Opini

  • Belajar dari Anak Berlari di Kampung Susun Eks Bukit Duri: Jak Transform (2)

    Belajar dari Anak Berlari di Kampung Susun Eks Bukit Duri: Jak Transform (2)

    Menengok lagi anak-anak usia belia itu berlari-lari melewati  ‘Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung-Eks Bukit Duri’, awak tersentak. Termagnit, belajar dari energi anak bahagia berlari.

    Pada anak-anak berlari happy
    itu, ada pelajaran: “It takes a city to rise a child”, butuh kota (yang layak) menumbuhkan anak. Kota yang kudu berubah, mengikuti tumbuh kembang anak.

    Dalam diam saya berkeyakinan, stunting bukan takdir anak. Tak ada anak yang miskin. Homeless bukan takdir anak. Konstitusi negara kesejahteraan mendefenisikan anak dipelihara negara, yang bermakna semua anak sejahtera. Hanya saja masih soal krusial perihal keadilan sosial. Kampung Susun itu inovasi menjawab kemiskinan perumahan, solusi dalam perebutan ruang.

    Tubuh mungil anak-anak itu tidak ontok diam, walau dalam gambar terlihat diam.  Namun darahnya bergegas berkembang.  Jiwanya progres, tidak stagnan, tumbuh berlari kepada transformasi, yang tak bisa dihalangi satuan waktu. Transformasi jiwanya tak terhalangi surat keputusan penggusuran. Kucing bernama ‘Libi’ saja paham.

    Tumbuh kembang dan naluri perubahan anak mutlak tak bisa menunggu esok. Tapi sekarang.  “Many think can wait. Children can not. To them we can not say tomorow. Their name is today”, gubah penyair Gabriella Mistral, menamsilkan perubahan pada anak.

    Selain ‘Their name is today’, tumbuh kembang anak adalah subyek pelajaran mahal perihal perubahan. Anak adalah hamoraon (kekayaan), dikenal luas sebagai Living Laws dalam kosakata bahasa Batak.

    Anak-anak hari ini, ialah pemimpin sekejap masa nanti. Mereka yang mengambil alih dan mengubah zaman hadapan. Agent of the next tansformation.

    Renungan saya, bahwa perubahan adalah niscaya, hal yang naluriah sekaligus hak alamiah anak. Bahkan perubahan sangat cepat, tak bisa diinterupsi, lebih cepat dari perubahan fisik kota yang cenderung degeneratif: menua. Namun anak tidak, transformasi ke dewasa semakin berharga: hamoraon.

    Bagi anak, tak hanya hak hidup (rights to life) dan hak kelangsungan hidup (rights to survival). Anak berhak atas tumbuh kembang (rights to development), dan hak atas partisipasi (rights to participation). Itu empat kelompok besar hak anak versi Konvensi PBB tentang Hak Anak (UN’s Convention on the Rights of the Child). Izinkan saya menambahkan hak anak atas perubahan.

    Serupa halnya dengan kebutuhan atas hunian sebagai hak atas perumahan –yang layak dan terjangkau–   namun tidak hanya melekat pada dua rukun perumahan rakyat itu. Ijinkan saya mengimbuhkan rukun tambahan: housing in transforming. Karena soalan perumahan melekat dan mosaik utama pembentuk kota, maka  saya menyebutnya dengan housing and urban transformation (disingkat “HUT”).

    Kiranya, isu HUT itu melakukan refleksi dan transformasi atas sistem kelembagaan penyelenggaraan perumahan rakyat  –sebagai hak konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945– yang masih labil.Di tarik ke sana kemari. Pernah dibubarkan. Dieksiskan lagi kementeriannya, dan begitu mudah digabungkan.

    Juga, kua normatif (UU)seakan “strata” urusan/bidang yang lebih rendah daripada urusan/bidang alias sektor tertentu, misalnya:  kesehatan,  sosial, pendidikan –yang juga bunyi dalam konstitusi.

    Ada bias dalam menakrifkan makna konstitusi bertempat tinggal ke dalam kelembagaan. Hak konstitusi itu musti direkonstruksi: takrif dan kelembagaannya.

    Dari titik itu, penting perubahan mengatasi soalan perumahan rakyat, yang kompleks: masih jumbo statistik defisit rumah (backlog),  yang belum tuntas diatasi walau nyaris 10 tahun dalam penggabungan.

    Buktinya, angka backlog 12,7 juta sementara ini tidak akan mampu dicapai, kalau hanya menggunakan APBN saja dan tidak mungkin bisa terkejar secara cepat,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam side even G20 bertema ‘Securitization Summit 2022’. Padahal, hybrid dengan kementerian yang APBN-nya besar.

    Pun, tatkala sampai titik kulminasi kiprah FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dari dana APBN bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) –yang berubah menjadi/kepada BP Tapera, kini– namun  12,7 juta angka backlog itu masih tinggi, lho. Belum lagi pertambahan 700 ribu sd 800 ribu rumah tangga baru yang butuh hunian baru.

    Sebabnya? Karena pembangunan masih dilakukan dengan skim jual-beli dan memasuki  pasar perumahan, dan karena itu berlaku kaidah komersial.  Walau Pemerintah memberikan subsidi bantuan dan kemudahan sahaja. Namun masih dibatasi alokasi, kuota, dan fiskal terbatas. Ruang fiskal  pun subsidi pembiayaan perumahan rakyat/MBR dalam APBN dari masa ke masa kita masih ukuran minimalis, jika dibanding negeri jiran sekawasan.

    Idemditto,  skim BP Tapera –yang mengaku berasas gotong royong dengan sumber dana dari pemberi pekerja dan  kerja— ya…, mirip FLPP juga.

    Mengapa perumahan MBR tidak dibangun badan pemerintah dan perangkat badan usaha milik daerah, sebagaimana ‘Jak Habitat’. Saya membatin, namun jiwa saya berlari, seperti anak-anak yang bertubuh ceria itu, kiranya ‘Jak Habitat’ kudu berubah  menjadi ‘Ina Habitat’. Kelembagaan perumahan rakyat perlu direkonstruksi.

    Patut dan absah, jika perumahan rakyat digugah terus berubah. Menjadi housing in transforming. Tidak hanya melakoni penyediaan perumahan: program sejuta rumah sahaja. Mustinya program strategis nasional, bisa!

    Apalagi urusan konkuren perumahan rakyat dibawa ke sana ke mari,  dalam berbagai rezim UU Pemerintahan Daerah, dan dinihilkan sebagai urusan konkuren daerah dalam Lampiran Huruf D UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (“UU Pemda”).

    Sebab itu, perlu pikiran-pikiran baru yang terbuka, out of the box in the boxes, belia, segar dan wangi dari pengapnya hawa sektoralitas. Juga,  menghargai warna warni kearifan lokal dan bekal/ modal lokal, namun teruji dan terpuji dalam aplikasi lapangan alias workable.

    Perlu rekonstruksi kelembagaan yang mampu menjadi dirijen antar sektor, sebab masih adanya gap antara isu penyediaan dengan pembiayaan. Antara penyediaan dengan kelembagaan (Badan Percepatan Pembangunan Perumahan/BP3).  Antara pembangunan dari urusan pusat dengan urusan konkuren Pemda.

    Tentu saja, antara penyediaan/ pembangunan dengan pertanahan. Antara pembangunan dengan perlindungan konsumen dan pemberdayaan MBR. Antara menyasar MBR formal dengan MBR non formal dan pekerja mandiri.

    Tersebab itu, perubahan ikhwal perumahan rakyat bukan mimpi buruk namun keniscayaan, seperti anak-anak yang  bertumbuh dewasa. Perubahan yang pasti datang, mutlak tak bisa ditolak. Menjadi hamoraon.

    Hari kemarin lebih singkat daripada hari esok yang lebih panjang. Perubahan yang zaman berzaman, mengapa tidak? Jak Transform, banyak pelajaran inovasi dan perubahan. Bukankah begitu, Libi? Tabik. (bersambung#3).

    [Muhammad Joni, Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat]

  • Dari Kampung Susun Produktif, Anies Membangun Peradaban, Bukan Menggusur!

    Siapa bilang ibukota kejam? Segera-lah mengubah pendirian. Sebab itu tidak laku bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Justru, Anies membangun kotanya-feat-bahagiakan warganya. Bukan hanya tema kampanye.Itu hasil kqrya, yang menjadi nyata.

    Kenyataan itu yang terjadi pada warga Bukit Duri, yang sempat digusur demi bersih-bersih Kali Ciliwung, biautifikasi kota, sebelum era Anies di Balaikota.

    Warga Bukti Duri dihunikan lagi –pada kampungnya sendiri. Sebagai karya ‘Kampung Bukit Duri’.

    Titelnya memang bernama ‘Kampung Susun Bukit Duri’.  Analog dengan konsep vertical housing (“VH”). Namun, tunggu dulu. Itu bukan sembarang VH, namun  dilabelkan dengan imbuhan ‘Produktif Tumbuh’. Lengkapnya menjadi ‘Kampung Susun Produktif Rumbuh Cakung. Diimbuhkan pula dengan ‘Eks Bukit Duri’, bukan tanpa narasi. Maksudnya, tidak hendak menyisihkan diri dari sejarah perjuangan  atas tapak lahan dan ruang. Tidak hendak lepas dari habitat aseli juncto komunitas. Nah, begitu kokoh narasi dan gagasan menjaga semangat juang rakyat.

    Banyak gagasan dan narasi besar dan mulia dari karya Anies Baswedan  bertitel ‘Kampung Susun  Produktif Tumbuh Cakung’ Eks Bukit Duri’ itu, yang barusan diresmikan pas Hari Perumahan Nasional yang ke 14.

    Bukan hanya demi narasi apalagi citra belaka, namun sudah konkrit  Sudah diresmikan orang nomor satu di Jakarta;  nyata, bukan citra, bukan hoax. Bahwa: Kampung Susun, bisa! Produktif dan Tumbuh.

    Seperti diwartakan Kompas.com yang menuliskan, hatta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung di Jalan Kavling DPR Kampung Pulo Jahe, Jatinegara, Cakung, Jakarta Timur, pada Kamis (25/8/2022).

    Rumah susun itu wa bil chusus dibangun untuk warga eks Bukit Duri, Jakarta Selatan, yang kediamannya digusur  medio 2016.

    Siapa menggusur? Siapa menggugat, dan mengapa warga menang?  Usah lagi diulas di sini.

    Siapapun, Anies lah Gubernur Propinsi DKI Jakarta yang mempertahankan, membangun, dan membahagiakan warga Bukit Duri yang nyaris tersungkur di lingkungannya sendiri. Baik lingkungan sosial, budaya, komunitas, pun mata pencahariannya. Dengan jurus Kampung Kampung Susun Produktif Tumbuh.

    Saya mengendus, itu sebabnya ada imbuhan eks Bukit Duri dilabelkan di Kampung Susun berwarna warni itu.

    Luar biasa, betapa kuatnya tenaga moral sang pemilik Gagasan, yang bergeliat menjadi pemihakan sosial yang menyungkurkan ambisiusitas penggusuran. Menjadi konsep inovatif dalam partitur  Urban Development, yang sekali lagi, berlabel ‘Kampung Susun Produktif Tumbuh’.

    Dua kosa kata itu kuat. Keduanya bukan sekadar membela dari jeratan “duri” kota,  namun energizer memberdayakan warga. Dari hunian, bisa digenah produktifitas ekonomi dan pertumbuhannya, sekalian. Dari penerima bantuan menjadi Good Citizen!

    Mengambil momen Hari Perumahan Nasional, yang diambil dari almanak  pidato Muhammad Hatta pada Kongres Perumahan 25 Agustus 1950, Kampung Susun itu, dengan resmi ditabalkan. Eureka, ada pertautan gagasan besar dari Hatta ke Anies.

    “Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung, pada hari ini, Kamis, 25 Agustus 2022, secara resmi dinyatakan digunakan,” papar Anies yang kemudian dikerubungi warga dengan derai aura bahagia, sembari melepas senyum ramahnya.

    Jakarta, pun kiranya Indonesia, tersenyum ke seluruh kampung. Menjadi ibukota yang membela, dan memberdayakan ke segenap kampung rakyat Indonesia. Menjadi Good People Indonesia, bisa!  Tabik

    (Muhammad Joni, Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat Indonesia)

     

  • Hari Lingkungan Hidup di Tebet Ecopark: Udara Bersih untuk Indonesia, Majukan!

    Pertama ijin disclaimer dulu. Saya bukan pakar lingkungan hidup seperti pak Emil Salim –yang saya kagumi. Hanya advokat peminat isu perkotaan dan aktifis tobacco control, saja.

    Tepat hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2022, saya dan my “&” Ina Aie Tanamas berkelebat di kawasan Tebet Ecopark, taman hutan kota seluas 7,3 hektar di Jakarta Selatan.

    Nama itu, ialah situs ekonik. Ada jembatan elok bercahaya merah-jingga, berpola ‘Infinity’ (angka delapan). Yang estetik dan instagramable. Yang sukses menjodohkan hutan kota dan taman, di sisi utara dan selatan. Yang kawasan tanpa asap rokok. Yang membuat warga membludak ke sana. Pedagang eceran, makanan-minuman, juru parkir pun mendapat cuan.

     

    Gemerlap malam di Tebet Ecopark lebih menawan. Pepohonan bercahaya. Bola mata dan kamera saku saya menyaksikannya. Ada tetes air sisa hujan, udara dingin berjatuhan dari ujung dedaunan. Tebet Ecopark itu hasil gawean tangan dingin Anies Baswedan. Diresmikan 23-04-2022 barusan. Itu satu contoh Jejak Bijak Anies, sebut saja: AnisPrudence.

    Kota bukan benda yang pingsan, apalagi mati. Tjuk Kuswartojo menyebut kota bertumbuh, seperti organ yang organik, begitu ulasan otentik pak Tjuk dalam buku ‘Kaca Benggala’ (2018). Kota bernafas, tak berhenti berbakti. Bertumbuh. Efek “Debu” Emas” kota menyedot masuk komuter dan perantau.

    Kota perlu “paru-paru”. Ruang Terbuka Hijau (RTH) bak organ penting penampung udara: CO2. Kota tidak anti sosial. Kota perlu tempat warga bersua-cengkrama. Warga berhak atas kota. Sustainability city and community, begitu kaidah Sustainability Development Goals (SDGs). Kalau manusia makhluk sosial, turunannya makhluk berkota. Ya.. tentu pasti makhluk bernafas bebas.

    Gagasan Tebet Ecopark itu ruang sosial juncto RTH, yang mempertemukan warga. Gubernur Anies selalu membangun tak hanya membangun, diujarkannya: membangun bermula dari gagasan.

    Apa konsep Tebet Ecopark? Connecting peoples with nature! Juga, tempat bermain anak. Hak bermain dan waktu luang, dijamin Konvensi PBB tentang Hak Anak.

    Kembali ke soal udara bersih. Awassss. Gagal memenuhi hajat “makan” udara bersih 5 menit saja, anda pingsan! Bahkan organ hati, ginjal dan otak bisa rusak kronis. Gagal bernafas udara bersih itu wajib dicegah, sebab hal itu jauh lebih jahat dan membunuh dalam diam daripada aksi mogok makan. Tebet Ecopark ikhtiar menjaga dan fasilitasi hak bernafas itu. Belum pernah tersiar kabar aksi mogok bernafas aktifis HAM.

    **

    Foto bergizi ini diambil di Bandung, masih kawasan inti kota: down-town yang Aston (east town). Tanpa asap rokok! Dipinjam pakai untuk mematutkan narasi Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2022.

    Ketika membaca dokumen lama (2015), saya terenyuh soal asap kebakaran hutan.Dan tergelak akan kelakuan jiran. Ijinkan saya senyam senyum dan membelalak. Seakan menang telak di pacuan mobil Formula E, barusan. Yang mengukir sejarah kampanye bebas emisi karbon. Yang membelalakkan mata dunia. Yang membuat bangga menjadi Indonesia.

    Mengapa pulak terenyuh soal asap kebakaran hutan? Sebab, masih dari dokumen lama: negeri jiran yang dulu bernama Tumasek itu, kerap menebar keluh. Merajuk. Pun, sampai ajukan protes. Tak cuma satu, bahkan menggelar 4 protes: tindak tegas, gugat, minta diumumkan korporat pembakar hutan, komit memberi sedikit bantuan.

    Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmuham sempat berang tersebab asap. Katanya, “sangat tidak memikirkan warga kami”, dari BBC News Indonesia, 25-09-2015.

    Itu karena imbas asap kebakaran hutan Sumatera dan Kalimantan –yang membuat negara kota itu malap. Sebagai sesama kolega ASEAN, mustinya bisa diajak bijak bicara. Bukan mengeluarkan nota. Mulailah membenihkan cara-cara legawa: ASEAN Prudence!

    *

    Majelis Pembaca. Betapa udara bersih itu membuat pengaruh kepada kehilangan cara tersenyum dan cara duduk akrab-mesra. Jangan sampai pula jiran ASEAN mengabaikan betapa hebatnya jasa dan khasiat udara bersih dari hutan Sumatera dan Kalimantan.

    Jiran mustinya paham ke dalam alias introspeksi, jikalau udara bersih dari hasil kerja hutan belantara Indonesia menjadi “barang” komersil mendunia yang langka, jiran mana yang akan tak kelabakan?

    Pernah dengar stasiun penyedia udara bersih antri-feat-diserbu warga Cina? Di Xi’an, polusi udaranya: 65 mikrogram per meter kubik. Jauh diatas standar WHO: yang hanya 25 mikrogram per meter kubik. Diwartakan, udara bersih harganya mahal: 1 Yuan (setara 2 ribu rupiah) per kantong. Begitu diwartakan merdeka.com (23-09-2016).

    Saya makin takjub kepada Indonesia. Itu sebabnya banyak yang cemburu kepada hutan hijau Indonesia. Udara bersih yang dihasilkannya. Beribu tahun bilad Tumasek juncto Singapura hanya duduk elok manis saja menikmatinya. Tanpa biaya dan bebas pajak. Padahal Singapura negeri gagah kala menagih pajak korporat, pun juga warga mana saja.

    Eureka.., saya menemukan jawaban cerdas dari jurus pak Jusuf Kalla. Katanya, Negara tetangga Indonesia harus bersyukur mendapat udara bersih Indonesia, seperti diwartakan BBC News Indonesia.

    Tersebab itu, ketika berjiran: seringlah duduk dan banyak senyum-lah kawan. Seperti kami berkolaborasi di foto ini. Seperti titel ibukota ini: Jakarta Kota Kolaborasi!

    Ohya, di Hari Lingkungan Hidup 2022 ini, sohib saya: Daru, Tulus, Salim, berkolaborasi dengan sohib SAI-nya. The Sohib menanam pohon langka. Apa saja? Jangan kaget.

    “Kami menanam matoa (Pometia pinnata), meranti (Shorea), kedoya (Dysoxylum gaudichaudianum), sapu tangan (Maniltoa grandiflora)”, ujar Daru dan Tulus –yang turut berkolaborasi pada helat Hari Lingkungan Hidup 2022 di Tebet Ecopark.

    “Kedoya begitu juga Menteng, itu nama pohon, sebelum nama kawasan”, ujar Tulus –sang aktifis lingkungan yang tulus menjaga daerah aliran sungai (DAS)– kepada saya di sebuah kedai kopi dekat Tebet Ecopark.

    Dari luar tingkap saya membaca spanduk:

    ‘Selamat Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2022’ tema: ‘Udara Bersih untuk Jakarta’.

    Membaca itu, saya sontak membelalak. Ayo, Majukan! Lanjutkan! Lebih menusantara: Udara Bersih untuk Indonesia! Mencetak lebih banyak Ecopark, lagi. Tak hanya Jakarta, tetapi Indonesia. Pun, jiran ASEAN, juga. Bangun Negerinya. Bahagiakan Rakyatnya. Bersihkan udaranya, tak cuma toilet SPBU saja. Kepada jiran, lambaikan Salam 5 Jari. Tabik.

    #Muhammad Joni, Sekum The Housing & Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), pendapat pribadi, email: mhjonilaw@gmail.com

  • Lima Gagasan HUD Institute Soal Pembiayaan Mikro Perumahan

    JAKARTA, KORIDOR.ONLINE— The Housing and Urban Development (HUD) Institute menyelenggarakan Fokus Group Discussion dengan tema: “Mewujudkan Ekosistem Pembiayaan Mikro Perumahan Bagi MBR Non Formal: Konsep, Tantangan dan Agenda ke Depan”. Kegiatan yang diikuti oleh para pemangku kepentingan perumahan dan kawasan permukiman  pada Rabu, 30 Maret 2022 secara hibrid (daring dan luring) itu, berhasil melahirkan beberapa gagasan yang terangkum dalam pokok-pokok pikiran. Berikut rangkumannya:

    1. Garis kebijakan politik-ekonomi pembangunan perumahan rakyat sebagai agenda besar nasional dan direktif-konstitusional –walau terkadang keliru dianggap urusan kecil dan pinggiran– memiliki karakter problematika  yang berdimensi struktural, sistematis, lintas sektor dan skala kawasan. Termasuk pembiayaan perumahan rakyat, khususnya pembiayaan bagi MBR Non Formal yang masih tersisih dan tertinggal dalam target realisasi pembiayaan bersubsidi perumahan MBR, terutama kelompok MBR Desil 1 s.d.3.
    2. Sehingga perlu langkah nyata (kebijakan, instrumen, alokasi) mewujudkan kebijakan publik ekosistem pembiayaan mikro perumahan bagi MBR Non Formal dengan kerangka waktu (time-frame) yang terikat sebagai dokumen peta jalan (roadmap) ekosistem pembiayaan perumahan rakyat yang mengintegrasikan lembaga pembangunan dengan lembaga pembiayaan perumahan rakyat (pemerintah cq.Ditjen Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan, Pemda, bank BUMN/D dan swasta, lembaga keuangan bukan bank, BP TAPERA, PT. SMF, PT.SMI, koperasi, wakaf, CSR/CSV.
    3. Untuk meluaskan kapasitas dan akses pembiayaan perumahan MBR Non Formal, penting disegerakan langkah nyata, pemodelan, dan piloting creative financing yang berbasis teknologi digital sebagai model bisnis yang mudah, cepat, accesable, aman, dengan NSPK teruji, yang menawarkan  kemanfataan dan kenyamanan layanan  guna  mewujudkan ekosistem Pembiayaan Mikro Perumahan bagi MBR Non Formal yang menangkis efek kesulitan pembiayaan perumahan MBR Non Formal. Langkah quick-win itu penting disukseskan untuk memicu bergeraknya  pengerahan, pengelola, pemanfaatan dana murah dan jangka panjang,  dengan melakukan mainstreaming, fasilitasi, memudahkan lembaga dan sumber dana Non APBN/ABPD dari masyarakat, partisipasi dan kolaborasi dunia usaha/ industri, koperasi, sumber dana karakatif (wakaf, CSR/CSV), dan sumber lainnya.
    4. Untuk menjawab target  RPJNM tahun 2024 yakni 70% penduduk Indonesia memiliki penghunian layak, dari kondisi 2019  baru  56,75%  yang memiliki rumah layak huni dan  populasi pekerja  non formal 57%,  dengan tantangan akses terbatas (limited  acces), tidak bankable (unbankable), kesenjangan sumberdaya (lack of recources), dengan persebaran MBR Formal dengan MBR Non Formal 1 : 10, juga aturan hukum tidak efektif (uneffectiveness of the law), dan  berbagai hambatan dan kesulitan yang membebani MBR di kawasan perkotaan, maka:    perlu langkah nyata, kebijakan, instrumen, dan melembagakan  Housing System For Sustainable Urbanization. Termasuk  efektifitas fungsi kelembagaan pembiayaan mikro perumahan MBR Non Formal yang mengelola dana murah dan jangka panjang ke dalam/ melalui BP3, Bank Tanah, Perum Perumnas,  BP TAPERA, PT. SMF, PT. SMI, lembaga pembiayaan bank BUMN/D dan bank swasta, lembaga  pembiayaan bukan bank,  yang dipatok untuk melonjakkan  persebaran  perumahan MBR Non Formal mencapai target RPJMN 2024.
    5. Untuk mengatasi masalah “permukaan” tingginya backlog, rumah tidak layak huni, kawasan kumuh, dan tentunya soal “mendasar” daya beli/ daya bayar-cicil MBR dengan intervensi khusus bagi MBR Non Formal, selain mewujudkan ekosistem pembiayaan perumahan MBR,  tidak efektif jika belum  mengintegrasikan  kebijakan dan  memprioritaskan ketersediaan tanah bagi perumahan rakyat (public housing) a.k.a  perumahan MBR Non Formal pada Badan Bank Tanah dengan menajamkannya sebagai  key performance indeks Badan Bank Tanah dalam dokumen rencana induk pengelolaan bank tanah yang diamanatkan Pasal 129 ayat (4) UU Cipta Kerja dan mengayakan turunannya dari Pasal 11 ayat (1) dan (2) PP Nomor 64 Tahun 2021.

     

  • Iwan Sunito Dan Pembelajaran Bagaimana Bangkit Dari Keterpurukan

    Pengusaha kelahiran Surabaya yang merupakan CEO dan Komisaris Crown Group, Iwan Sunito, memberikan catatan pribadi awal tahun mengenai pandangannya tentang apa yang terjadi selama dua tahun terakhir. Menurutnya, pandemi Covid-19 telah membuat dirinya dan manajemen Crown Group berpikir ulang tentang strategi bertahan menghadapi gempuran yang sepertinya tak kunjung usai. Mulanya memang tak mudah. Namun, perlahan tapi pasti, Covid-19 berhasil memaksa Crown Group keluar dari zona nyaman dan membuat aneka inovasi penting yang sebelumnya tidak terpikirkan.

    “To be adaptive and try to innovate all the time” ungkap Iwan Sunito.

    “Adaptasi dan inovasi adalah sebuah keniscayaan, tinggal bagaimana diri kita sendiri, mau atau tidak  untuk berubah?”

    “Sehingga pernyataan bisa atau tidak bisa menjadi tidak lagi relevan”

    Salah satu contohnya adalah pada penghujung 2020 mereka berhasil melakukan transaksi penjualan lintas negara secara online dan real time. “Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Crown Group. Bahkan semua dokumennya di otorisasi secara e-document, sesuatu yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya,” paparnya.

    Selain menjadi lebih inovatif, Covid-19 juga ternyata tidak menghalangi Crown Group untuk tetap produktif. Situasi lockdown tidak menghalangi tim Crown Group untuk tetap aktif berinteraksi baik kepada sesama anggota tim maupun calon klien melalui pemanfaatan teknologi daring. “Bahkan produktivitas tim kami bisa lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi,” Iwan menegaskan.

    Alhasil, Iwan merasa di balik tantangan berat yang dihadirkan Covid-19, ada berkah tersembunyi sepanjang kita mau mengeksplorasinya. “Saya sendiri selalu berusaha melihat ke sisi lain yang lebih cerah, look at the brighter side. Dan kiranya cukup fair apabila kita mengatakan bahwa terkadang rintangan adalah sebuah berkah. Why? Karena dengan adanya rintangan kita bisa mendorong kemampuan kita secara optimal, push to the limit.”

    Iwan juga mengaku awalnya merasakan sulitnya memimpin sebuah perusahaan multinasional saat pandemi terjadi. Akan tetapi, ternyata kondisi itu perlahan-lahan memudar, bahkan berganti menjadi perasaan yang lebih ringan. Mengapa? “Because we trust each other,” dia menjelaskan. Dengan rasa saling percaya satu sama lain, bahkan bukan hanya pekerjaan yang menjadi lebih ringan, tim pun menjadi lebih solid dan kohesif. Awak Crown Group percaya dan yakin bahwa apa pun hambatannya, semua tantangan bisa dilalui bersama.

    Belajar dari apa yang dihadapi, Iwan merasakan tantangan yang muncul dari pandemi Covid-19 tidak selalu negatif. “Hambatan tidak lah selalu buruk. Kita mungkin terhambat sehingga harus mundur dua langkah ke belakang, namun pada akhirnya, kita mampu melakukan 10 langkah ke depan”

    Situasi saat ini, menurutnya, membuatnya teringat kembali pada tahun 2007 ketika terjadi global financial crisis (GFC) yang memaksa mereka mengambil beberapa langkah mundur. Apa yang kemudian ternyata di luar dugaan. Crown Group tumbuh eksponensial pasca GFC dan ini semua dimungkinkan karena mereka mengambil beberapa langkah mundur ke belakang, merumuskan kembali strategi awal, serta mencoba terobosan-terobosan baru untuk diterapkan. Apabila GFC pada tahun 2007 tidak terjadi, Iwan meyakini Crown Group tidak bisa menjadi seperti saat ini.

    Hal yang sama pun kini dirasakan. Di tengah suasana pandemi, Crown Group saat ini sukses menggarap proyek yang sedang dan akan dikerjakan senilai Rp50 triliun. Beberapa proyek hunian yang telah selesai dibangun bahkan terpilih menjadi yang terbaik di Australia, seperti Arc by Crown Group, Infinity by Crown Group, dan Waterfall by Crown Group.

    Pada tahun 2022 ini Iwan Sunito juga akan memperkenalkan sebuah platform investasi baru, OneCapital, yang didukung empat pilar usaha yaitu: pengembangan, ritel, hotel, dan start-up.

    Dan dalam 5 tahun ke depan kami sudah merencanakan pembangunan hunian mixed-use di Melbourne, Brisbane, Los Angeles dan mungkin di negara kelahiran saya, Indonesia,” Iwan memaparkan.

    Melihat apa yang telah dicapainya, Iwan merasa bersyukur. “Sebuah pencapaian yang mungkin beyond my wildest dream ketika pertama kali kami mendirikan Crown Group pada tahun 1996 dengan proyek hunian awal senilai Rp280 miliar,” katanya. Dia juga menyatakan ini semua tak akan pernah tercapai tanpa dukungan sebuah tim yang mampu bekerjasama dengan baik selama 25 tahun terakhir.

    “Satu hal yang sangat saya syukuri adalah saya telah dianugerahi sebuah tim yang mampu bekerja sama satu sama lainnya dalam kondisi apa pun, dan ini menjadikan kami bukan hanya sebagai satu unit yang utuh namun juga sebagai sebuah keluarga besar.”

    “Saya tidak pernah merasa ingin menjadi seorang atasan atau boss, namun saya lebih ingin dilihat sebagai seorang pemimpin untuk tim saya, keluarga saya.”

    “Menjadi seseorang yang mampu memberi dorongan moril, berfokus kepada potensi, mendengarkan anggota tim, memotivasi dan terus melakukan coaching kepada semua anggota tim”

    Filosofi ini, menurutnya terinspirasi pendiri Ford Motor Company, Henry Ford, yang mengucapkan “If someone is moving forward together, then success takes care of itself.”

    Kembali ke perjalanan selama pandemi Covid-19, Iwan meyakini di balik setiap tantangan, selalu terselip peluang. Persoalannya tinggal kembali pada mindset kita masing-masing. “Kita tidak boleh putus asa, karena persistence breaks resistance. Tetaplah solid karena keberhasilan adalah buah dari kerja keras dan keuletan yang kita lakukan selama ini, karena pelajaran terpenting kehidupan yang pernah ajarkan kepada kita adalah bagaimana bangkit dari keterpurukan serta belajar dari kesalahan,” tutup Iwan.

  • 7 Postulat Hunian Madani Berkelanjutan Berbasis Syariah*

    Di tengah gegap gemuruh  pergunjingan ihwal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjatuhkan amar putusan UU Cipta Kerja (UU CK) inkonstitusional bersyarat,  The Housing and Urban Development (HUD) Institute acap bergiat mementingkan  perumahan rakyat –yang layak, terjangkau dan berkelanjutan. Khususnya bagi masyarakat berpeghasilan rendah (MBR) yang terimbas pendemi COVID-19.

    Peduli skala tinggi pada MBR,   The HUD Institute menggelar lokakarya   ‘Pengarusutamaan Hunian Madani dan Berkelanjutan di Indonesia’, 30 Nopember 2021.  Dalam helat sehari,  lembaga  nirlaba tempat berhimpunnya pemikir, praktisi, lintas profesi dan pelaku usaha  perumahan dan pembangunan perkotaan itu menelurkan 10 rekomendasi. Dengan menggandeng  Dewan Syariah Nasional MUI, Realestat Indonesia (REI),  HIMPERRA, APERSI, Asosiasi Developer Property Syariah (ADPS), lembaga pemerintah, bank BUMN dan lembaga pembiayaan.

    Berikut ini 7 alasan mengapa perumahan madani dan berkelanjutan berbasis syariah (sebut saja “PMBS”), yang  diikat sebagai 7 postulat opini ini.

    1. PMBS itu signifikan sebagai daftar sediaan/ pasokan perumahan ke pasar hunian perumahan. Akibatnya,  sediaan perumahan  menjadi semakin ramai,  berwarna,  dan plural, sehingga pasar maupun konsumen semakin rasional dan realistis  dalam pilih-memilih  sediaan perumahan. Konsumen  bebas memilih dengan cerdas dan nyaman. Seperti alasan emak-emak mengapa pergi ke pasar “A”  bukan ke pertokoan  “B”, karena: “Di sini enak, nyaman dan banyak pilihan”.  Postulat ke-1 opini ini bahwa PMBS membuat pasar makin rasional dan nyaman.
    2. Dari data ADPS di forum The HUD Institute, dipatok ultimate objective ADPS 2025 untuk 2 (dua) hal: mematangkan model bisnis properti syariah dan program sediaan 1 juta unit properti syariah. Dengan peta proyek  (tahun 2021) total 1054 proyek, 1180 Hektar, 45 ribu unit rumah, market size (2013-2021) ditaksir 20 triliun, menyerap lebih 5.000 teaga kerja langsung dan 16.000 freelancer. Apa jurus rahasianya? Tahun 2025 ADPS menarget 1 juta unit properti syariah ekuivalen 400 triliun. Tentu dengan asumsi data ini sudah dikalibrasi dan dikonfirmasi.
    3. PMBS itu memungkinkan dan menyediakan alternatif  pembiayaan perumahan yang tidak hanya pembiayaan konvensional, namun syariah bahkan tanpa lembaga  pembiayaan/ bank. Berkaca pada ADPS yang mengusung tagline gamahripah ini:  #TanpaBank #TanpaRiba #TanpaDenda dan #TanpaSita.  Bukan berarti hendak anti bank, siapa yang tak gusar dengan  denda dan gemetar dengan sita? Takut riba? Perlu penasaran  panjang dan diskusi mengakar di luar opini alakadar ini untuk menjawab hal-ikhwal esensial itu.  Bahkan perumahan tanpa lembaga pembiayaan, memiliki akar kuat sebagai “native” bukan “alter-native” pembangunan perumahan. Periksalah konsep perumahan komunitas, pun perumahan swadaya/ swakarsa yang dinormakan dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan kawasan Permukiman (UU No. 1/2011). PMBS membuat pembiayaan makin ramai, inovatif, kompetitif menjangkau MBR.   Postuat ke-2 opini ini, PMBS mendorong  lembaga pembiayaan  makin inovatif, menyamankan MBR, atau konsumen mengucapkan “selamat tinggal”.  Apalagi di era digital,  kondite developer  terekam dalam genggaman. Sekali ‘Klik’, konsumen pun cau pergi ke toko sebelah.
    4. PMBS terhimpun dalam suatu asosiasi pengembang  yang  bergerak signifikan ke dalam ADPS  yang mengonsolidasi/ terkonsolidasi ke segenap kabupaten/ kota seluruh Indonesia, dengan proyek di 29 provinsi, 1054 lokasi di 153 kabupaten/kota.  Belum lagi pelaku pembangunan perumahan MBR yang tersebar di asosiasi besar seperti REI, HIMPERRA, APERSI. Sehingga beralasan mengarusutamakan (mainstreaming) pengembangannya yang semakin tersistem dan tumbuh massif. Tentu saja memastikan produk yang  terstandar, sehingga   bisa menjadi alibi  relasi bilateral yang setara, dan kenyamanan produsen-konsumen yang terjaga,  dan menyumbang  pembudayaan praktik good public housing governance.  PMBS berkembang karena produk terstandar, pelaku usaha menyamankan konsumen. Postulat ke-3 opini ini, merumahkan rakyat itu membangun kenyamanan sosial,  tak sekadar pembangunan fisik, dan harus dicatat: beyond transaction scheme and engineering!
    5. PMBS itu signifikan dalam mengatasi pemulihan ekonomi nasional. Jika merujuk data yang disajikan, maka sektor perumahan menyumbang pertumbuhan lebih dari yang diperkirakan, apalagi berkaitan dengan rantai pasok yang jamak dan menggeliatkan 174 jenis usaha turunan. Walau kondisi pendemi mengemas MBR, akan tetapi  “Pendemi, Pembiayaan Properti Syariah Tumbuh Eksponensial”, dengan  tantangan untuk meningkatkan skala usaha berbasis syariah,  begitu ulasan ‘Indonesia Housing’. Kelompok Tasnim  misalnya, membuka peluang pemilik lahan bahan komunitas ditarik sebagai co-develover, bukan hanya melepaskan tanahnya, tersisih dari tanahnya, dan tinggal di “kampung terjepit”. Jurus ini efektif memitigasi  sengketa pertanahan. Postulat ke-4 opini ini, PMBS membuka tabir co-developer yang berkomitmen memitigasi konflik sejak perencanaan.
    6. PMBS itu signifikan terbukti bisa inovatif dalam hal  keunggulan produk,  comparative advantages, bahkan kenyaman dalam relasi produsen-konsumen.  Sehingga merangsang  geliat  potensi pasar  yang hati-hati dan wait and see, yang terpaut hati dengan tawaran produk tampil beda dan kenyamanan bukan hanya atas  pasokan hunian  produk properti namun lebih dari sekadar layanan purna jual. Tapi purna    Pembangunan perumahan bukan transaksi sekali pakai, namun bagian dari niat mulia konsumen cerdas dan bijak mempergunakan dananya membangun keluarga bahagia.  Membangun perumahan adalah menjaga peradaban, dan itu konstitusional. Postulat ke-5 opini ini, developer tak hanya belakon bak mesin “pencetak uang”, tetapi membangun reputasi menjadi “Developer of Happy Land”, seperti ayat ke 28 dari buku ‘Ayat-Ayat Perumahan Rakyat’ (2018).
    7. PMBS itu signifikan digerakkan lebih besar, dengan melakukan scale up, yang menasional dan bersifat universal. Sebab PMBS sah sebagai bagian dari sistem pembiayaan perumahan, pembiayaan  perumahan MBR versi UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera)  dan bagian dari keutamaan  ekonomi syariah untuk mengungkit kesejahteraan ekonomi bangsa Indonesia.  Kalau ADPS bisa bergeliat menjadi mesin pembangkit pemulihan ekonomi nasional di sektor perumahan rakyat, mengapa tidak untuk mesin baru bernama BP Tapera –yang memungkinkan pembiayaan syariah—  yang lebih murah dan menjangkau semua lapis MBR? Ingat, UU Tapera itu mandatory UU No. 1/2011  yang menganut asas perumahan layak dan terjangkau. Dengan mengarusutamakan PMBS ke dalam ekosistem perumahan rayat?  Bagian penting dari ”omnibus” perumahan rakyat.  Postulat ke-6 opini ini, sahih dan bertenaga memosisikan  PMBS bagian dari ekosistem perumahan rakyat.

    Dengan data dan pelajaran dari PMBS  diatas,   terbangun relasi developer-konsumen dengan  kenyamanan, madani, dan berkelanjutan. Yang diyakini dan  diprediksi mampu menekan konflik produsen-konsumen yang acap tercatat rangkin teratas sebagai  pengaduan konsumen  di badan perlindungan konsumen nasional. Yang bahkan berbuntut pada merebaknya gugatan PKPU dan kepailitan developer. Yang bahkan menyasar developer skala kota mandiri.   Bukan hanya kepintaran  menjual, namun kenyamanan-lah yang mengikat  loyalitas konsumen. Rawatlah itu. Jangan ugal-ugalan kepada konsumen. Saya percaya watak asli developer   membangun kenyamanan. Postulat ke-7 opini ini, bisnis properti adalah rantai  usaha yang panjang, berkelanjutan, bergenerasi. Bukan arena  hit and run. Tak zamannya lagi!  Perlu jurus yang “omnibus”  menyamankan  konsumen. Itu berkah dan dahsyat.  Tabik.

    *Tulisan Ini merupakan pendapat pribadi penulis

  • Masyarakat Menanti Realisasi PBG Pengganti IMB*

    Pemerintah menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menggantinya dengan Persetujuan Bagunan Gedung (PBG). Hal ini diatur dalam aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

    Berdasarkan PP No.16/2021, aturan terkait PBG ini mulai berlaku pada 2 Februari 2021. Namun hinggga kini realisasinya sepengetahuan saya belum ada. Beberapa permohonan PBG menjadi terkendala dalam pelaksanaannya.

    UU Cipta Kerja diharapkan dapat memberikan banyak kemudahan sehingga semakin menyejahterakan. Hukum yang menyejahterakan seyogyanya tidak saja harus memenuhi persyaratan sebagai hukum modern tetapi juga tidak berhenti pada pembuatan produk perundang-undangan.

    Guru besar Hukum Bisnis USU, Almarhum Prof. DR. Bismar Nasution, SH pernah mengutip penelitian Burg’s tentang hukum modern. Hukum modern itu katanya bercirikan stability, predictability dan fairness. Stability berarti hukum menjaga keseimbangan antara berbagai kepentingan. Predictability dimaksudkan hukum harus bisa diprediksi. Dan satu lagi yang penting hukum harus fairness atau adil.

    Dalam perspektif hukum modern, UU Cipta Kerja ternyata masih menyisakan persoalan. Dalam perijinan PBG menggantikan IMB misalnya  aturan ini ternyata belum berlaku efektif sebagaimana tanggal diundangkan. Sehingga aturan ini masih belum teruji  pelaksanaannya untuk dapat dikualifikasi sebagai hukum modern.

    Bagaimana persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi permohonan PBG ? Apa sebenarnya kendala yang dihadapi untuk pelaksanaannya ? Dan sampai kapan kendala ini bisa diselesaikan ?  Ketiganya merupakan  pertanyaan aktual yang membutuhkan jawaban.

    Apabila jawabannya tidak jelas maka kemudahan investasi amanat dalam UU Cipta Kerja masih sekedar harapan. Pengembang properti kini berada dalam penantian yang belum pasti. Sementara  kebutuhan properti bagi masyarakat MBR tidak pernah berhenti.

    *). Juneidi D Kamil, Praktisi Hukum Properti dan Perbankan

  • Menyoal Sengketa Lahan Rocky Gerung Vs Sentul City*

    Sengketa lahan antara Rocky Gerung dengan sebuah korporasi kini menjadi pusat perhatian. Sengketa ini dapat mewakili banyak sengketa serupa yang tidak sedikit menyisakan nestapa. Bagi seorang Rocky Gerung, peristiwa ini diabstraksikan lebih jauh.

    Gustav Radbruch adalah seorang ahli hukum dan filsuf hukum Jerman membuat teori 3 (tiga) nilai dasar hukum. Berdasarkan pandangan ini, sengketa lahan yang berlangsung bukan hanya persoalan nilai kepastian hukum tetapi juga soal nilai kedilan dan nilai kemanfaatan.

    Benar pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum. Dan sertipikat hak atas tanah merupakan alat pembuktian yang kuat. Meskipun demikian berdasarkan hukum Agraria, sertipikat bukan merupakan satu-satunya alat bukti. Sertipikat hak atas tanah dapat dibatalkan.

    Dalam beberapa kasus sertipikat hak atas tanah dibatalkan karena cacat hukum. Sertifikat hak atas tanah cacat hukum dapat berupa sertipikat palsu, sertipikat asli tetapi palsu dan sertifikat ganda.

    Berdasarkan perspektif inilah mungkin membuat Rocky Gerung tidak pernah murung. Bahkan menjadikan sengketa ini menjadi pintu masuk untuk membedah lebih jauh perilaku korporasi. Rekam jejak aktivitas bisnis korporasi akan semakin mengemuka dalam pemberitaan.

    Ya, besar kemungkinan penyelesaiannya akan menempuh perjalanan panjang. Korporasi sebaiknya menghitung ulang pro & cons dalam menempuh cara penyelesaian. Patut dipertimbangkan langkah non litigasi berupa mediasi dalam penyelesaiannya.

    *). Juneidi D Kamil, Praktisi Hukum Properti dan Perbankan

  • Pohon Parlente Merdeka di Taman Emas

    Awalnya saya heran. Setakat itu hari ahad, 26-01-2020 di KL, Tuan Haji Mohammad Sahar bin Mat Din,  kolega pengerusi AWQAF –satu badan wakaf korporat– mengajak melalak ngopi sore.  Bertandang  khusus ke The LINC –satu  mall knockdown– yang bangunannya dapat dirakit dan dibongkar lagi seperti  lemari. Mall itu kedai biasa tetapi memukau tersebab tabah menjaga hijau.

    Seakan Tuan Haji hendak berujar, tengoklah, “pohon tua yang terjaga dan dilestarikan”. Tak menebang pohon berbuah  –di masa perang dengan musuh sekalipun– adalah sunnah!

    Pohon yang bertuah dan perkasa itu men-download ribuan kesan. Menggugah “pohon” intelektual saya. Heran juncto penasaran ialah pemicu terbit sains baru. Heran kepada pohon yang parlente. Yang dikawal konstruksi  bertulang. Kokoh menjulang. Tidak diusik. Dipagari apik. Dibiarkan tumbuh berterusan dan harmoni cantik. Saya selfie beberapa petik.

    Dengan mall, pohon tak beradu gelanggang. Pun tetamu datang bertambah senang. Rombongan The HUD Institute yang mendatangi The LINC KL, pun enjoy, sumringah senang.

    “Take a breath. Take a break. And take your time to enjoy, explore and get inspired by a retail experience set in one of Kuala Lumpur’s last green areas”.

    Begitu ajakan juncto bujukan bertandang ke sana, versi  website resminya, https://www.thelinckl.com.my

    Tagline The LINC KL: ‘Staying Real, Naturally’. Tak hendak tidak natural. Seakan membuat alibi, lingkungan dan mesin ekonomi tak berlaga di sini. Letak “portable mall” itu di 360 Jalan Tun Razak, Taman U Than, KL. Bukan sembarang kawasan ruang. Ruang taman emas yang mahal dan terkenal.

    Petang 2020 itu kami ringan nge-LINC tak sekadar nge-mall. Malah bergerombol secara bijak. Ibarat pohon, alahai dahan, ranting, dan buahnya  banyak. Begitulah metafora percakapan bernas kami, pun begitu rentak gelaknya lebih banyak lagi.  Subyek diskusinya: “rental economic”. Begitu Tuan Haji Mohammad Sahar Mat Din, vice President AWQAF –kolega kental Zulfi Syarif Koto alias Pak HUD– menyebut sebuah istilah yang menghentak pangkalan pikiran hukum saya.

    Model bisnis antara pemilik tanah dan tegaknya mall bertitel The LINC KL ini adalah contoh konkrit dari model bisnis “rental economic”,  yang diulasnya sambil mereguk kopi di kedai bermerek Ben’s.

    Kami membeli kopi. Menyewa tempat. Plus meja dan kursi, dan panorama real naturally. Bukan membeli mall, dan menyewa kopi.

    Sesi sembang-sembang ikhwal jurus ekonomi yang menjaga ko-eksistensi, pun makin perkasa berisi. Saling menjaga tak saling menegasi menjadi ciri.

    Encik Sahar membuat dalil menantang ikhwal ekonomi perumahan di perkotaan:  Sewa saja! Tak perlu beli. Lebih cuan sewa dari beli, karena harga ruang mahal.

    Analoginya, apa perlunya membeli kebun kopi untuk mereguk setangkup kopi gayo long berry? Karena perumahan kota itu makin mahal, beli secara kredit  hanya mengayakan bank. Sinonim  ribawi, kata Tuan Haji bernarasi.

    Hasrat ekonomi dan proteksi hukum bisa klik. Tersambung ruas dengan lingkungan hijau lestari apik. Nyata. Lingkungan hijau menjadi tatabahasa mesin ekonomi. Menjadi new life style, pun shari’e.

    Buatlah aturan yang ‘Staying Real, Naturally’.  Usah risau, sewa saja lawyer prohijau –dan segenap pendukungnya– yang peduli kepentingan ekokogi publik.  Agar alam lestari apa adanya. Lingkungan juga punya legal standing.

    Seperti iradat nama kedai kopi ini: Ben’s. Ada yang tau arti kata ‘Ben’ bahasa Jawa? “Yo wes ben”, artinya membiarkan orang lain atau suatu kondisi tetap apa adanya. Tanpa campur tangan. Tanpa mengusili kondisi atau orang pribadi.

    “Yo wes ben”, biarkan mesin ekonomi dan lingkungan hijau dalam  ko-eksistensi & ko-laborasi.

    Di The LINC KL, kami sewa meja dan  kedainya. Kopinya jangan sewa. Beli dan nikmati sampai tetes terakhir. Rental economic of urban housing, merasuk enjoy ke pohon pemikiran patik,  semudah mereguk kopi.

    Esoknya, Senin, 27-01-2020, The HUD Institute tandang belajar ke Islamic Finance Landscap ke firma ‘Salihin’, bossnya Encik Salihin Abang, Managing Partner Founder yang juga Tresury General Dewan Perdagangan Islam Malaysia. Naik ke aula kantornya yang berinterior syar’ie yang memberi kesan wah, alas kaki sepatu musti dilepas tinggal di bawah.

    Majelis dimulai. Banyak diskusi. Saya belajar dan membatin. Saya ajukan satu pertanyaan renungan ke Encik Salihin Abang,  akankah ekonomi shariah prohijau menjadi life style? Seperti tren menanam pohon, mengakui legal standing,  dan menjadilannya “keluarga”.

    Tak membabat pohon parlente yang merdeka bertumbuh dan berbuah itu, berarti menjaga lingkungan alami dan shari’e. Naturally itu shari’e. Pun demikian, bershariah itu berkah yang staying real, naturally, dan parlente merdeka di Taman Emas. Merdeka!!! Tabik.

     

  • Secure Tenure Rapihkan Kumuh Kota?Segerakan UU Perkotaan, UU Realestat, Dan …..

    Sudah berapa lama negeri ini dan warga masyarakatnya lahir, hidup, eksis, tumbuh, cari maka  dan berkegiatan dan bertumpu di kota? Namun sampai sekarang tanpa UU Perkotaan.

    Rasakan dan gelutilah masalah kota kini yang sudah akut,  dan mendesak diatasi. Tak hanya tambal sulam namun mendasar,  berkeadilan dan pasti. Termasuk soal Secure Tenure untuk memastikan hunian yang berkeadilan dan tentu layak ditinggali bukan hanya terjangkau dibeli.

    Aturan Secure Tenur dinilai tak ada, itu bukan salah UUPA  yang orisinal intennya cenderung ke agraris, bukan cenderung ke kota. Tak ada konsep dan diksi kota dalam UUPA

    UUPA hanya menjamin hak atas tanah, dan peruntukannya untuk “abc-fgh”, namun tidak ada persediaan, peruntukan, penggunaan untuk perumahan, permukiman dan perkotaan dalam UUPA. Padahal kua teknis dan historis, perumahan adalah mosaik utama pembentuk kota.  Beda dengan peruntukan bagi, misalnya perkebunan, pertanian, yang dibunyikan eksplisit sebagai norma aturan dalam Pasal 14 ayat 1 UUPA.

    Lebih lagi memang  karena tidak ada UU Perkotaan. Bukankah sudah watak dan cara pemerintah subsider birokrasi yang bekerja berdasarkan apa yang ada aturan –yang disuruhkan. Bukan bekerja atas apa yang boleh dan tak dilarang. Begitu kaidah bekerjanya birokrasi walau ada diskresi atau freis ermessen dengan syarat rechtmatigeheid dan doelmatigeheid.

    Berikut ini lain-lain alasan yang tak kalah penting perlunya sepaket UU yang mengeliatkan Housing and Urban Development termasuk Secure Tenur, namun bukan terbatas hanya UU Perkotaan, yakni:

    (1) Diatas tanah semua ada dan bertumpu: perkebunan, pertanian, hutan, lingkungan, bangunan gedung, infrastruktur jalan, trotoar, jalur peseda, stasiun kereta, baliho, iklan (bahkan iklan rokok).

    Tentunya pada ruang kota pasti ada  perumahan (bahkan di lingkaran inti kota),  pertokoan mewah, kedai kopi,  lalu lintas jalan, stadion bola, masjid, sekolah dan  juga monumen landmark kota, tugu peringatan, patung pahlawan, tugu pemberian negara bersahabat, dan segala macam karya peradaban, yang dinikmati demi kenyamanan sebagian besar warga yang beraktifitas di kota dan perkotaan

    Namun dan akan tetapi tak ada pengaturan dengan UU Perkotaan. Ajaib kan?

    (2) Kota yang ada sekarang ada ialah kota dari zaman ke zaman, yang masib ada dan bernama kota lama yang dibangun kolonial Belanda dan tak bisa dibawanya pulang.

    Juga ada dan menggejala kawasan  permukiman yang  bertumbuh mengkota menjadi perkotaan. Ada juga kawasan baru dibangun sistematis, megah dan mahal menjadi “kota baru” atau sebut saja new town walau ada pada tepian kota bahkan tepian jamak kota.

    Pun aliran uang berputar terbesar dari dan di kota, konsumsi listrik paling dominan di kota, arus lintasan penduduk bergerak ke kota sebagai perantau,  komuter,  urbanisasi, metropolitanisasi, bahkan tak terbantak kriminalitas masih ada.

    Juga, untuk sang  kota dan kita, maka berkembanglah profesi urban planner, perencana, developer, bahkan REI dimulai dari ibukota Jakarta,  sehingga tersebab itu kota termasuk zat buatan paling diperlukan manusia.  Demi mengurusi kota maka makin berkembang kota sebagai basis kemajuan sains dan profesi,  bahkan  paradigma pembangunan yang mencuatkan visi Housing and Urban Development (HUD paradigm).

    Juga, mesin ekonomi tumbuh di kota menjadi urban economics yang riuh dan menjanjikan.  Kota tak hanya jalan panjang dan pangkalan hunian. Kota tak hanya layanan (services) namun episentrum segala pertumbuhan. Namun, ajaibnya kita masih betah bertahan tanpa UU Perkotaan. Lebih lagi lita lupa dulu Belanda dan rezim awal negeri ini dibangun telah ada gagasan RUU Bina Kota yang mengatur hal ikhwal kota, tak hanya soal organisasi kuasa kota belaka.

    (3) Era moderen, dimana Indonesia 100 tahun 2045 kita butuh kota ditata moderen dan berbasis hukum kokoh  agar tak ada lagi — setidaknya terjawab–  kritik berulang dan berbilang pegiat HUD subsider pak Jehansyah Siregar.

    Membangun kota bukan hanya penjumlahan bangunan. Bangunan bukan pula hanya fisiknya saja. Kota dibangun dengan visi,  paradigma dan ilmu bahkan  profesinya demi memanusiakan manusia. Karena diisi manusia dan warga, dimana perumahan sebagai mosaik utama pembentukan kota,  bukan hanya perkantoran, pasar, dan jalan saja.

    Kota juga perlu bernafas dan berteduh, asri sehingga layak huni dan hijau, yang diisi penghuni manusia yang beragam rupa, berdaya, beradab, dan smart. Kota bukan hanya otoritas kota. Sebab itu kota dan warganya, juga masyarakat, dunia usaha, pemerintah, membutuhkan UU Perkotaan. Yang melengkapi  UU No. 1 Tahun 2011 (UU PKP) dan UU Rumah Susun.

    Membangun kota perlu paradigm, ilmu, teknik, teknologi dan profesional  serta melindungi konsumen dan masyarakat.  Sebab itu UU PKP, UU Rumah Susun, UU Bangunan Gedung, UU PA, bahkan UU Cipta Kerja, tidak memadai. Sepaket dengan perlunya UU Perkotaan,  saya mendorong UU Realestat.

    (4)  Karena semua yang ada diatas tanah yang sudah diatur UUPA, dimana tanah merupakan  hak menguasai negara, ada peruntukan,  titel haknya, dan ada wewenang pemerintah dalam persediaan, peruntukan,  penggunaan tanah versi Pasal 14 ayat 1 UUPA. Namun UUPA tak ada menyebut persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk perumahan dan permukiman.

    Inilah kausal mengapa tak ada jaminan persediaan tanah bagi perumahan rakyat, walau dalam pengaturan persediaan tanah dalam UU PKP, namun tidak dalam UUPA.

    Jangankan untuk perumahan warga masyarakat yang menempati tanpa sertifikat tanda bukti hak (kalau untuk lahan pertanian disebut penggarap), persediaan tanah untuk perumahan saja belum pasti sebagai kebijakan rencana persedian pun alokasi dalam UU. Artinya,  terkonfirmasi bahwa secara hukum belum ada Secure Tenur, padahal itu hak substantif dan kebutuhan dasar  jika mengacu konstitusi Pasal 28H ayat 1 UUD 1945.

    Padahal jaminan hak perumahan itu adalah diakui universal sebagai hak substantif yang mendasar. Analog seperti hak atas pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan –dalam keadaan apapun–   bahkan sedia  obat, dokter dan rumahsakit.

    (5) Masyarakat, dunia usaha, Pemerintah, bahkan negara membutuhkan “hukum prosedural” mengkonkritkan hak substantif bermukim alias secure tenur yang nota bene hak konstitusi itu. Seperti halnya hukum materil butuh hukum formil. Seperti KUHP dijalankan dengan KUHAP. 

    Sebab itu perlu ada UU yang memudahkan, aturan  prosedural memastikan tegaknya Secure Tenur cq. hak bermukim juncto hak perumahan itu.

    Usul saya perlu pengaturan UU yang memastikan tatacara persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk perumahan dan perkotaan yang menjadi National Grand Policy on Public Housing yang menjadi mandat, wewenang dan sekaligus tata kelola (governance) untuk melaksanakan hak substantif atas hak bermukim cq.hak perumahan yang merupakan hak konstitusional itu.

    Jadi juga perlu  didorong Good Agrarian Governance, melengkapi Good Governance, yang mengikuti dan kompatibel dengan agenda Reforma Agraria Perkotaan.

    Tak cukup dengan UUPA, tak memadai dengan UU Cipta Kerja Jo. PP Bank Tanah, sebab tidak ada wewenang materil dan formil badan bank tanah dalam PP 64/2021 menjawab dan intervensi Secure Tenur yang mandatnya bersumber dari konstitusi. Sebab ada gap institusional pun dalam analisa hirarkhi norma.

    Sekali lagi, tak bisa dengan Badan Bank Tanah yang hanya operator tak bisa mengambil alih wewenang BPN.

    Badan baru hasil dari UU Cipta Kerja tak bisa menjalankan kekuasaan pemerintahan dalam bidang pertanahan yang dipegang Presiden –dan dilaksanakan Menteri Agraria/Kepala BPN– sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan amanat konstitusi.

    Lagi pula, Badan Bank Tanah hanya berwenang membuat perencanaan induk untuk melayani ranah urusannya sendiri, karena itu tak valid menjangkau, melayani dan menjawab soal mendasar  Secure Tenur.

    Dari 5 (lima) narasi dan justifikasi itu perlu sepaket UU Perkotaan, UU Realestat dan UU mengatur penyediaan tanah bagi HUD. Tabik.

Back to top button