpa kompensasi pihak ketiga yang sayang anak. Bahagia warga kota. Bahagia anak Indonesia.

    Dirgahayu Jakarta, 22 Juni 2021 yang ke 494 Jakarta Tangguh. Tahniah kota Medan ke 431, 1 Juli 2021. Terimakasih telah tabah menjadi kota kami. Maaf atas sang khilaf. Ampon untuk yang tak santon. Tabek.

     

  • Kepercayaan Konsumen Layaknya Harta Karun

     

    Oleh: Muhammad Joni, SH, MH

    Siapa berani melawan raja? Kepercayaannya wajib dijaga. Dari  diskusi yang  dihelat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta  pelaku pembangunan realestat  agar: “Jaga Kepercayaan Masyarakat”, begitu  titel Kompas (29/12/2020).  Permintaan Wapres mengajak kebaikan (ma’ruf) itu berdimensi publik, karena diucapkan pejabat eksekutif  paling tinggi kedua.Arti kata مَعْرُوف adalah berbuat kebaikan. Ajakan kebaikan musti terus dan berkali alias wanti-wanti.

    Tersebab itu, jajaran kabinet dan produsen properti patut memaknai sebagai “disposisi”, yang disegerakan semenjak hari pertama publik  membaca. Urusan konsumen berdimensi publik. Tidak hanya urusan hukum perdata. Melampaui doktrin privity of contract vide Pasal 1315 KUHPerdata. Kalaupun ada khilaf (dwaling), paksa (dwang), tipu (bedrog; fraud), Pasal 1321 KUHPerdata sudah mengaturnya.Asas janji musti sepenuh percaya.

    Sebab itu konsumen adalah raja. Begitu kiasan yang masih menggema. Selain meminta menjaga sang “raja”, juga  mengingatkan bahwa kepercayaan soal rentan. Rentan dari dwaling, dwang, bedrog/fraud. Rentan yang sangat dominan  bukan tanpa alasan, fakta dan data. Faktu itu bersifat jujur dan tulus. Jika mengacu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN),  pengaduan konsumen perumahan dan properti  terus mendominasi.  Cermatilah   rilis badan publik BPKN (25/6/2020), tercatat  2.260 pengaduan dari total 2.695 pengaduan. Pun demikian, BPKN jangan pula mencatatkan dan mengungkapkan saja. Amar ma’ruf ikhwal perlindungan konsumen properti jangan berhenti sebagai  unjuk statistik belaka.

    Kepercayaan masyarakat konsumen yang sahih perlu edukasi. Pencerahan  yang diikhtiarkan jangan berhenti. Kepercayaan bukan datang  tetiba begitu saja, seperti awan comulonimuspada cuaca sampai turun hujan. Namun direncanakan, diupayakan, dicirikan dan dibuktikan sebagai “hujan” menyegarkan.  Ikhtiar mencipta kepercayaan konsumen properti berciri ganda: perlindungan konsumen dan literasi properti. Kapten pilot in command pesawat penerbangan sipil memutuskan pergi terbang atau tunda bahkan tidak, setelah membaca  prakira cuaca. Maskapai dan  otoritas bandara fasih pada  literasi cuaca. Analog seperti uji pasar, tes ombak. Siapa berani melawan raja, eh maaf: tenaga cuaca.

    Pidato Wapres itu jangan  melulu dibaca normatif. Juga bukan kuliah filsafat hukum.  Tetapi hal ikhwal yang aktual dan workable. Rujukan pengambil keputusan.Sebab itu berdimensi kebijakan publik dari pernyataan pejabat publik. Juga, orientasi dalam inovasi industri properti yang bergelut dalam pusaran pemulihan ekonomi nasional (PEN). Patut jika jajaran kabinet musti menyikapi sebagai tindakan pemerintahan (bestuur handelingen). Dengan menelurkan noma, membuat skema operasional dan aksi nyata menjaga kepercayaan konsumen.Begitulah Pemerintah yang hadir dan efektif.  Dengan “gercep” (gerak cepat) dan “geber” (gerak bersama), termasuk BPKN, satuan tugas program sejuta rumah –tak cukup  hanya unjuk data. Kita tunggu geber 2021.

    Literasi properti kepada pembeli akhir (end user) maupun investor menjadi bagian yang tidak boleh disepelekan. Saya membacanya sebagai perintah: melindungi harta kekayaan dibawah kekuasaan setiap orang. Yang  memiliki sumber legitimasi konstitusi Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Membacanya sebagai konstitusionalis dengan bola mata yang tembus kitab, beyond content, melampaui teks namun konteks.

    Tentu jajaran senator dari DPD RI mengamini itu. Tepat juga jika gercep  meminta rapat dengar pendapat dengan menteri-menteri mitra kerja, pakar, NGO perumahan-properti, dan pegiat perlindungan konsumen,  segera! Sebagai nutrisi, vaksin dan vitamin  menjaga  derjat kesehatan sektor  perumahan-properti. Demi kepercayaan-cum-perlindungan konsumen.

    Interupsi sebentar. Ajakan kebaikan  Wapres itu sekaligus semacam  resep kepada produsen/developer dan pelaku pemasaran. Agar bersiap dengan keterbukaan informasiproduk properti.  Konsekwensinya,  produsenmenyediakan informasi simetris ikhwal inci demi inci data produk kepada konsumen/pasar. Menyajikan data produk bukan resiko, malah peluang memenangkan hati konsumen. Tentu bukan hanya membajiri informasi, namun melakukan literasi properti. Edukasi yang mencerahkan. Perlu diwaspadai, konten iklan mengikat sebagai janji.

    Perlindungan  konsumen  sejajar dengan  mencerdaskan dan mendewasakan konsumen. Jasa baik dan tulus developer yang berdedikasi,  berbuah loyalitas konsumen properti, pasti. Bahkan mereka tulus dan bangga menjadi penganjur juncto pengiklan produk realestat-properti andadalam  arus besar kompetisi sengit pasar properti. Iklan bertenaga kuat adalah bisik dan rekomendasi pembeli yang puas dan tumbuh percaya, bahkan loyal.

    Tunggu sebentar. Itu masih kue perumahan/properti formal. Belum masuk perumahan swakarsa/swadaya –yang lebih jumbo lagi:sekitar 70% postur perumahan Indonesia. Belum lagi yang tersembunyi, yang disebut Hernando de Soto menyimpan misteri kapital –yang belum dikapitalisasi dan disistemkan, misalkan saja,  ke dalam model bisnis perumahan berbasis komunitas berskala besar  yang diintegrasikan PEN Berkeadilan Sosial.   Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum HUD Institute menyebutnya “raksasa tidur”. Bersiaplah menjadi pewaris idaman harta karun sang “raja”. Kepercayaan konsumen adalah harta karun sesungguhnya!Lagi pula, porsi sektor perumahan-cum-properti kepada produk domestik bruto (PDB) masih bisa bangkit lagi dari 3%. Meraksasa ke  dobel digit menyusul  negara tetangga: Filipina (3,8%),  Thailand (22,3%), Malaysia (38,4%),   Singapura (44,8%).

    Literasi Properti

    Era kolonial sudah lampau. Pasar zaman  milenial saat ini sudah jauh berbeda. Ibarat teori politik, konsumen milenial itu liberal-cum-demokrat yang cerdas, nekat dan keras kepala pada kebenaran. Perangainya cadas  dan jeli menguliti produk yang hendak dibeli. Jika dilanda ragu,  persekian detik  minggat ke kedai-digital sebelah. Per sekian masa, pindah memesan unit apartemen proyek sebelah.  Bahkan nekat membuat testimoni dan menjadikannya konten akun media sosial  yang seketika menjadi viral.  Mereka perlu disentuh literasi properti.  Masih ingat kisah viralnya daftar menu maskapai garuda yang ditulis tangan? Walau ada kengerian produen pada tipikal pasar milenial, namun jamak developer dan bank membidiknya dengan KPR milenial.

    Sayangnya, UU No. 1 Tahun 2011 tetang Perumahan dan Kawasan Permukinan (UU PKP) belum menyediakan aturan ikhwal perlindungan konsumen dan literasi properti. Pun  untuk properti komersial maupun rumah umum untuk masyarakat berpenghasian rendah (MBR).

    Tengoklah, UU PKP  hanya membuka peluang peran serta masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan perumahan yang dinormakan dengan membentuk forum (vide pasal 131 ayat 3), namun tidak menyentuh perlindungan konsumen. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) idemditto.  Tanpa  aturan perlindungan konsumen namun hanya membuka pengaturan penyelesaian sengketa (pasal 105 dan pasal 106). Seakan perlindungan konsumen hanya bermula karena urusan sengketa.Soal ini belum tersentuh dalam UU Cipta Kerja, malah ada adendum-pengurangan persyaratan.

    Andai program sejuta rumah hendak disempurnakan maka menjaga kepercayaan  sejuta konsumen MBR patut dioptimalkan. Belum lagi  konsumen non MBR junctowarga kelas menengah  yang cerdas membelanjakan duit rupiah demi rupiah.

    Tendens esai ini adalah perlindungan konsumen tandem  dengan  literasi properti.  Demi inovasi bisnis properti dan pemulihan ekonomi nasional,  bersiaplah menjaga kepercayaan raja. Jika tidak, konsumen milenial akan mengucapkan vayacondios kepada sang produsen nakal. Walau masih banyak yang berpredikat sangat baikmenjaga manner kepada konsumen.

    Mengapa perlu  gercep dan geber? Karena upaya itu kanalisasi pengaduan  konsumen –yang  pasti  getol mencari saluran memperjuangkan  haknya  ke meja birokrasi manapun. Tak hanya ke BPKN, NGO,bahkan tak jarang sampai ke meja Menteri PUPR dan pimpinan  parlemen. Bahkan mohon keadilan kepada Presiden.

    Namun jangan heran jika ada  konsumen yang pergi ke Pengadilan Niaga.Mendaftarkan PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) bahkan kepailitan.  Makin dimudahkan karena  pembuktiannya sederhana. Hanya dua utang jatuh tempo saja. Tanpa batasan nominal utang. Tanpa saringan insolvency test.  Bukan upaya terakhir alias ultimum remidium.  Kengerian lain, defenisi utang itu  tidak hanya  utang uang. Pun,  gagal serah unit apartemen ataupunsertifikathak tak kunjung selesai;  dikualifikasi sebagai  utang. Begitulah preseden hukumnya.Seakan setiap wanprestasi perjanjian adalah sama dengan utang (uang). Seakan Buku III KUH Perdata tentang Perjanjinan isinya hanya bab utang piutang uang saja. Menangani ini,  ijtihat saya: perlu haluan baru hukum properti dan hukum PKPU dan kepailitan. Caranya? Perlu bahas intens. Tak cukup ruang mengulas  di sini.

    Tersebab itu, eureka…,  isu perlindungan  konsumen  segera dirapihkan:  gercep dan geber. Setarikan nafas dengan PEN Berkeadilan Sosial.  Menjaga kepercayaan konsumen kepada produsen, seperti pasti hukum gravitasi. Tanpa upaya  yang seimbang, siapa kuat menahan gaya tarik bumi dari kejatuhan?

    Kiranya, menjaga  kepercayaan konsumenbukan pernyataan  yang pertama, namun wanti-wanti  karena juga disampaikan Wapres saat  Rakernas REI (3/12/2020). Ajakan kebaikan itu adalah “fikih”perumahan yang jangan diabaikan. Kausalitasnya pasti.  Tidak berlebihan jika kusutnya  relasi konsumen-produsen perlu di-“omnibus law”-kan.  Kepercayaan konsumen menjadi resolusi 2021. Salam literasi properti. Tabik.

    [Muhammad Joni, Advokat pada Joni & Tanamas Law Office, Sekretaris Umum The HUD Institute, Ketua Umum Kornas Perumahan Rakyat, esai ini pendapat pribadi: mhjonilaw@gmail.com]

     

  • Bank Tanah Perumahan Rakyat: Menuju Kenyataan yang Omni?

    TAK ada negeri di awan seperti syair manis ‘Katon Bagaskara’. Yang nyata hunian negeri bumi, seperti lagu ‘Godbless’bertitel ‘rumah kita’.  “Lebih baik di sini, rumah kita sendiri/ Segala nikmat dan anugerah yang kuasa”, dari syair ‘rumah kita’ itu melagukan  hak atas rumah untuk semua atawa omni –daribahasa Latin. Yang musti dipenuhi tanpa diskriminasi. Meminjam kovenan internasional tentang ekonomi, sosial, budaya, bahwa  hak atas hunian adalah anugerah hak sosial (granting of social rights) –adalah tugas negara(wan).

    Selagi hunian tempat tinggal alias rumah bertumpu di bumi, maka tanah menjadi soal  krusial dalam urusan  perumahan-cum-perkotaan.  Tak terbantahkan, defacto harga tanah mahal dan  terbawa mekanisme pasar yang tidak efisien. Itukah etalase relasi kegagalan pasar (market failure)? Terlebih di kawasan perkotaan pun  zona komersial, harga tanah melambung melampaui timbangan ekuilibrium. Seperti hendak ke negeri di awan harga menjejak.

    Kapitalisasi nilai tanah sebagai barang modal–grafiknya acap bergerak melonjak. Nilai gunanya tak cuma seukuran persil lahan sekian kali sekian. Panorama indah pandangan mata, bahkan iklim udara bugar lingkungan sekitar, pun hadirnya molek awan cumulonimbus bercorak putih dan bertumpuk tebal, turut “dijual”. Koefisien ketinggian ruang ada harganya. Label  indikasi geografis–lokasi, lokasi, dan lokasi–yang melekat dan dilekatkan pun demikian bernilai pula. Yang dikapitalisasi bukan hanya obyek lahan, namun lahan yang bugar-berdandan. Lokus properti yang bergengsi. Naming rights ada angka nilainya.

    Rupanya bagi Eamonn Butler (2018), profit tak hanya uang. Tetapi juga pemandangan indah. Selain produktif, Pak Butler–yang Direktur lembaga think-thank  Adam Smith Institute itu–membangun narasi bahwa modal juga bersifat demokratis. Postulat saya: kota yang tertata-layak-cerdas, pun bahagia-berkelanjutan dan demokratis, adalah modal bagi (ekonomi) kota!

    Faktanya, harga tanah melebihi relasi  hukum permintaan dan penawaran. Ada seluk-beluk beraroma spekulasi. Akibatnya, eskalasi harga jual perumahan rakyat–dan sudah tentu rumah komersial– tidak mudah dikontrol. Apalagi belum ada badan penyangga penyedia perumahan rakyat, seperti “BULOG” yang menyangga bahan pokok. Karenanya perlu penyediaan tanah untuk perumahan rakyat. Ijtihat membentuk badan khusus bank tanah  perumahan rakyat–bertahun-tahun tabah digemakan  The HUD Institute.

    Adakah bank tanah dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)? Mari menelisik ketentuan UUPA. Ihwal hukum tanah, pasti bertemali UUPA. Hukum yang mengatur pertanahan yang bertumpu pada “aturan pokok” yang diagungkan sebagai pemutus hegemoni hukum agraria (agrarish wet) produk kolonial Hindia Belanda. Apa ihwal yang membedakan UUPA dengan agrarish wet buatan Belanda?

    Muhammad Joni SH, MH

    Hal penting UUPA yang membedakan prinsip penguasaan tanah penjajahan Belanda adalah konsep Hak Menguasai Negara (HMN). Pada asasnya Negara bukan pemilik tanah. Tentu Negara bukan Pemerintah.   Prinsip HMN  dianut  Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara…”.

    Merujuk Pasal 14 ayat (1) UUPA, diperintahkan membuat rencana umum persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk (1) keperluan negara, (2) keperluan peribatan, (3) keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan, (4) keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan dan yang sejalan itu, (5) keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.

    Majelis pembaca yang bersemangat.  Untuk mengokohkan  dasar hukum bank tanah, maka Pasal 14 ayat (1) UUPA mesti dimaknai sebagai norma yang hidup. UUPA sebagai hukum yang hidup (living laws). Mengapa? Sebab Pasal 14 ayat (1) UUPA yang terbit tahun 1960 belum bertemali langsung dengan hak  konstitusional bertempat tinggal  Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 (amandemen  kedua)–yang merupakan penyegaran konstitusi via  reformasi UUD 1945. K.C. Wheare (1966) yang menulis buku teks ‘Modern Constitution’menyebut keinginan memulai yang baru dalam bernegara –yang terus bertumbuh itu– dengan “desire to make a fresh start”.

    Mari periksa. Kua-yuridis formal Pasal 14 ayat (1) UUPA, tidak eksplisit menyebut persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk perumahan dan permukiman. Oleh karena itu, beralasan jika harmonisasi norma yang menambahkan makna norma pasal itu untuk perumahan dan permukiman.Untuk menghidupkan dan menyegarkan  Pasal 14 ayat (1) UUPA yang hanya menyebut “keperluan negara”, sehingga  sahih dimaknai termasuk untuk perumahan rakyat (public housing).

    Pun demikian bisa diharmonisasi ke dalam norma/ frasa “untuk keperluan pusat kehidupan masyarakat” dan norma/ frasa “untuk keperluan memperkembangkan industri”, dalam hal ini industri perumahan-cum-pembangunan perkotaan. Argumentasinya? Untuk memulakan “langkah segar” menumbuhkan hak bertempat tinggal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 –menjadi konstitusi yang hidup (living constitution). Bukan hanya dokumen aspirasional yang senjang dari kenyataan.

    Corak badan bank tanah yang nirlaba dengan  fungsi sebagai pengelola tanah, tentu dengan maksud asli  bagi persediaan tanah perumahan rakyat. Lebih dari itu hadirnya musti melonjak sebagai “to make a fresh start” menerobos backlog, semisal penyediaan 1 juta rumah susun perkotaan dalam 5 tahun(2020-2024) –yang sesayup ditargetkan BAPPENAS. Picu menyekrupkan  badan bank tanah dengan badan percepatan pembangunan  perumahan rakyat –sebagai suatu sistem nasional perumahan rakyat.

    Pengadaan Tanah

    Seorang kawan dari forum jurnalis perumahan bertanya, dari mana sumber tanah yang dikelola badan bank tanah?  Jawab saya, rujuklah sumber pertama dari UU-nya!  Dalam klaster pertanahan UU Cipta Kerja Pasal 125 sampai Pasal 135 –yang diwartakan media setakat disahkan– tidak terang benderang menormakan asal sumber tanahnya. Tersirat,  Pasal 126 ayat (1) huruf f  yang menormakan “reforma agraria”–yang bisa bermakna sumbernya dari reforma agraria? atau untuk reforma agraria klaster perumahan?

    Untuk mendukung investasi, badan bank tanah melakukan pengadaan tanah [vide Pasal 129 ayat (4) huruf c].Di sini pun bisa menerbitkan tafsir ganda.Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari (a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (b) Pendapatan sendiri; (c) Penyertaan modal negara; (d) sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 128].

    Kalau-pun sumber tanah ditampung dengan norma penyertaan modal negara (PMN) versi Pasal 128 huruf c itu berupa tanah terlantar, tanah negara eks-HGU (dengan alas pemberian hak), namun frasanya tidak “bunyi” sebagai norma Undang-undang.

    Status tanah yang dikelola badan bank tanah itu dihak-i dengan Hak Pengelolaan. Penting diucapkan mengapa  UU Cipta Kerja tidak terang-terangan menormakan  sumber tanah yang dikelola  badan bank tanah berasal dari  tanah terlantar, tanah aset pemerintah dan pemda, tanah eks-kewajiban redistribusi lahan? Semisal karena surat persetujuan prinsip pembebasan lahan/lokasi (SP3L)versi  Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990? Pun, mengapa belum  mencakup Barang Milik Negara/Daerah (BMN/ BMD) –yang tidak dikelola optimum, ataupun  tanah sitaan, atau tanah cadangan umum negara. Akankah dikelola institusi pendatang baru dalam satu manajemen  badan bank tanah? Atau, tetap dikelola  seperti sedia kala?

    Sebab itu, aturan turunan dan garis kebijakan bahkan norma standar masih bertumbuh, bercabang, bahkan bisa bersimpangan.  Jangan sampai  bertindih aturan dan kekosongan norma  turunan.  Dengan pembentukan badan bank tanah, konsep hukum dan garis kebijakan BMN/ BMD patut ditimbang lagi.

    Akankah UU Perbendaharaan Negara, di-Omnibus Law-kanpula demi “kapitalisasi” sebesar-besar kemakmuran  rakyat? Pembaca, ucapan yang menumbuhkan harapan: “..kami memberikan tanah untuk rumah rakyat di perkotaan dengan harga sangat murah, bahkan gratis”, yang dituturkan Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil kepada media, Rabu (7/10/2020)–patut dicatat erat-erat sebagai “a  fresh start” hak konstitusi atas hunian. Setara sebagai janji.

    Akankah kita menuju klaster baru perumahan rakyat yang layak dan terjangkau? Hidup harmoni bersama di kota yang berkeadilan ruang. Seperti ‘rumah kita’ juncto ‘kota kita’ dari syair ‘Godbless’ yang berlagu bak negarawan; bahwa warga tak patut tergusur dari rumahnya, tersisih dari tanahnya, hilang dari ruang sosialnya, dan tak demokratis tersingkir dari kotanya.

    Kita mencatatkan harapan akan kiprah negara(wan) memastikan kesejahteraan perumahan–yang nyata, omni, kini, dan di sini! Tabik.

    Penulis adalah Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute; Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), tulisan ini pendapat pribadi.

     

  • Amandemen UU BI: Jangan Nihilkan Mandat Konstitusi Independensi BI

    JAKARTA,KORIDOR–Imbas kontraksi ekonomi, sontak parlemen menyiapkan RUU amandemen UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (UU BI) yang bakal mencecah aras kebijakan moneter –yang menjadi urusan Bank Indonesia.

    Setelah kebijakan berbagi beban (burden sharing) pemerintah dengan BI, RUU inisiatif DPR –yang bergerak cepat dan menerobos daftar program legislasi nasional— dikritik menggerus independensi BI.

    Independensi BI wajib dipatuhi karena mandat konstitusi. Pasal 23D UUD 1945 yang berbunyi “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”.

    Merujuk konstitusi, bahwa bank sentral yang independen dikaitkan dengan Negara, bukan pemerintah sahaja. Konstitusi adalah hukum tertinggi.

    Diwartakan, draf RUU Amandemen UU BI dalam Pasal 9A dan 9B hendak bangkitkan Dewan Moneter (“DM”). Dulu, DM era orde baru berkuku menggawangi kebijakan moneter dengan pangkalan UU No.13/1968. DM era orde baru itu kemudian hablur ketika era reformasi. Dengan UU BI yang menormakan watak independen BI yang berasal dari mandat konstitusi. BI pun berubah. Bukan lagi bagian jajaran kabinet.

    Tepat ekonom senior INDEF Fadhil Hasan berpendapat, jika bangkit lagi DM maka BI tidak lagi independen menilai apakah kondisi ekonomi dalam keadaan instabilitas keuangan. Betapa tidak, menurut RUU Amandemen UU BI itu, Pemerintah bisa melenggang sendiri jika BI tak menyetujui beleids moneter yang dibahas DM.

    Ikhwal watak independensi terkontraksi jika terjadi disparitas bahkan kontras dua garis kebijakan yang dipegang kokoh dua aras kekuasaan: Pemerintah dan BI –jika DM benar bangkit lagi.

    Sebab itu RUU Amandemen UU BI itu menjadi polemik paradigmatik. Dialektika independensi BI, kini menjadi tonggak penting bagaimana bangsa dan negara gigih mengiati amanat konstitusi bersamaan menghadapi kontraksi ekonomi. Kemana diayunkan bandul sejarah ketatanegaraan kini? Menjadi sejarah dinamika hubungan BI dengan pemerintah!

    Independensi-Akuntabel

    Independensi bank sentral mencakup aspek yang kompleks. Berkaitan sistem pemerintahan. Berkitan mekanisme pemberian mandat atau wewenang kebijakan moneter dan alasan pemberian independensi bank sentral.

    Dalam konteks Indonesia, hanya dengan amandemen UUD 1945 yang memasukkan norma bahwa negara memiliki suatu bank senral yang independen.

    Merujuk Stanley Fisher dalam “Modern Central Banking”, umumnya bank sentral diberikan wewenang dan tanggungjawab menjaga kestabilan sistem keuangan dengan menjalankan fungsi pengawasan perbankan dan lembaga keuangan nonbank, bertindak sebagai lender of the last resort, menyelenggarakan asuransi deposito, pengaturan devisi, bahkan –pada banyak negara bank sentral menjadi penasihat ekonomi dan keuangan pemerintah.

    Independensi bank sentral tidak lepas dari konstelasi dalam negeri dari negara yang menerapkan bank sentral dan keterikannya dengan mekanisme atau instrumen tertentu. Negara-negara di Eropah misalnya, terikat mengimplementasikan Perjanjian Maastricht (Masstricht Treaty) yang mensyaratkan independensi bank sentral.

    Dalam tahun 1998, status hukum dari independensi bank sentral pada beberapa negara EMU (Europen Monetary Unions) sudah ditingkatkan, dan isu yang paling utama dalam peningkatan status bank sentral adalah menghilangkan adanya fasilitas finansial bagi Pemerintah. Dalam wacana kemandirian bank sentral, masalah signifikan adalah hubungan bank sentral dengan eksekutif dan legislatif (parlemen). Menjadi indikator apakah bank sentral dikualifikasikan mandiri (independent) atau justru tergantung (dependent) dari kekuasaan politik.

    Suatu bank sentral yang mandiri dapat diindikasikan dari ada atau tidaknya intervensi politik dan menciptakan implikasi yang lebih luas bagi masuknya pengaruh lembaga politik ke dalam bank sentral.

    Kuatnya implikasi dari masuknya pengaruh politik pada kebijakan dijelaskan Rosa Maria Lastra bahwa; “Independence indicates the absence of political interference and implies the widest possible room for manoeuvre in the conduct of the policies delegates to the central bank”.

    Diskursus independensi bank sentral memberikan fokus pendelegasian kekuasaan (power delegates) kepada bank sentral dan menggerakkan kemandirian mencapai berbagai tujuan sebagai bank sentral. Pendelegasian dari negara itu yang dalam konteks bank sentral di Indonesia tertuang dalam mandat konstitusi: Pasal 23D UUD 1945.

    Sebab itu independensi bank sentral dalam koridor accountability atas mandat kekuasaan dari konstitusi. Konstitusi Indonesia menegaskan Negara memiliki bank sentral cq. BI yang independen, sehingga mandatnya bersumber dari konstitusi –yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan UU.

    Karenanya UU BI maupun RUU Amandemen UU BI hanya memiliki validitas dan legitimated (meminjam istilah Hans Kelsen) jika mengacu Pasal 23D UUD 1945 –yang eksplisit memandatkan independensi. Analog dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka –untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (vide Pasal 24 ayat 1 UUD 1945) –yang imparsial dan tidak bisa diintervensi— demikian pula bank sentral yang independen merujuk mandat Pasal 23D UUD 1945.

    Namun, bank sentral tidak bisa berjalan sendiri dan melepaskan hubungan dengan Pemerintah dan parlemen. Dalam keadaan demikian, Rosa Maria Lastra menyebutkan independensi bank sentral sebagai “accountable independence”, atau dengan “instrumental independence”, atau “operational independence”, dan istilah “independence within government”.

    Independensi yang akuntabel menjadi pilar yang tepat menjaga independensi bank sentral dan bertemali dalam hubungan yang akuntabel dengan pemerintah dan parlemen. Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI tetap merdeka menjalankan kekuasaan kehakiman, walaupun dibiayai APBN yang disusun pemerintah dan DPR.

    Secara umum, urgensi pemberian wewenang kebijakan moneter dengan adanya independensi bank sentral dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dilakukan dengan menjaga stabilitas moneter, yakni stabilitas harga, inflasi, dan nilai tukar mata uang nasional.

    Jika merujuk Rosa Maria Lastra, manifestasi independensi bank sentral diwujudkan dalam tiga bentuk. Pertama, Independensi organik bank sentral yang memberikan jaminan hukum bagi organisasi bank sentral dan hubungan dengan pemerintah dan parlemen. Kedua, Independensi fungsional bank sentral dengan jaminan hukum menjalankan fungsi dan wewenang sebagai bank sentral. Ketiga, Independensi profesional bank sentral yang berarti independensi bank sentral secara professional merumuskan kebijakan moneter.

    Merujuk kepada Lastra –yang memberi rambu independensi: organik, fungsional, dan profesional)– majelis pembaca dapat menilai RUU Amandemen UU BI yang membangkitkan Dewan Moneter –yang menyertai BI dan memasuki aras kebijakan moneter– mencecah soal indendensi bank sentral cq. BI yang merupakan mandat konstitusi. Bisa jadi perihal cetak uang yang pernah ditolak BI, pun BI yang siaga untuk pembelian utang pemerintah sebagai garis kebijakan burden sharing, menjadi fakta dan latar –yang dalam bacaan publik terkait amandemen UU BI– yang diajukan sontak.

    Ketika terjadi disparitas bahkan kontras kebijakan moneter yang diusung BI dengan pemerintah dalam DM, bagaimana BI yang melekat mandat konstitusi itu menjamin watak profesionalitasnya?

    Akankah kontras garis kebijakan antara BI dengan pemerintah, walau keduanya berargumentasi dengan dalil profesional?

    Kiranya, hal itu menjadi ujian independensi BI menjaga mandat konstitusi –yang masih mengikat dan belum dicabut. Bukan hanya bagi BI namun juga pemerintah dan DPR.
    Rakyat-cum-masyarakat sipil sahih didengarkan.

    Tidak valid jika dinihilkan pandangannya ikhwal mandat konstitusi. Pembuat UU wajib lugas mematuhi bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut konstitusi.

    Demi merawat kepercayaan publik. Demi menjaga mandat konstitusi yang otentik. Tabik.

     

  • Independensi Bank Indonesia dalam Negara Kesejahteraan

     

    Sejurus gegar peran pengawasan mikro Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kini –di era pendemi Covid 19 belum reda– parlemen justru mengajukan RUU Bank Indonesia yang hendak mengubah independensi Bank Indonesia (BI).

    Diwartakan, sosok Dewan Moneter akan bangkit lagi seperti era pra-UU BI. Status independensi BI dengan UU 23/1999 dipetik dari hasil reformasi masa Presiden BJ Habibie. Saat itu, Presiden RI adalah pimpinan pucuk  Dewan Moneter. Pun,  Gubernur BI ialah bagian dari kabinet. Basis pangkalannya UU 13/1968.

    Media dan pakar mengeritik itu merupakan langkah memundurkan jarum jam sejarah reformasi.  Soal lain, ikhwal watak independensi BI  sebagai bank sentral bukan pilihan asal-asalan. Independensi BI itu berbasis konstitusi: Pasal 23D UUD 1945.

    Selain dukungan pangkalan teori dan prakteknya yang mondial. Berikut sejumput analisis-yuridis deskriftif mengapa menganut  independensi BI?

    Gagasan pemberian independensi bank sentral, dapat ditarik dari gagasan pembatasan dan penegasan fungsi negara dalam konsep demokrasi yang berdasarkan atas kesejahteraan rakyat (welfare state). Pandangan ini meyakini bahwa pemberian independensi bank sentral mampu meningkatkan kesejahteraan dengan menahan laju inflasi dan stabilitas harga barang.

    Pendapat sedemikian beranjak dari paradigma baru yang dikemukakan Professor Ronald I. Mc Kinnoc dan Edward S Shaw yang menggambarkan kondisi keuangan negara berkembang sebagai repressed finance.  Yang muncul sebagai akibat dari sistem keuangan yang memberi kemungkinan intervensi Pemerintah.

    Efek dari repressed finance yang paling kentara adalah mempergunakan bank sentral sebagai pembayar defisit keuangan pemerintah dengan cara mencetak uang dan memberikan pinjaman.

    Sejalan dengan itu, Rosa Maria Lastra berpendapat bahwa hubungan antara suatu bank sentral dari suatu negara dengan pemerintah dan parlemennya merupakan topik yang intensif didiskusikan di seluruh dunia. Karena, diskursus independensi bank sentral tidak bisa dilepaskan dari isu tentang model hubungan antara bank sentral dengan Pemerintah dan parlemen.

    Jadi, hal ini berkaitan dengan bentuk dan dasar kebijakan moneter yang dihasilkan oleh bank sentral.

    Dalam rangka menjalankan mandat negara kesejahteraan (welfare state), negara membutuhkan fungsi lembaga negara tertentu yang diharapkan agar dapat efektif dalam mengamankan inflasi, dan stabilisasi harga.  Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan kebijakan moneter (monetary policy).

    Dalam bukunya berjudul Central Bank Independence, Targets and Credibility, Francesco Lippi mengemukakan bahwa gagasan kesejahteraan dapat diletakkan harapannya pada bank sentral yang independen.

    Menurut Lippi, “the idea that a welfare gain can be expected from the creation of an independent central banks..”. Dengan demikian, masih menurut Francesco Lippi, peluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari suatu negara, dapat dilakukan dengan menghilangkan adanya kesenjangan koordinasi agen ekonomi, dan adanya ketidakmenentuan politik merupakan variabel bagi peningkatan inflasi yang berlebihan.

    Karena itu, sejalan dengan pendapat Francesco Lippi, kebijakan moneter yang fungsinya diemban oleh organisasi atau lembaga negara mesti menjalankan fungsinya secara profesional dengan parameter ekonomi yang sebagai pegangan utamanya.

    Fungsi untuk menjalankan kebijakan moneter itu diberikan kepada bank sentral yang bersifat independen, karena tugasnya yang signifikan bagi eksistensi perekonomian sebuah negara.

    Muhammad Joni

     

    Hindari Tekanan Politik

    Secara demikian, pemberian sifat independen bank sentral ini adalah untuk menghindari adanya tekanan-tekanan politik dan pengaruh kepentingan politik manapun, serta untuk membebaskan bank sentral dari tugas-tugas titipan Pemerintah yang bisa mempengaruhi bahkan merancukan tugasnya menjaga inflasi melalui kebijakan moneter yang profesional dan akurat.

    Dalam laporan Cukierman (1998), sejak tahun 1989 sejumlah 25 negara sudah meningkatkan status independensi bank sentralnya. Pengalaman pahit dengan memanipulasi kebijakan moneter untuk kepentingan politik jangka pendek mengakibatkan hiperinflasi sebagaimana dialami Jerman semasa Weimar Republic, dan Argentina pada tahun 1980-an.

    Jadi, sudah jelas bahwa masalah independensi bank sentral merupakan isu penting yang mengemuka dalam perekonomian negara di dunia. J Sudradjat Djiwandono, mantan Gubernur Bank Indonesia (1993-1998), mengemukakan bahwa bank sentral yang independen merupakan persyaratan untuk perbaikan governance dan transparansi dunia usaha.

    Selanjutnya, J Sudradjad Djiwandono yang berpengalaman langsung dalam memimpin Bank Indonesia dalam masa krisis ekonomi mengemukakan:

    “…pada dasarnya terdapat kesepakatan bahwa di dalam suatu perekonomian, semakin besar independensi yang dimiliki bank sentral akan semakin efektif pula kebijakan moneter mencapai sasaran kestabilan. Karena itu, semakin independen bank sentral, atau semakin kecil intervensi pemerintah terhadap penyelenggaraan kebijakan moneter oleh bank sentral, semakin efektif pula pengelolaan ekonomi nasional secara makro”.

    Pandangan yang sedemikian banyak kaitannya dengan kebijakan moneter pada masa pemerintahan Presiden Suharto yang membuat kebijakan pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang illiquid saat itu.

    Menilik sejarahnya,  pada ketika itu kedudukan dan status Bank Indonesia yang masih belum independen dalam menetapkan kebijakan moneter, karena masih menjadi bagian integral dari Pemerintah dan tunduk kepada kebijakan yang disiapkan Dewan Moneter dengan berdasarkan UU No. 13/1968.

    Padahal, dalam kasus tersebut, pihak Bank Indonesia telah mengajukan usulan perlunya kebijakan melikuidasi beberapa bank bermasalah yang dinilai insolvent. Usulan tersebut ternyata belum disetujui dengan alasan-alasan politis, bukan alasan professional dan objektif yang berdasarkan analisis ekonomi dan moneter.

    Usulan Bank Indonesia tidak dijalankan Pemerintah dengan alasan politik, yakni untuk menciptakan stabilitas kemananan nasional menjelang Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR tahun 1998.

    Oleh karena independensi bank sentral merupakan bagian dari paradigma liberalisasi perbankan dan keuangan, maka isu independensi bank sentral menjadi isu global pula.

    Di Eropah, tatkala masyarakat ekonomi eropah mempersiapkan mata uang bersama (monetary union), adanya bank sentral yang independen merupakan salah satu persyaratan bagi negara yang akan bergabung dengan European Monetary Union.

    Sementara itu di negara-negara Asia, dalam melakukan restrukturisasi ekonomi negara-negara Asia yang mengalami krisis ekonomi sejak tahun 1997, badan keuangan dunia International Monetary Fund (IMF) menyusun program penataan moneter, termasuk pemberian syarat independensi bank sentral.

    Dalam liberalisasi perbankan, pemberian independensi bank sentral ini diyakini bisa menjaga kestabilan moneter. Secara umum dapat dikemukakan bahwa urgensi independensi bank sentral untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dilakukan dengan menjaga stabilitas moneter, yakni stabilitas harga, inflasi, dan nilai tukar mata uang nasional.

    Keyakinan perlunya independensi bank sentral, dikemukakan J Sudradjad Djiwando yang menyadari urgensi independensi bank sentral yang merupakan hasil dari berbagai studi yang menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki bank sentral yang independen cenderung mempunyai laju inflasi yang relatif rendah. Tabik.

     

    Penulis adalah Advokat, tinggal di Jakarta

    (opini ini disarikan dari tesis magister hukum penulis mengenai pergeseran norma hukum independensi Bank Indonesia)

     

  • Makin Marak, Ini Strategi Agar Pengembang Tidak “Di-PKPU-kan”

     

    Oleh : Juneidi D. Kamil,SH,ME,CRA

    Penyelesaian sengketa utang termasuk terhadap pengembang properti marak terjadi di Pengadilan Niaga. Sepanjang Januari 2020 hingga Maret 2020, jumlah perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) meningkat.

    Tingginya sengketa utang  yang masuk dalam ranah PN dapat menggangu pasar properti. Saat ini, realita memperlihatkan pengajuan pengembang sebagai Termohon PKPU bahkan dilakukan konsumen properti.

    Data dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari 5 Pengadilan Niaga tren kasus PKPU tercatat meningkat. Kelima Pengadilan Niaga ini terdapat pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mendominasi penyelesaian sengketa utang ini.

    Pada Januari 2019 hingga Maret 2019, terdapat 104 perkara PKPU. Sedangkan pada Januari 2020 hingga Maret 2020, terdapat 116 perkara PKPU. Berdasarkan data ini ada peningkatan sekitar 12% dari data sebelumnya.

    Data ini besar kemungkinan akan meningkat karena PKPU menjadi sarana bagi debitor dalam menangkis permohonan kepailitan yang diajukan oleh para kreditor. Dalam periode Januari 2019 hingga Maret 2019, terdapat 39 perkara kepailitan. Sedangkan pada Januari 2020 hingga Maret 2020, terdapat 27 perkara kepailitan.

    Juneidi D Kamil

    Pengembang yang diajukan sebagai Termohon PKPU di Pengadilan Niaga bukan hanya pengembang yang membangun rumah vertikal (high rise building) tetapi juga rumah horizontal (landedd).Pengembang yang diputus dalam PKPU oleh Majelis Hakim di Pengadilan Niaga membuat kewenangan bertindaknya menjadi terbatas.

    Kalau diperhatikan lebih jauh, maka proyek properti high rise building rentan mengalami potensi tuntutan PKPU. Permasalahan utama yang kerapkali dipersoalkan konsumen properti adalah masalah penyelesaian fisik bangunan serta sarana dan prasarana termasuk penyelesaian Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS).

    Hubungan Kerjasama

    Dalam pembangunan proyek properti yang dilakukan pengembang terdapat beberapa pihak lain yang terlibat dalam hubungan kerjasama. Ada pihak kontraktor yang melaksanakan pekerjaan pembangunan, pihak supplier yang memasukkan kebutuhan material proyek properti pengembang, vendor jasa periklanan, broker marketing agency, dan konsumen yang membeli properti milik pengembang. Bahkan pengembang tidak jarang masih memiliki hubungan dengan pemilik tanah karena kepemilikan tanah belum atas nama pengembang.

    Hubungan antara pengembang dengan beberapa pihak itu adalah hubungan hukum yang dituangkan dalam berbagai bentuk perjanjian. Hubungan hukum pengembang dengan kontraktor dituangkan dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dan/atau Surat Perintah Kerja (SPK).

    Hubungan hukum antara pengembang dengan supplier, vendor jasa periklanan, broker marketing agency dituangkan dalam perjanjian kerjasama. Hubungan hukum dengan konsumen dituangkan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Sedangkan hubungan pengembang dengan pemilik tanah juga banyak sekali pola kerjasama yang merupakan hubungan hukum keduanya.

    Dalam mendukung kebutuhan modal kerjanya, pengembang relatif banyak yang mengajukan kredit atau pembiayaan kepada bank. Disamping kebutuhan modal kerja, pengembang juga mengharapkan adanya dukungan fasilitas KPR/KPA dari proyek properti yang dibangunnya. Kredit modal kerja yang diajukan kredit pemilikan lahan atau kredit modal kerja konstruksi. Sedangkan dalam rangka fasilitas KPR/KPA antara pengembang dilakukan kerjasama dukungan KPR/KPA, Jaminan membeli kembali (Buy Back Guarantee) dan Jaminan Perusahaan (Corporate Guarantee).

    Berbagai jenis hubungan hukum antara pengembang dengan pihak lain melahirkan hak dan kewajiban. Pengembang berkewajiban membayar tagihan kontraktor atas penyelesaian pembangunan sesuai progress sebagaimana diatur dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau SPK. Pengembang berkewajiban untuk membayar material bangunan sesuai harga dalam perjanjian yang sudah dipasok pengembang untuk pembangunan proyek properti.

    Pengembang juga berkewajiban menyelesaikan fisik bangunan, sarana dan prasarana serta legalitas proyek properti yagn dibeli konsumen. Pengembang selaku debitor bank berkewajiban untuk kewajiban bunga dan pengembalian pokok kredit kepada bank.

    Pihak yang mengadakan hubungan hukum dengan pengembang berdasarkan perjanjian yang disepakati dapat menuntut haknya dengan meminta pengembang menyelesaikan kewajibannya. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah sarana PKPU/Kepailitan yang diatur dalam UU No.37/2004. Mereka dapat mengajukan Pengembang sebagai Termohon agar menyelesaikan kewajibannya karena kewajiban-kewajiban itu dapat dimaknai sebagai utang dalam PKPU/Kepailitan.

    Risiko Hukum

    Maraknya kasus-kasus PKPU yang berlangsung di Pengadilan Niaga mengancam bisnis properti. Pengembang harus berhati-hati agar terhindar dari tuntutan PKPU dan/atau menggunakan sarana PKPU untuk menghindar dari kewajiban.

    Pengembang yang diputus dalam PKPU mengakibatkan bonafiditasnya semakin berkurang. Para pihak dalam bisnis properti saat ini relatif gampang menelusuri bonafiditas pengembang yang akan menjadi mitranya.

    Pengembang selaku debitor saat diputus dalam PKPU memiliki keterbatasan kewenangan dalam bertindak. Debitor tanpa persetujuan Pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. Pengurus adalah orang perseorangan yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitor dalam PKPU.

    Kewenangan Pengurus pada PKPU berbeda halnya dengan Kurator pada Kepailitan. Dalam PKPU, debitor tetap memiliki hak untuk mengurus atau memiliki seluruh hartanya dengan catatan untuk dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tersebut, debitur memerlukan persetujuan dari Pengurus.

    Pada Kepailitan Kurator bertindak sepenuhnya atas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Kurator berwenang untuk melakukan penjualan atas harta pailit tanpa memerlukan persetujuan dari debitor.

    UU N0. 37 tahun 2004 menentukan bahwa selama PKPU debitur tanpa pcrsetujuan pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagai hartanya. Jika debitur melanggar ketentuan tersebut, pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitur tidak dirugikan karena tindakan debitor. Kewajiban debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari Pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta debitor sejauh hal itu menguntungkan harta debitor.

    PKPU mempunyai maksud agar debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Perdamaian dapat ditawarkan oleh debitor pada waktu mengajukan PKPU atau selama berjalannya masa PKPU. Masa berjalannya PKPU mencakup PKPU sementara dan/atau masa PKPU tetap. Masa PKPU sementara paling banyak 45 hari terhitung sejak tanggal putusan PKPU. Sedangkan masa PKPU tetap sampai dengan 270 hari sejak tanggal putusan PKPU sementara diucapkan.

    Apabila usulan perdamaian diterima maka rencana perdamaian dan hasil pembahasan yang disetujui oleh kreditor akan dituangkan dalam rapat perjanjian perdamaian. Perjanjian perdamaian disahkan oleh Pengadilan kecuali terdapat empat hal.

    Pertama, harta debitor termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda jauh lebih besar daripada julah yagn dsetujui dalam perdamaian. Kedua, pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin. Ketiga, perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditor atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini. Keempat, imbalan dan jasa yang dikeluarkan ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.

    Pengembang selaku debitor apabila menjadi Termohon PKPU harus mengajukan suatu rencana perdamaian. Perdamaian ini sebenarnya menjadi tujuan dari proses PKPU. Para kreditor memiliki hak menerima atau menolak proposal perdamaian yang diajukan debitor. Apabila para kreditor menolak rencana perdamaian maka debitor dinyatakan pailit dalam waktu satu hari setelah Pengadilan Niaga menerima pemberitahuan penolakan dari Hakim Pengawas.

    Penutup

    Pengembang properti sebaiknya berhati-hati dalam mengelola cash flow dan melakukan proses bisnis properti. Kelemahan dalam pengelolaan cash flow serta memahami proses bisnis dapat mengakibatkan tertundanya pelaksanaan kewajibannya kepada pihak lain.

    Perluasan makna utang saat ini mengakibatkan pengembang properti berada dalam ancaman PKPU. Pengembang sebaiknya mengoptimalkan sarana negosiasi, mediasi dan mencari ruang kolaborasi sebagai solusi.

    Pada sisi lain, pengembang juga harus berhati-hati menggunakan sarana PKPU untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi. Bonafiditas pengembang dapat terganggu, pasar properti dan para pihak yang akan menjalin kerjasama menjadi ragu. Aman dan bijaklah pengembang dalam melakoni bisnis properti. Semoga artikel ini bermanfaat.

    Penulis adalah Praktisi Hukum Bisnis Properti dan Perbankan. Email : kamiljuneidi@gmail.com

     

     

     

  • Gagal Serah Properti: Kepailitan Developer atau Wanprestasi?

    Logiskah  pesepakbola terkenal  ‘R’ yang dibanderol selangit, sengaja gol bunuh diri?   Logiskah ‘R’ pebalab ekstra-mahal yang branded –ugal-ugalan di arena sirkuit— membiarkan diri diganjar diskualifikasi? Lapangan hijau pun sirkuit balap itulah  mesin “bisnis” yang menjumbokan  pundi-pundi ‘R&R’.

    Kalau pasar itu  lapangan hijau sepak bola, vonis kepailitan itu bukan hanya kartu merah tanpa ampun plus titik putih dua belas pas pinalti, namun pensiun dan gantung sepatu.  Literatur mendefenisikan kepalitan  sebagai  keluar dari pasar: exit from market.  Ekologi pasar dimulai dari entry to market sebagai  eksisnya kelahiran badan hukum korporasi. Investor  seperti  aliran air  ke tempat  rendah. Berani mahal membayar asal bisa memasuki cum menguasai rantai pasar.

    Logis jika pintu exit from market  atau dikeluarkan dari pasar itu tidak diumbar. Sedapatnya dihindari.  Diperketat. Hanya situasi kondisional berat. Hanya ketika kondisi keuangan korporasi membelit akut. Yang dikenal dengan  upaya  terakhir (ultimum remidium). Dari pengalaman empiris Indonesia, kepailitan mencuat karena  krisis moneter.

    Dari dinamika lapangan dan jamak kasus, akankah kepalitan  tergopoh dipakai sebagai jurus pembayaran belaka? Hanya debt collective proceeding?  Kalau exit from market  itu dibiarkan leluasa,  konsumen akhir yang  terimbas juga. Karena norma  dua utang  jatuh tempo dengan  pembuktian sederhana. Patut ditimbang dampak resiko kerusakan ekosistem pasar, demi menjaga sistem hukum yang adil dan pasti  –yang menjadi asas hukum universal.

    Lagi pula,  sejarah kelahiran UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tak lepas dari setting krisis  moneter. Marilah menimbang prinsip adil dan pasti, yang melekat pada hukum kepailitan (M. Hadhi Subhan, 2008). Logiskah,  eksistensi suatu norma hukum kepailitan jika utang  satuan 100 dari aset satuan 100 juta (1:1.000.000),  lantas  segera  mendaftar ke Pengadilan Niaga?  Jika gagal serah 2 unit apartemen pada proyek kota mandiri dengan perumahan skala besar dalam  kawasan permukiman, patutkah  developernya segera dipailitkan pada kesempatan pertama?

    Dalam perjalanan penerapan hukum kepailitan, disadarikah adanya  dilema hukum misalnya perihal syarat 2 (dua) utang kreditor cum developer skala besar  versus kepentingan hukum konsumen akhir (end user) yang sudah membayar cicilan –namun hanya  berbekal  surat pemesanan dan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) saja? Hanya karena frasa norma utang dengan  pembuktian sederhana. Soal hukum lain, mencakup tak adanya insolvensi test kepada korporasi yang masih segar bugar. Namun kepailitan  diperlakukan tidak sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Seringkali  malah upaya pertama (premium remidium).

    Soal utamanya  terkait defenisi utang.  Hampir semua  korporasi  mempunyai utang jatuh tempo. Besar atau ataupun kecil. Lantas, patut dan adilkah hanya dengan dua utang tak seberapa dari aset dalam neraca,  korporasi dibangkrutkan? Logika pasti sanggup membedakan kapal yang terombang ambing badai  menuju karam,  dengan   kapal terkena efek rembes bocor tak seberapa  dan kemasukan sedikit air saja. Apakah gagal serah  unit apartemen itu konstruksi hukumnya sama seperti halnya  utang uang? Bukankah itu masih wanprestasi PPJB ataupun jual beli properti?

    Tak hanya membaca teks norma, soal ini patut dicerna dengan asas atau prinsip hukum. Sebab, asas-lah yang mengayam norma. Pada asasnya,  kepailitan  itu jika korporasi  dalam  belitan  masalah keuangan akut tak terselesaikan –yang  membutuhkan lembaga kepailitan sebagai  exit from financial distress.  Jika  posisi kewajiban utang yang jauh lebih besar daripada nilai  harta kekayaannya,  maka norma hukum dan praktik hukum musti  menarik garis tegas antara  balance sheet insolvency dengan cash-flow insolvency  (Sutan Remy Syahdeini, 2015).

    Sebab itu, kepalitian korporasi bukan premium remidium.  Patut didahului dengan insolvency test.  Mustinya dengan syarat yang berlogika sebab akibat yang ketat.   Jika hanya cash-flow insolvency, kiranya  itu masih utang biasa. Bukan alasan mengajukan  kepailitan. Sifatnya hanya perkara  perdata  cidera janji (waprestasi) biasa.  Tamsilnya,  logiskah ketika  lupa membawa dompet  ke pompa  bensin dan tak bisa membayar tagihan belanja di mini market, sontak pengusaha kedai pergi ke Pengadilan Niaga? Demi ekologi industri properti cum perlindungan hak konsumen,  perlu membuat jalan baru dengan menguji norma, tidak hanya menjalani norma.

    Kuantum Advokasi

    Soal lain? Relasi hukum antara konsumen dan developer terbilang unik, tak perikatan biasa. Produk belum jadi/ada namun bisa jualan, namanya pre project selling. Konsumen disyaratkan bayar uang muka (down payment/DP)  dalam jumlah tertentu dan melampaui Loan To Value (LTV). Namun, karena belum lunas dan bendanya belum ada, maka belum ada penyerahan juridis (yuridish-levering) atas barang/benda. Walau sudah ada Sertifikat Laik Fungsi (SLF), penyerahan kunci, bahkan konsumen sudah  menghuni unit, membayar management fee, dan bahkan konsumen terus membayar cicilan berjangka, atau cicilan keras-lunas.  Namun status kepemilikan properti by law belum beralih ke konsumen. Uangnya saja yang beralih sudah.

    Majelis pembaca juga maklum, jamak proyek properti tidak hanya satu-dua  menara, belasan bahkan puluhan dalam satu hamparan. Pun,  tak hanya hunian, namun perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Tak jarang bahkan dengan kombinasi hunian berimbang  perumahan komersial dengan perumahan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) yang bersubsidi karena berasal dari dana APBN. Ahasil, status asetnya menjadi semakin pelit.

    Menjadi kenyataan hukum dan bisnis ketika  proyek perumahan skala besar itu   tumbuh mengkota dalam satu kawasan. Menjadi kota mandiri baru. Kerapkali, developernya pun masih terikat dengan pembiayaan konstruksi dengan konsorsium lembaga perbankan. Jika sontak kepailitan didaftarkan, sebutlah karena gagal serah  2 unit apartemen atau sebab wanprestasi PPJB,  bukan tidak mungkin menjadi keadaan dramatis : “the city in the midle of insolvency case”.  Yang berimbas kepada konsumen dan ekologi industri properti.

    Sebab itu, apabila developer gagal serah, unit belum terbangun, lewat waktu waktu pembangunan dan penyerahan serta penghunian,  tidak serta merta idemditto didefenisikan utang yang developernya dalam status financial distress. Belum tentu balance sheet insolvency. Perlu dicatat,  kontra prestasi penjualan properti adalah penyerahan (levering), selagi perjanjian masih belum dibatalkan.

    Di titik ini, pembentukan hukum (rechtvorming) soal takrif  utang menjadi isu sentral.

    Apalagi masih adanya kesatuan paham  norma utang dalam yurisprudensi kepailitan. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang tidak memberikan syarat debitur dapat dipalitkan,  perlu dikaji ulang.  Perlu dibatasi dengan insolvency test. Bedakan  antara balance sheet insolvency dengan cash-flow insolvency. Apalagi hanya  gagal serah belaka –yang masih merupakan  wanprestasi penyerahan barang. Bukan  korporasi dalam situasi financial distress.

    Tak logis rasanya, pebalap mahal  yang serba “branded”   ugal-ugalan di  sirkuit. Sengaja hendak keluar gelanggang.  Pun demikian,  developer dan konsumen  mewaspadai ancaman insolvensi yang berujung kepailitan/PKPU.  Dengan regulasi  yang terus menerus diperbarui.  Nasihat opini ini perlunya  respon lawyering sistematis yang menjaga ekologi industri properti cum melindungi hak konsumen. Saya menyebutnya kuantum advokasi. Tabik.

    (Muhammad Joni, S.H., M.H., Advokat dan Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, opini ini pendapat pribadi penulis).

     

  • Developer Dan Renewal Habit*

    Separo hari, saya mengikuti majelis diskusi. Kebiasaan menahun yang disukai. Turut aktif Online FGD Series 5: perencanaan dan pembangunan perumahan era kebiasaan baru.
    Institusi pangkalan patik belajar, The HUD Institute, tabah menghelat itu untuk menjulangkan paradigma baru dalam urusan Housing and Urban Development (HUD). Bukan hanya teknik kerja dan kiat buat rumah belaka.
    Isunya inovasi kebiasaan ikhwal perumahan, permukiman dan perkotaan dalam menyiasati pendemi Covid-19. Era krisis global cum bencana nonalam itu, rumah menjadi “juara”. Saya menyebut rumah adalah “vaksin” perangi sang virus.
    De facto, pendemi Covid-19 mengubah perilaku. Juga cara beraktifitas, bekerja, berolahraga, bahkan cara kongkow ngopi, membuka jendela, memperlakukan lift, ventilasi, dan AC ruangan.
    Kaum developer idemditto perbankan, paling biasa dalam inovasi. Produk, marketing, cara membayar, selalu inovasi. Bisakah inovasi memesan unit properti semudah memesan kopi?
    Anda berasa terbang atau tertantang? Tatkala anda tertantang terbang, maka target narasi ini tercapai. Ya.., pilihannya: inovasi atau tutup lapak. Karena kita hidup dengan ribuan bahkan jutaan kebiasaan rutin kita. Termasuk kebiasaan paling penting menata kota. Alhasil, inovasi kebiasaan lama menyentuh soal strategis, maksudnya mengubah kebiasaan (habit) lama ke norma baru. Dalam amatan saya, kaum developer juara dalam Realestat Transaction Engineering. Saya pernah menulisnya untuk majalah REI.
    Masih ingat jurus ‘Price Lock’ ala Sinar Xxx, atau jurus KPR ditarik secepat memesan teh tarik. Dahsyat, hanya 57 detik, seperti citra iklan bank swasta asing berlogo harimau dalam lingkaran berwarna kuning.
    IG-ers & FB-ers. Kultur developer bukan pecundang. Mereka kaum yang selalu inovatif dan membuat kebiasaan baru. Merujuk Charles Duhigg, dalam buku The Power of Habit, betapa dahsyatnya Kebisaaan.
    Kata Duhigg, Habit bukan takdir. Habit lama bisa diubah, bisa diganti, direncanakan; apabila kita paham bagaimana “mesin otomatis” neorologis-psikologis sang Habit bekerja. Developer dan bank, paham itu sepaham-pahamnya. Mereka memperlajari itu sebagai sains. Menerapkannya sebagai jurus. Bermental juara. Habit of Champion. Just opinion.
    *Muhammad Joni, Sekretaris Umum The HUD Institute,
  • Beleid Tapera & Kepemilikan Rumah

    Oleh: Chandra Rambey*

     

    Buat sebagian orang memiliki rumah merupakan hal yang wajib didalam kehidupannya. Namun tidak bagi sebagian yang lain. Lalu kenapa aturan Tapera memaksanya?

    Pemerintah Indonesia mencoba meningkatkan kepemilikan rumah bagi masyarakat luas melalui program TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) berdasarkan peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Beleid itu mewajibkan setiap pekerja baik ASN maupun swasta untuk berkontribusi dalam skema program cicilan kredit rumah.

    Akan tetapi, banyak sekali keprihatinan dari berbagai kalangan masyarakat mengenai skema tersebut. Banyak rumah tangga mengalami masalah keuangan akibat resesi ekonomi yang terjadi secara domestik maupun internasonal. Iuran Tapera mengakibatkan adanya penambahan pemotongan dari gaji (selain dari BPJS) akan sangat memberatkan anggota masyarakat.

    Ada beberapa poin yang kami harap menjadi perhatian dari permasalahan Tapera ini (maupun program lain dengan skema serupa). Yaitu implementasi dari skema tersebut didasari dari dua alasan pokok. Pertama untuk mencapai angka kepemilikan rumah yang tinggi. Kedua pemerintah harus mengintervensi pasar agar kebijakan tersebut bisa tercapai.

    Tentu banyak orang akan setuju bahwa kepemilikan rumah yang tinggi merupakan sebuah tujuan yang baik untuk digaungkan oleh pemerintah. Kita akan menemukan sedikit sekali dari orang yang menolak mengenai gagasan tersebut. Hal tersebut merupakan bagian dari gagasan popular bahwa memiliki tempat tinggal merupakan salah satu tujuan terpenting dari setiap manusia, dan harus tercapai sesegera mungkin.

    Di beberapa Negara seperti Malaysia dan Indonesia. Bukan hal jarang bahwa di dalam masyarakat dengan golongan umur muda mengeluhkan bahwa semakin susah untuk mempunyai rumah setelah lulus. Sementara di Eropa sudah menjadi local wisdom bahwa kepemilikan rumah baru akan tercapai ketika seseorang telah mencapai tahap mapan didalam karier dan pekerjaannya

    Akan tetapi, perlu diketahui bahwa prefensi untuk memiliki sebuah asset merupakan sebuah kerangka berpikir yang sifatnya subjektif. Artinya sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain. Untuk menjadi seorang pemilik rumah tidak dapat dipertimbangkan sebagai sebuahnilai utamayang berlaku untuk semua orang, namun hanya berlaku bagi beberapa individu yang memang ingin mempunyai keinginanuntuk memiliki rumah.

    Artinya secara teknis, hanya orang-orang yang memang memilih menabung untuk masa depan dibandingkan menggunakan uangnya untuk berkonsumsi. Dan orang-orang yang memiliki keinginanmemiliki rumah cenderung melakukan hal tersebut. Sayangnya, orang-orang yang seperti itu, hanya sebagian kecil dari masyarakat. Mereka memiliki orientasi terhadap masa depan yang stabil

    Terdapat orang-orang yang memiliki prefensi waktu jangka pendek (atau berorientasi masa sekarang). Mereka lebih memilih untuk memenuhi konsumsi dibandingkan menyisihkan uangnya untuk menabung. Lalu apakah orang-orang tersebut “buruk” secara ekonomi? Apakah mereka hanya menyia-nyiakan uangnya hanya untuk berbelanja?

    Dalam kaidah ilmu ekonomi terdapat teori trade off  dimana manusia selalu dihadapkan pilihan ketika melakukan kegiatan ekonomi. Pilihan-pilihan tersebut didorong oleh prefensi yang bersifat subjektif dan ekspektasi akan masa depan. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa buat sebagian orang, kepemilikan rumah merupakan hal yang wajib didalam kehidupan.

    Namun bagi sebagian lain merupakan hambatan karena akan menghambat konsumsi mereka di masa sekarang. Ataupun mereka berada dikondisi yang membuat pekerjaan mereka berpindah-pindah dari kota ke kota lainnya. Dengan kebijakan yang “memaksa” orang untuk tidak dapat melakukan konsumsi sesuai keinginannya malah akan membuat problem jangka panjang bagi produktivitas serta kebahagiaan mereka sendiri.

    Dengan menerapkan skema iuran Tapera ini, pemerintah cenderung menetapkan kebijakan kepemilikan rumah secara “paksa”. Dimana nilai-nilai orang yang memilih untuk mempunyai kehidupan yang stabil dengan punya rumah cenderung “lebih baik” daripada mereka yang memilih untuk hidup lebih fleksible dan dinamis

    Perilaku penentuan nilai seperti ini seharusnya dihindari dari pengambilan kebijakan. Dimana sebuah kebijakan harusnya bebas nilai dan netral. Pemerintah seharusnya bisa menjamin setiap anggota masyarakatnya untuk dapat bekerja keras mencapai cita-cita dan prefensi yang diinginkan.

    Dalam situasi dunia yang cenderung penuh goncangan seperti ini, banyak anggota masyarakat harus menyesuaikan kembali keinginan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi, lebih dari sebelumnya. Pembuatan kebijakan tidak boleh diarahkan untuk mendorong perilaku tertentu dengan langkah-langkah yang secara langsung mempengaruhi kapasitas pengeluaran rumah tangga. Tetapi sebaliknya harus berorientasi pada membuat sumber daya bebas untuk bergerak ke arah yang ditentukan oleh preferensi individu.  

    *CEO PT Provalindo Nusa Kepala Deputi Riset dan Hubungan Luar Negeri REI DKI Jakarta.

    *

Back to top button