Aktual

  • REI: Pemulihan Industri Properti Butuh Kebijakan Extraordinary

    JAKARTA, KORIDOR Industri properti selama ini telah berperan penting di dalam mendorong perekonomian nasional. Namun sejak merebaknya virus Covid-19 kondisi industri ini sangat memprihatinkan, dimana penjualan menurun drastis dan banyak pengembang terancam gulung tikar. Karena itu, dibutuhkan kebijakan luarbiasa (extraordinary) untuk menyelamatkan industri properti nasional.

    Selain membawa multiplier effect terhadap hampir 175  industri ikutan lain, keseluruhan pekerja yang terlibat di industri ini diperkirakan mencapai 30,3 juta orang, sehingga signifikan bagi struktur ekonomi nasional. Di sisi lain, industri properti memiliki 90% kandungan material lokal, bahkan 100% kandungan lokal untuk rumah sederhana bersubsidi.

    Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan supaya industri properti nasional tetap terjaga keberlangsungannya.

    “Dampak Covid-19 membawa implikasi besar bagi industri properti nasional. Penjualan yang turun drastis dan ancaman pailit menjadi salah satu kemungkinan pahit yang bisa terjadi sewaktu waktu. Karenanya extraordinary effort menjadi kunci supaya sektor properti dapat bertahan menghadapi era panjang pandemi Covid-19  ini,” ujar Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida pada acara webinar bertema “Akselerasi Pemulihan Properti: Mencari Kebijakan Properti yang Extraordinary” di Jakarta, Kamis (23/7/2020).

    Saat ini, ungkap dia, industri properti merasakan dampak yang sangat besar dimana untuk subsektor hotel tingkat hunian (okupansi turun) sudah turun 90%, penyerapan ruang ritel/mall anjlok 75%, penyerapan perkantoran turun 74,6%, dan penjualan rumah komersial anjlok 50%.

    Meski sekarang sudah memasuki masa penerapan “new normal” namun tidak memungkinkan perusahaan properti untuk mencapai revenue seperti masa normal sebelum Covid-19 merebak. Menurut Totok, rata-rata revenue perusahaan maksimal hanya 50% dari kondisi normal. Sementara perusahaan tetap dibebani kewajiban yang sama seperti di masa normal sehingga dikhawatirkan banyak perusahaan yang akan kolaps.

    “Masalahnya kondisi ini tidak pasti kapan akan berakhir, mungkin bisa sampai 2-3 tahun ke depan. Untuk itu, kami dari REI menyambut baik restrukturisasi dan relaksasi yang dilakukan pemerintah, meski faktanya implementasi berbagai kebijakan tersebut belum optimal,” ungkap Totok.

    Paulus Totok Lusida, Ketua Umum DPP REI

    Supaya kebijakan relaksasi dapat benar-benar dirasakan oleh industri nasional, maka REI berharap pemerintah menerapkan kebijakan yang tidak biasa dan luarbiasa (extraordinary) khususnya bagi sektor properti yang meliputi kebijakan perbankan, ketenagakerjaan, pajak, retribusi, perizinan dan energi.

    Diskusi daring diprakarsai DPP REI ini diikuti juga oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil dan Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Eko Heripoerwanto yang mewakili Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.

    Hadir pula sejumlah pengembang besar nasional dan senior REI antara lain Pendiri Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma, CEO Lippo Group James Riady, Direktur Utama PT Intiland Development Tbk Hendro Gondokusumo, CEO/Executive Director Sinarmas Land Muktar Widjaja, dan Direktur PT Ciputra Development Tbk Budiarsa Sastrawinata.

    Selain itu ada Direktur PT Summarecon Agung Tbk Herman Nagaria, Direktur Utama PT PP Properti Tbk Taufik Hidayat, Presiden Direktur PT Pakuwon Jati Tbk Stefanus Ridwan, dan Direktur Utama Perum Perumnas Budi Saddewa.

    Kepemilikan Properti Asing

    Taipan Sugianto Kusuma mendorong pemerintah untuk memberikan kemudahan pembelian properti bagi pasar asing guna mendorong geliat industri properti, penggunaan bahan lokal dan penyerapan tenaga kerja.

    Apalagi kabarnya Presiden Jokowi sudah memberi deadline bahwa akhir Agustus 2020 warga negara asing (WNA) sudah bisa membeli properti di Indonesia.

    “Diharapkan hal itu benar-benar dapat diselesaikan karena sudah banyak yang menunggu-nunggu,” ujar taipan yang kerap disapa Aguan itu.

    Dia pun berharap Indonesia dapat memberikan kemudahan untuk mendapatkan citizen pass, PR atau longstay/multiyear visa bagi warga asing yang memiliki properti di Indonesia seperti yang juga diberlakukan di Malaysia, Singapura atau Thailand. Dengan begitu, Indonesia akan menjadi lebih menarik apalagi Indonesia sedang gencar menarik masuknya investasi asing.

    Hal senada diungkapkan Muktar Widjaja yang menyebut kepemilikan properti asing tidak perlu terlalu dirisaukan, karena rumah atau unit apartemen tidak bisa dibawa keluar dari Indonesia. Menurut dia, kemudahan membeli properti bagi warga asing di Indonesia dipastikan akan mengairahkan kembali pasar properti nasional.

    “Pasar properti nasional harus didorong supaya lebih cepat pulih, apalagi akibat dampak Covid-19. Sekarang industri ini sudah batuk-batuk sehingga perlu diobati segera, karena nanti kalau sudah bangkrut susah bangkitnya,” kata Muktar.

    CEO Lippo Group, James Riady menyebutkan bahwa realestat adalah tulang punggung ekonomi bangsa. Untuk itu, beberapa hal perlu dilakukan pemerintah untuk mendorong sisi permintaan antara lain dengan membuka dan memberi kemudahan bagi warga asing untuk membeli properti di Indonesia.

    “Kita berharap supaya orang asing bisa membeli properti di sini, sehingga ada permintaan yang mampu mendorong pasar kembali bangkit. Kalau kemudian hari nanti pasar orang asing ini sudah terlalu hot misalnya, ya bisa saja dibatasi kembali,” kata James.

    Menanggapi harapan pelaku industri properti, Menteri Sofyan Djalil menyebutkan bahwa pemberian izin bagi warga negara asing  untuk membeli properti di Indonesia akan dimasukkan dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja (omnibus law) yang rencananya sebelum akhir Agustus 2020 sudah disahkan.

    “Saya dari dulu berpendapat asing itu boleh saja beli, apa saja beli, kan barangnya tidak bisa dibawa ke luar negeri, justru mereka bawa duitnya ke dalam. Karena masalah ini stakeholder banyak dan kita sekarang memasukannya ke dalam RUU Cipta kerja, yang rencananya sebelum akhir Agustus sudah bisa disahkan,” ungkap Menteri Sofyan.

    Namun, diingatkannya RUU Cipta Kerja harus berjalan dan semua pihak harus memiliki kesepahaman yang sama dahulu sehingga tidak muncul kesalahpahaman. Jangan sampai setelah disahkan nanti dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan di-judicial review lagi.

    “Masalah kepemilikan properti asing akan diatur lebih simpel dan lebih baik. RUU Cipta Kerja ini sangat penting, sehingga diharapkan mampu mengatasi berbagai kendala bisnis di lapangan termasuk di industri properti,” papar Menteri Sofyan.

    Dalam RUU Cipta Kerja akan diatur bahwa satuan rumah susun di atas HGB dapat dimiliki warga lokal dan asing, sedangkan untuk rumah tapak bagi warga asing akan diberikan hak pakai dengan syarat rumah baru dan ada pembatasan harga. (*)

  • Pakar Hukum Agraria Sebut RUU Cipta Kerja Inkonsisten

    JAKARTA, KORIDOR – Pemerintah telah menyerahkan naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ke DPR RI pada 12 Februari lalu. Aturan “sapu jagad” ini diyakini akan membawa dampak besar terhadap hampir seluruh dunia usaha termasuk industri properti. Salah satunya menyangkut regulasi di bidang pertanahan.

    RUU Cipta Kerja memiliki 11 klaster yang menyentuh hampir 79 undang-undang dan mencakup 1.203 pasal yang dianggap menghambat investasi. Dari jumlah klaster tersebut, empat diantaranya berkaitan dengan aspek pertanahan dibawah koordinasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN).

    Namun, menurut Guru Besar Hukum Agraria FH-UGM, Prof DR  Maria SW Sumardjono, apa yang disentuh RUU Cipta Kerja sangat banyak dan sangat melelahkan untuk dicermati. Selain itu, Maria menilai banyak hal yang inkonsisten di dalam RUU Cipta Kerja sehingga membingungkan masyarakat.

    “Saya menengarai banyak hal yang inkonsisten di situ, dan tentu saja melanggar syarat formil dan informil dalam penyusunannya,” tegas Maria dalam webinar yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) bertema “Dampak Penyederhanaan Regulasi dan Perizinan Bidang Terkait Pertanahan dalam RUU Cipta Kerja” belum lama ini.

    Setelah mencermati isi RUU Cipta Kerja, Maria mengaku tidak heran kalau masyarakat menjadi kaget dengan RUU tersebut karena kental sekali nuansa sentralistik, sehingga sangat mungkin tafsir RUU akan membuat monopoli pemegang kekuasan yang justru berdampak negatif terhadap iklim investasi.

    Tunda Pembahasan

    Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu mendesak tegas supaya RUU Cipta Kerja ditunda dulu pembahasannya untuk dipikirkan secara jernih dan disusun ulang bersama-sama ketika kondisi bangsa sudah sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19 yang memporak-porandakan semua sendi dan tata kehidupan bangsa.

    Beberapa poin kritiknya dalam RUU Cipta kerja yang terkait bidang pertanahan antara lain.

    Pertama, RUU Cipta Kerja dinilai telah gagal dalam memaknai dan mewujudkan “penyederhanaan” regulasi dan perizinan dengan menyederhanakan persoalan menjadi pemangkasan atau penghapusan syarat-syarat esensial dari UU asalnya tanpa alasan yang jelas. Tidak ada ada kriteria tentang apa dan mengapa suatu syarat dihapuskan dan bagaimana dampaknya terhadap pihak-pihak terkait.

    “Filosofi, konsepsi, prinsip dan asas dalam UU asalnya dinafikan begitu saja hanya demi tujuan mempermudah investasi,” ujar Maria.

    Kedua,  penyusun RUU tidak berpikir secara sungguh-sungguh mencari solusi pemecahan masalah yang tidak terselesaikan oleh UU asal. Akibatnya, RUU Cipta Kerja berpotensi rentan atau bahkan melanggengkan konflik sehingga tidak mampu memberikan keadilan kepada masyarakat terutama kelompok rentan seperti petani, masyarakat hukum adat, masyarakat yang hidup di sekitar wilayah kegiatan usaha sumber daya alam dan sebagainya.

    “Penyusunan peraturan secara reaktif dengan pendekatan praktis-pragmatis berpotensi tidak dapat diimplementasikan karena walaupun dipaksakan, secara sosiologis akan ditolak oleh masyarakat,” kata Maria.

    Dia memberi contoh penghapusan pedoman penetapan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan seperti diatur dalam Pasal 14 Ayat 2 UU No 39 tahun 2014 tentang  Perkebunan, dan justu menyerahkan pengaturannya  dalam PP tanpa rambu –rambu yang jelas.

    Dikatakan Maria, kebijakan tersebut akan memperlebar jurang keadilan antara pihak yang kuat dengan pihak yang lemah posisi tawarnya, serta meniadakan fungsi pengawasan dari negara dalam penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam sesuai amanah Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.

    Selain itu, dalam RUU Cipta Kerja juga disebut tentang penghapusan jenis-jenis sanksi administratif (denda, penghentian sementara dari kegiatan usaha, dan atau pencabutan Usaha Perkebunan) seperti diatur dalam Pasal 18 Ayat 2 UU No 39 tahun 2014, dan menyerahkan pengaturannya dalam PP tanpa rambu-rambu jelas.

    Menurut Maria, ketentuan ini merupakan cek kosong dan semakin menunjukkan bahwa negara tidak mempunyai fungsi pengawasan.

     

     

     

  • Danau Toba Jadi Global Geopark, Ini Tanggapan Pemerintah

    JAKARTA, KORIDOR – Kaldera Toba atau yang lebih dikenal sebagai Danau Toba ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark (UGG) pada Sidang ke-209 Dewan Eksekutif UNESCO di Paris, Prancis, Selasa, 2 Juli 2020.

    Kaldera Toba berhasil masuk daftar UNESCO setelah dinilai dan diputuskan oleh UNESCO Global Geoparks Council pada Konferensi Internasional UNESCO Global Geoparks ke-IV di Lombok, Indonesia, pada 31 Agustus-2 September 2019.

    Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/KaBaparekraf) Wishnutama Kusubandio menyambut gembira penetapan Danau Toba di Sumatera Utara sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark.

    Menurut dia, Danau Toba yang menjadi salah satu destinasi pariwisata super prioritas telah tersertifikasi tingkat dunia sehingga Danau Toba akan semakin terkenal di level dunia dan yang terpenting memberi manfaat bagi masyarakat setempat.

    “Yang terpenting lagi, Danau Toba bisa menjadi sumber pendapatan untuk masyarakat sekitarnya. Danau Toba memiliki peranan penting dalam menopang sektor pariwisata nasional,” ujar Wishnutama dalam pernyataannya.

    Menparerkaf menjelaskan, melalui pengembangan geopariwisata yang berkelanjutan diharapkan akan membuat masyarakat setempat memiliki peluang untuk meningkatkan budaya, produk lokal, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.

    Penetapan tersebut juga memberi tanggungjawab bagi Indonesia untuk mendorong pengembangan perekonomian dan pembangunan berkelanjutan di kawasan sekitar Danau Toba.

    Ekonomi Kreatif

    Wishnutama berkomitmen meningkatkan potensi wisata di kawasan Danau Toba, antara lain dengan mendorong pengembangan ekonomi kreatif  yang ada dengan membangun creative hub.

    “Creative Hub menjadi wadah bagi pelaku kreatif lokal di destinasi pariwisata super prioritas untuk memaksimalkan potensi masyarakat, melalui kegiatan seperti workshop, showcase, event kreatif mingguan, dan sebagainya,” kata dia.

    Dijelaskan, creative hub ini nantinya diharapkan dapat meningkatkan kualitas serta kesejahteraan dari para pelaku industri kreatif yang ada di sekitar Danau Toba seperti para pengrajin suvenir, seniman, pengusaha kuliner, dan fotografer. Selain itu, creative hub ini juga diharapkan dapat meningkatkan minat wisatawan untuk datang ke Danau Toba.

    “Pariwisata harus bisa menyejahterakan masyarakat setempat, tidak boleh hanya menjadi penonton. Apalagi  Danau Toba telah ditetapkan menjadi salah satu dari lima destinasi pariwisata super prioritas,” ungkap Menparerkaf.

     

     

  • Terjepit Pajak, Pengembang di Papua Menjerit

    JAKARTA, KORIDOR – Inilah nasib pengembang rumah subsidi yang sudah sukarela membantu memenuhi tanggungjawab pemerintah dalam menyediakan hunian rakyat. Sudahlah kuota KPR FLPP dijatah, pengembang juga harus menanggung beban pajak termasuk pajak daerah yang makin menghimpit. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Parah ya.

    Pengembang di Provinsi Papua misalnya, saat ini “dihantui” dengan kebijakan pemerintah daerah yang kelihatan enggan memberikan keringanan (stimulan) pajak bagi konsumen rumah subsidi. Rendahnya kepedulian pemerintah daerah terhadap program rumah subsidi di daerah paling timur Indonesia itu menghadapi banyak kendala.

    Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Papua, Nelly Suryani memberi contoh kebijakan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 0% dan Pajak Penghasilan (PPh) Final menjadi 1%,  hingga saat ini belum terealisasi di Papua. Padahal, stimulan tersebut bisa menekan biaya yang ditanggung masyarakat sekitar Rp 20 jutaan, sehingga cukup membantu meringankan keterjangkauan masyarakat.

    “Namun sampai saat ini stimulan tersebut belum direalisasikan oleh pemda-pemda di Papua,” ujar Maria, demikian dia akrab disapa, saat dihubungi.

    Sebagian besar pemda di Papua justru menetapkan retribusi hingga 5% atau setara Rp 9 juta-an untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dibebankan kepada masyarakat. Padahal besaran 5% itu adalah besaran maksimal, sehingga pemda sebenarnya dapat menetapkan persentase di bawah 5%. Sayangnya keringanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu tidak diberlakukan.

    Saat ini daerah di Papua yang sudah menerapkan besaran BPHTB di bawah 5% hanya Kabupaten Jayawijaya pada masa kepemimpinan Bupati John Wempi Wetipo yang kini menjabat Wakil Menteri PUPR. Menurut Maria, BPHTB di Kabupaten Jayawijaya ditetapkan sebesar 2,5%.

    Oleh karena itu, REI Papua mengharapkan kesediaan pemda di daerah itu untuk mendukung Program Sejuta Rumah yang digagas Presiden Joko Widodo.

    “Bandingkan dengan mayoritas daerah di wilayah barat atau tengah Indonesia yang sudah banyak memberikan pembebasan biaya BPHTB dan IMB. Itulah mengapa realisasi sejuta rumah di Papua sangat berat,” keluh Maria.

    Ketidakadilan lain pemerintah pusat terhadap Papua adalah menyangkut bantuan Prasarana Sarana Umum (PSU) yang di dalam Peraturan Menteri Nomor 03/PRT/M/2018 diberlakukan secara merata di seluruh Indonesia. Namun di lapangan, PSU lebih banyak dinikmati di wilayah barat.

    Di Papua, minim bahkan hampir tidak ada yang menerima PSU perumahan subsidi ini. Jumlah pengembang Papua yang mampu mengakses bantuan PSU sangat terbatas. Padahal bantuan PSU dibutuhkan pengembang di Papua guna memastikan jalan lingkungan perumahan dicor dan tertata rapi.

    Jatah Kuota

    Tahun ini, REI Papua menargetkan pembangunan sebanyak 2.656 unit rumah, dengan ready stock tersedia sejak 2019 mencapai 1.184 unit. Sementara jatah kuota FLPP di Provinsi Papua hanya disetujui 500 unit, dari keseluruhan yang diajukan 3.000 unit pada 2020. Jumlah 500 unit tersebut bukan hanya untuk anggota REI, namun berbagi dengan asosiasi-asosiasi pengembang lainnya.

    “Kami berharap pemerintah dapat segera mencarikan solusi terbaik untuk mengatasi kekurangan kuota FLPP yang cukup besar di Papua sehingga masyarakat berpenghasilan rendah dapat segera akad dan menghuni rumahnya,” harap Maria.

    Selain masalah kuota, batasan penghasilan masyarakat yang dapat membeli rumah subsidi di Papua disamaratakan dengan batasan penghasilan secara nasional yakni Rp 4 juta per bulan. Padahal, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) di Papua lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.

    REI Papua mengusulkan batas penghasilan konsumen di Papua yang dapat memperoleh subsidi ditingkatkan sampai dengan gaji Rp 6 juta per bulan , karena plafon harga jual rejionalnya juga lebih tinggi.

     

  • Pengelola Hotel Perketat Standar Kebersihan dan Kesehatan

    JAKARTA, KORIDOR – Sejumlah operator hotel berkomitmen untuk memberikan standar kebersihan dan kesehatan yang ketat serta pengaturan jarak aman guna memberikan pengalaman menginap yang lebih aman bagi para tamu. Langkah ini sejalan dengan telah dikeluarkannya protokol kesehatan di sektor pariwisata yang disusun Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

    Salah satunya operator hotel TAUZIA Hotels yang merupakan anggota dari The Ascott Limited. Jaringan hotel tersebut mengumumkan peluncuran ‘Ascott Cares’ yakni komitmen seluruh karyawan untuk menjaga standar kebersihan dan kehigienisan di seluruh hotel mereka. Program ini diberlakukan mulai Juli 2020.

    “Kami selalu menjadikan keamanan para tamu dan karyawan sebagai prioritas utama,” ungkap Patrick Vaysse, Chief Operating Officer TAUZIA Hotels kepada media, baru-baru ini.

    Dia menambahkan penerapan ‘Ascott Cares’ memastikan pelaksanaan beberapa langkah antisipasi termasuk peningkatan sanitasi kamar dan area publik, pemeriksaan suhu berkala, dan penggunaan alat pelindung diri seperti masker dan sarung tangan untuk staf.

    Inisiatif  ‘Ascott Cares’ mencakup sembilan komitmen untuk mempertahankan standar kebersihan dan kehigienisan. Sementara solusi digital akan digunakan untuk meminimalkan kontak dengan para tamu tanpa mengurangi tingkat pelayanan kepada tamu. Antara lain melalui penerapan metode pembayaran cashless dan contactless serta pengenalan kode QR untuk mengakses menu, welcome letter, direktori kamar, dan informasi hotel lainnya.

    “Pelatihan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) yang ditingkatkan juga akan dilakukan untuk meningkatkan visibilitas rantai pasokan dan memastikan food safety,” papar Patrick Vaysse.

    Untuk menjaga jarak fisik, jumlah tamu akan dibatasi di area-area publik dan di fasilitas bersama lainnya dengan penanda permanen di lantai sebagai panduan visual untuk para tamu.

    Dalam hal food and beverage, semua anggota tim dapur, service, dan stewarding diharuskan mengenakan alat pelindung diri. Selain itu, prosedur in-room dining dan minibar diperbarui untuk memastikan jarak yang aman dan meminimalkan kontak langsung.

    “Kepada seluruh vendor kami juga memperketat prosedur selama melakukan pengiriman, termasuk pemeriksaan suhu untuk personel pengiriman dan memberikan detail kontak untuk pelacakan kontak,”tegas dia.

    Seiring dengan implementasi ‘Ascott Cares’ serta standar yang diberlakukan WHO dan pemerintah lokal, TAUZIA Hotels juga mengadopsi protokol global dan stamp ‘Safe Travels’ yang dikeluarkan oleh World Travel and Tourism Council (WTTC).

    Protokol Resmi

    Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) belum lama secara resmi telah mengesahkan protokol kesehatan di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif (parekraf).

    Protokol kesehatan sektor parekraf disahkan melalui KMK Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

    Deputi bidang Kebijakan Strategis Kemenparekraf/Baparekraf R. Kurleni Ukar menjelaskan bahwa protokol kesehatan di sektor parekraf disusun berlandaskan atas tiga isu utama yakni kebersihan, kesehatan, dan keamanan.

    KMK tersebut diantaranya mengatur protokol untuk hotel/penginapan/homestay/ asrama dan sejenisnya, rumah makan/restoran dan sejenisnya, lokasi daya tarik wisata, moda transportasi, jasa ekonomi kreatif, jasa penyelenggara event/pertemuan, serta tempat dan fasilitas umum lainnya yang terkait erat dengan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

    Selanjutnya, protokol ini dapat digunakan sebagai acuan bagi seluruh pihak, yakni kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat termasuk asosiasi, pengelola, pemilik, pekerja, dan pengunjung di tempat dan fasilitas umum lainnya.

    “Kehadiran protokol kesehatan ini diharapkan dapat mendukung rencana pembukaan usaha pariwisata dan ekonomi kreatif secara bertahap sehingga dapat menggerakkan kembali usaha pariwisata dan ekonomi kreatif, sektor yang paling terdampak dari pandemi Covid-19,” ujar Kurleni.

    Namun demikian, keputusan terkait pembukaan kembali usaha pariwisata tentu harus disesuaikan dengan tingkat risiko wilayah penyebaran Covid-19 dan kemampuan daerah dalam mengendalikan pandemi tersebut.

    “Kami berharap pemerintah daerah dan pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif dapat mempersiapkan dan melaksanakan protokol kesehatan sesuai dengan keputusan yang ditandatangani oleh Menteri Kesehatan,” ujar dia.

     

     

     

     

  • Akibat Corona, 30 Ribu Pekerja Properti Terancam Menganggur

    JAKARTA,KORIDOR–“Covid-19 alias korona”. Kata-kata ini begitu populer dalam beberapa bulan terakhir ini. Hampir setiap hari bahkan setiap jam kita mendengarnya. Kini virus yang berasal dari negara Tiongkok tersebut semakin ngetop. Apalagi Corona sudah menyebar ke seluruh dunia. Setidaknya kasus virus corona Covid-19 telah menyebar ke lebih 200 negara di dunia.

    Hingga saat ini, virus yang pertama kali ditemukan di Kota Wuhan tersebut diperkirakan telah menembus angka belasan juta yang positif terinfeksi. Jelas kondisi ini membuat was-was seluruh penduduk di muka bumi, karena tidak hanya akan berdampak terhadap kesehatan, namun juga dapat dipastikan akan mempengaruhi surutnya perekonomian dunia, termasuk sektor properti di tanah air.

    Lesunya bisnis properti ditanah air bisa dikatakan terjun bebas. Lihat saja, penurunan penjualan pada sektor hunian komersil mencapai 80% hingga 90%. Sementara sektor hunian bersubsidi turun dengan rerata mencapai 30% hingga 40%.

    Tak pelak, badai korona ini juga menghantam sebagian besar pengembang yang tergabung dalam Realestate Indonesia (REI). Asosiasi pengembang terbesar di Indonesia yang beranggotakan 6100 pengembang ini, mengklaim satu-persatu anggotanya mulai ‘berjatuhan’.

    “Kondisi sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 174 industri turunan bsinis properti juga terkena dampaknya. Jika kondisi ini terus berlanjut, setidaknya sekitar 30 ribu jiwa akan terancam menganggur,” ungkap Hari Ganie, Wakil Ketua Umum Koordinator DPP Realestat Indonesia (REI) bidang Tata Ruang, pada Webinar bertajuk Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi Melalui Pengembangan Koridor Timur Jakarta, awal Juli 2020 lalu.

    Karena itu Hari berharap, pandemi korona ini segera berkahir dan industri properti di Indonesia bisa segera pulih. “REI selalu berupaya untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang menghadang anggotanya. Salah satunya dengan menginisiasi Webinar ini. Tema ini kita ambil karena REI melihat kawasan timur-lah yang paling siap untuk pertama bangkit,” terangnya.   Ia juga menambahkan, kebangkitan ekonomi khususnya industri properti akan dimuali dari Jabodetabek. Dan di jabodetabek sendiri akan dimulai dari Koridor Timur Jakarta.

    “Pasalnya, Kawasan Timur ini begitu strategis. Selain Infrastrukturnya yang sudah sangat lengkap, kawasan ini juga menjadi penghubung dua kota terbesar di Indonesia, Yakni Jakarta dan Bandung. Lebih dari itu, di Koridor Timu begitu banyak rencana-rencana yang sudah maupun yang akan dilakukan pengembang,” pungkasnya. (*)

  • Alih Fungsi Lahan Sawah Dibatasi, Pengembang Hati-hati!

    JAKARTA, KORIDOR- Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah mengatur pemanfatan lahan-lahan sawah produktif untuk lahan pembangunan termasuk properti. Pengembang pun diminta waspada dan tidak sembarangan melakukan pembebasan lahan.

    Kementerian Agraria dan Tata Ruang-Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) saat ini sedang intensif melakukan sinkronisasi guna menetapkan Peta Lahan Sawah Dilindungi. Nantinya, Peta Lahan Sawah Dilindungi  (PLSD) tersebut akan dikendalikan dan diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di setiap kabupaten/kota sebagai bagian dari Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

    LP2B merupakan bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan guna menghasilkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lalu apa dampaknya bagi bisnis properti?

    Wakil Ketua Umum Koordinator DPP Realestat Indonesia (REI) bidang Tata Ruang, Pengembangan Kawasan dan Properti Ramah Lingkungan, Hari Ganie mengakui penetapan Peta Lahan Sawah Dilindungi tentu akan memperkecil ruang bagi pengembang untuk mendapatkan lahan untuk pembangunan properti terlebih perumahan.

    Selama ini dengan semakin sulitnya mendapatkan lahan di tengah kota, banyak pengembang mencari lahan menjadi dari kota termasuk lahan-lahan sawah dan pertanian.

    “Kalau sekarang ada lahan di pinggir jalan meski pun itu lahan sawah mungkin masih bisa dibeli. Nanti sudah tidak bisa lagi sembarangan, sehingga pengembang harus betul-betul mengecek di RTRW apakah lahan tersebut masuk LP2B atau tidak,” kata Hari Ganie di Jakarta, baru-baru ini.

    Pengembang perlu mengetahui bahwa pelanggaran terhadap ketentuan itu dapat terkena sanksi. Sebab, kata Hari, saat ini di bidang tata ruang sudah ada penyidik Aparatur Sipil Negara (ASN) tata ruang di setiap daerah yang diberi wewenang melakukan penindakan terhadap pelanggaran tata ruang.

    Oleh karena itu, DPP REI mengingatkan anggotanya untuk lebih berhati-hati dalam melakukan pembelian atau pembebasan tanah khususnya lahan pertanian.

    Berdasarkan data Kementerian ATR-BPN, dari total lahan sawah yang tersedia di Indonesia pada 2013 seluas 7,7 juta hektar, setiap tahunnya telah dikonversi menjadi lahan non-sawah seluas 150 ribu hingga 200 ribu hektar.

    Alih fungsi lahan sawah tersebut paling banyak terjadi di Pulau Jawa dan kota-kota besar di seluruh Indonesia. Sebagian besar dialih fungsikan menjadi kawasan perkebunan, kawasan industri maupun perumahan.

    Guna menetapkan Peta Lahan Sawah Dilindungi, Kementerian ATR-BPN dengan Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi dan Geospasial (BIG), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan turun bersama ke lapangan melakukan pengecekan langsung sehingga keempat lembaga tersebut memiliki data yang sama terkait luas lahan baku sawah.

    Kalau merujuk Ketetapan Menteri ATR/BPN Nomor 339 Tahun 2018, lahan baku sawah tercatat mencapai 7,1 juta hektar.

    Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah (PPRPT) Kementerian ATR-BPN, Budi Situmorang menyebutkan laju alih fungsi lahan sawah menjadi tanah non-pertanian semakin meningkat dari tahun ke tahun. Untuk itulah, sebagai upaya pengendalian diterbitkan Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.

    “Pengendalian alih fungsi lahan sawah ini akan dilakukan oleh tim terpadu yang dikoordinir oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri ATR/Kepala BPN sebagai ketua harian,” kata Budi Situmorang.

    Tim Terpadu Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah inilah yang nantinya akan melakukan sinkronisasi dan menetapkan Peta Lahan Sawah Dilindungi. Selanjutnya Peta Lahan Sawah Dilindungi tersebut akan dikendalikan pengintegrasiannya ke RTRW di masing-masing kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

    Peran strategis Kementerian ATR/BPN melalui Direktorat Jenderal PPRPT dalam upaya Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah adalah melakukan pemantauan dan penertiban terhadap alih fungsi lahan yang telah ditetapkan sebagai Peta Lahan Sawah Dilindungi.

    Dengan adanya Peta Lahan Sawah Dilindungi ini, kata Budi, diharapkan Pemerintah Daerah segera menetapkan LP2B di kabupaten/kota masing-masing dengan disertai data spasialnya, sehingga Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berikut peraturan-peraturan turunannya dapat dilaksanakan secara optimal.

    “Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 ini sudah 10 tahun diundangkan namun baru sedikit yang telah menetapkan LP2B dengan data spasialnya, sehingga diharapkan dengan adanya Peta Lahan Sawah Dilindungi ini akan mendorong daerah untuk mempercepat penetapan LP2B,” tegas dia.

    Budi mengatakan jika pemerintah daerah menolak memasukkan LP2B ke dalam rancangan tata ruangnya, maka nanti kalau ada pengalihan fungsi lahan maka harus melewati Menteri ATR-BPN.

    Menurut UU Nomor 41 tahun 2009, peralihan fungsi lahan memungkinkan dilakukan kalau terdapat dua hal, yaitu jika terjadi bencana alam dan untuk pembangunan infrastruktur bagi kepentingan publik. Meski demikian, dalam undang-undang pengalihan fungsi lahan tersebut harus diikuti dengan pergantian lahan baru.

    Bagi pemilik lahan dan pemerintah daerah yang menjalankan aturan alih fungsi lahan sawah ini akan diganjar insentif dan juga disinsentif guna menjamin pelaksanaan LP2B. Pemberian insentif dan disinfentif itu diatur dalam pasal 38 sampai 43 UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

    Harus Transparan

    Menurut Hari Ganie, asosiasi sangat memahami fokus pemerintah untuk melindungi lahan-lahan sawah pertanian sebagai upaya menjaga ketahanan pangan nasional. Namun, REI berharap penetapan Peta Lahan Sawah Dilindungi yang ditargetkan dalam 2-3 bulan ke depan segera final itu ditetapkan secara hati-hati sehingga tidak justru menjadi permasalahan baru di kemudian hari.

    “Dalam rapat dengan Kementerian ATR-BPN kemarin sudah saya sampaikan bahwa REI harus dilibatkan dan diundang dalam sosialisasi Peta Lahan Sawah Dilindungi yang akan ditetapkanm,” kata dia.

    Bukan hanya DPP, ungkap Hari Ganie, tetapi juga seluruh DPD REI se-Indonesia diundang, sehingga mereka paham mana saja lahan sawah yang dilindungi.

    Transparansi dibutuhkan oleh pelaku usaha, karena selama ini penetapan rencana tata ruang di daerah justru terkesan tertutup, bahkan penetapannya kerap tidak realistis.

    Hari Ganie memberi contoh di Kota Mataram yang merupakan ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam tata ruangnya masih ada lahan peruntukkan untuk sawah. Hal itu kurang realistis, kecuali  untuk wilayah-wilayah kabupaten.

    “Di Mataram itu masih ada lahan yang diperuntukkan untuk sawah, padahal mayoritas sudah perkotaan. Ini juga problem dan itu terjadi di banyak kota,” keluh Hari Ganie.

    REI berpendapat daerah-daerah yang sifatnya sudah menjadi kota idealnya tidak ada lagi lahan sawah. Untuk itu, Kementerian ATR-BPN perlu melakukan pengawasan dalam pembuatan rencana tata ruang oleh pemerintah daerah.

    Kemudian, kata Hari Ganie, terkait penetapan LP2B harus dipastikan bahwa untuk lahan pengembang yang sudah mendapatkan izin lokasi dan memiliki kekuatan hukum yang sah nantinya tidak diganggu. Terlebih di atas lahan tersebut sudah dilakukan proses pembangunan demi menjaga iklim investasi tetap kondusif.

    “Beberapa eksisting tanah milik pengembang yang sebelumnya merupakan sawah tetapi sudah keluar izin lokasinya kami usulkan tidak masuk dalam LP2B.  REI harap ini tidak diganggu karena izin lokasi memiliki kekuatan hukum sehingga patut dihormati,” tegas sarjana planologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

  • Akibat Pandemi, Penjualan Rumah di Kalbar Anjlok 80%

    JAKARTA, KORIDOR – Rumah segmen menengah atas di Kalimantan Barat (Kalbar) sudah lama vakum, sementara untuk tipe menengah hampir separuh dari proyek yang ada tersendat penjualannya. Kini akibat pandemi, rumah segmen bersubsidi pun ikut terpuruk.

    Pada 2019, pembangunan dan penjualan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Kalbar anjlok hingga 50%. Tahun ini yang semula diharapkan pasar properti bisa lebih baik, justru pembangunan dan penjualan rumah bersubsidi diperkirakan bakal turun lagi lebih dalam hingga 80%.

    Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Kalbar, Muhammad Isnaini mengungkapkan rumah segmen menengah atas di Kalbar sudah lama vakum, sementara untuk tipe menengah hampir separuh dari proyek yang ada tersendat penjualannya.

    Sementara rumah subsidi yang menjadi tumpuan sejak tiga tahun terakhir, meski permintaannya masih bagus, namun terhambat karena masalah kuota FLPP sejak 2019. Kendala lain adalah masalah perizinan.

    Dijelaskan Isnaini, di awal tahun ini ada beberapa daerah yang bermasalah dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sehingga menyulitkan pembangunan oleh pengembang. Namun hal ini sudah dapat diatasi meski setiap kasus diselesaikan dengan cara

    yang berbeda.

    “Selesai masalah IMB, realisasi di Maret cukup bagus. Namun kemudian muncul isu merebaknya wabah Covid-19, dan sampai sekarang pembangunan dan penjualan berjalan lamban,” keluh dia.

    M. ISNAINI

    Meski Kalbar tidak memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun terjadi pembatasan di beberapa jalan protokol Kalbar sehingga kegiatan ekonomi ikut tersendat. Akibatnya, beberapa calon konsumen memutuskan untuk menunda membeli rumah.

    “Kami mengadakan studi kecil-kecilan dan hasilnya semenjak Covid-19 jadi isu nasional, memang ada penurunan hingga 80% di Kalbar untuk segmen MBR karena pengetatan perbankan terhadap calon konsumen non-fixed income,” jelas Isnaini.

    Banyak akad yang dilakukan pada Januari dan Februari 2020, mungkin baru dapat direalisasikan pada Juni ini. Bahkan, menurut dia, bank memberikan kriteria tertentu kepada debitur di tengah wabah ini, sehingga menghambat realisasi. Misalnya, BTN meminta calon debitur agar perusahaan mengunakan bank tersebut sebagai payroll.

    Longgarkan PSBB

    Ekonomi Kalbar juga makin terpukul karena Kalbar menjadi salah satu daerah yang sangat mengandalkan komoditas. Oleh karena itu, Isnaini sangat berharap pemerintah bisa segera melonggarkan PSBB setidaknya pada Juli, sehingga di Agustus dan September menjadi waktu untuk pemulihan dan bulan selanjutnya sudah bisa berlari kencang.

    “Kalau Lebaran orang bisa menahan diri dan disiplin, seharusnya wabah ini mulai bisa teratasi termasuk juga di Kalbar,” harap Isnaini.

    Namun kalau masyarakat tidak disipilin, maka bukan hanya sektor properti yang akan berdampak, namun berbagai usaha kecil sangat mungkin akan gulung tikar karena cash flow terganggu.

    Anggota REI Kalbar sendiri untuk bisa bertahan meski sedikit ada yang memanfaatkan kemudahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan ikut restrukturisasi.

    “Yang lapor hanya delapan, namun nampaknya lebih dari itu dari 150 anggota REI Kalbar. Banyak yang malu kalau harus mengakui ikut restrukturisasi, padahal saat ini hal tersebut sangat lumrah,” ungkap Isnaini.

    Meski tidak signifikan, Isnaini mengapresiasi kebijakan OJK tersebut. Dia justru mengusulkan agar perbankan bisa melonggarkan aturan-aturan di tengah situasi pandemi seperti ini. Sebagai masukan misalnya soal jaminan terutama bagi non-fixed income, diharapkan setidaknya mendapatkan empat kali angsuran di tabungan. Hal ini tengah dibahas antara DPP REI dan perbankan, terutama BTN.

    “Sebab kalau terus mencari konsumen yang bukan non-fixed income sangat sedikit dan pengembang di Kalbar harus berebutan konsumen,” ungkap Isnaini.

    Akibat pandemi, Kalbar yang biasanya menargetkan pembangunan rumah MBR hingga 6.000 unit, di tahun ini target pembangunan hanya dipatok sekitar 3.800 unit saja, bahkan masih mungkin untuk direvisi mengikuti situasi pasar dan kebijakan pemerintah.

    Meski begitu, REI Kalbar terus berkoordinasi dengan perbankan sehingga bisa mencari jalan tengah dan gimmick terbaik, bukan hanya untuk sektor MBR namun juga untuk sektor komersial sehingga dapat bergerak kembali.

    Semenjak tahun lalu, kata Isnaini, REI Kalbar sudah menyarankan perbankan untuk memberikan besaran bunga kredit yang sama dengan rumah MBR, atau memberikan subsidi bunga kepada konsumen rumah komersial di beberapa tahun pertama sehingga beban bunganya rendah.

    Menurut Isnaini hal tersebut sangat diperlukan mengingat perekonomian global masih buruk, sementara properti tetap dibutuhkan dan bisnisnya tetap memiliki peluang yang besar.

  • Pembeli Rumah Subsidi “Kesetrum” Listrik

    Jakarta,Koridor—Di tengah wabah pandemi Covid-19, beberapa pengembang perumahan subsidi mengaku, konsumen kesulitan melakukan akad kredit dengan perbankan. Hal itu terkait belum tersedianya daya listrik di unit rumah yang akan diperjual belikan kepada konsumen.

    “Dibeberapa daerah, kami masih mendapatkan keluhan dari anggota. Sebagian besarnya adalah  pengembang yang membangun perumahan bersubsidi. Ada bank yang enggan melakukan akad kredit dengan konsumen. Alasannya, unit rumah itu belum tersambung daya listrik,” terang Risma Gandhi, Sekretaris Jenderal Aliansi Pengembang Perumahan Nasional Jaya (AJ).

    Padahal menurutnya, jaringan listrik perumahannya sudah terpasang. Bahkan sudah ada resi, bukti bayar dan pendaftaran pemasangan listrik. PLN beralasan karena hal teknis, distribusi material terhambat datang.

    “Namun pihak perbankan belum bersedia (akad kredit-red). Akhirnya jadi kendala. Padahal anggota kami itu kebanyakan pengembang kecil. Mereka butuh casflow cepat,” keluhnya.

    Terkait hal tersebut, asosiasi AJ, lanjut Risma, kemudian bersurat kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). AJ meminta kebijakan syarat dalam akad kredit subsidi. Salah satunya soal persyaratan ketersedian daya listrik.

    Menjawab permintaan tersebut, Eko D. Heripoerwanto, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur  Pekerjaan Umum dan Perumahan, mengatakan bahwa jika listrik belum tersedia, maka perjanjian kredit/akad tetap bisa dilakukan.

    Dengan ketentuan bahwa pengembang harus memberikan jaminan penyediaan listrik dalam waktu yang terukur dan menyediakan sumber listrik alternatif yang terpasang dan berfungsi dengan baik selama masa jaminan.

    Eko dalam surat-nya juga meminta kepada pengembang agar berkoordinasi dengan instansi PLN. Mulai dari tahap perencanaan pembangunan perumahan.

    “Pengembang diharapkan mulai dalam tahap perencanaan membangun rumah bagi MBR sudah memproses dan berkoordinasi dengan PLN dalam hal penyambungan jaringan listrik. Dengan demikian PLN dapat merencanakan penyediaan listrik untuk rumah yang sudah selesai dibangun para pengembang,” ungkapnya, seperti dikutip Indonesia Housing.

    Perbaiki Pola Kemitraan

    Pada kesempatan berbeda,  Dwi Nurcahya, Ketua Dewan Pengurus Daerah AJ, Kalimantan Tengah menyayangkan masih ada bank yang sepihak membatalkan akad kredit, karena hambatan daya listrik.

    “Di daerah lain masih terjadi. Tetapi di Kalimantan akad kredit tetap bisa dilakukan. Yang penting di perumahan itu sudah ada jaringannya. Cukup menunjukkan bukti register di PLN. Walaupun listriknya belum terpasang, jika sudah teregister, akad tetap bisa dilakukan,” ungkapnya.

    Biasanya dalam 1-2 bulan ke depan, PLN sudah pasang daya. Kalaupun tidak, maka selama setahun ke depan resiko, masih di pengembang. Mitigasi resikonya sudah sangat lengkap. Sehingga bank, katanya tidak perlu takut jika ada konsumen yang kemudian tidak mau mencicil angsurannya.

    Bukan soal daya listrik saja yang dikeluhkan Direktur PT Citra Mandiri Dwi Pratama itu. Ia menyebut, ada bank penyalur utama KPR subsidi, yang sampai sekarang mempersyaratkan adanya berbagai dana ditahan (retensi). Jumlahnya bisa sampai Rp14 juta per unit rumah.

    “Macam-macam bentuknya. Mulai dari dana tahanan sertifikat, listrik, sampai dana tahanan bestek. Seharusnya kalau parit dan jalan sudah ada, kenapa harus ada dana tahanan bestek. Logikanya, kalau ada (dana) tahanan bestek seharusnya kalau parit belum selesai, tetap bisa dilakukan akad kredit. Tetapi kan tidak,” keluhnya.

    Apalagi, klaim dana yang ditahan tersebut menurutnya juga tidak gampang. Butuh berbagai syarat dan waktu yang lama. Misalnya, harus memperlihatkan bukti foto, satu-satu, per unit rumah. Padahal bagi pengembang kecil bersubsidi,  jumlah Rp14 juta/unit rumah, bukanlah nilai yang kecil.

    “Ke depan, pola kemitraan pengembang dan perbankan, khususnya bank utama penyalur KPR bersubsidi seperti misalnya BTN, harus ditata ulang. Pelaku usaha itu mitra kerjanya bank dalam penyaluran kredit. Harus ada kesetaraan,” pungkasnya.

  • Riyadh Group Indonesia Ekspansi ke Bisnis Kesehatan

    JAKARTA, KORIDOR – Kelompok usaha properti dan pariwisata, Riyadh Group Indonesia melakukan ekspansi bisnis ke sektor jasa pelayanan kesehatan dengan meresmikan pembukaan klinik pertamanya, Riverside Medical Center (RMC) yang berlokasi di kawasan hunian Pancoran Riverside, Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (18/6/2020).

    Presiden Direktur Riyadh Group Indonesia, Bally Sahputra mengungkapkan merebaknya pandemi coronavirus menyadarkan semua orang mengenai penting dan berharganya kesehatan. Karena itu, keberadaan fasilitas sarana kesehatan terutama klinik dan rumah sakit diprediksi akan berkembang pesat guna memenuhi tingginya kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan diri dan keluarganya.

    “Kesehatan itu ibaratnya investasi bagi manusia supaya dapat hidup lebih produktif dan bahagia, baik di masa sekarang maupun di masa depan” ujar Bally yang juga merupakan Konsul Jenderal Kehormatan Nepal untuk Indonesia dalam siaran persnya, baru-baru ini.

    Untuk itu, dia berharap kehadiran klinik Riverside Medical Center yang pengelolaannya akan bekerjasama dengan Alisan Tour&Travel Group tersebut dapat menjadi langkah awal bagi Riyadh Group Indonesia untuk masuk ke sektor pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit halal bertaraf internasional. Alisan Tour&Travel adalah perusahaan perjalanan haji dan umroh yang sudah berpengalaman puluhan tahun memberangkatkan jamaah ke Tanah Suci.

    Hadir pada pembukaan RMC antara lain Presiden Komisaris Riyadh Group Indonesia Soelaeman Soemawinata, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida, Founder/Chairman Indonesia-China Halal Cooperation (ICHC),  Dirut Alisan Tour&Travel Ali Mohammad Amin, Wakil Ketua Umum DPP REI Hari Ganie, serta Wakil Pimpinan Klinik RMC Riyadhi Salman Sahputra.

    Jaringan RS

    Menurut Bally, perusahaannya berencana membentuk anak usaha yang fokus pada pengembangan jaringan rumah sakit dan klinik di seluruh Indonesia. Salah satunya melalui kerjasama dengan pengembang-pengembang anggota REI di daerah. 

    Riverside Medical Center adalah klinik umum yang melayani berbagai pelayanan vaksinasi seperti vaksinasi meningitis, influenza dan measles rubella termasuk rapid test/swap COVID-19, tes narkoba serta medical check up.

    “Selain itu, klinik ini juga sudah dilengkapi dengan fasilitas laboratorium, rongent, apotik dan dokter yang siaga selama 24 jam. Kami juga siap memberikan pelayanan vaksin dan test darah langsung ke rumah pasien,” kata Wakil Pimpinan Klinik RMC, Riyadhi Salman Sahputra.

    Bally menambahkan, saat ini sedikitnya terdapat 150 ribu jiwa warga yang berdomisili di kawasan Pancoran Riverside dan sekitarnya. Dengan adanya klinik ini, maka warga di sekitar Pancoran tidak perlu lagi repot-repot ke rumah sakit untuk melakukan vaksin atau rapid test/swap.

    Presdir Riyadh Group Indonesia, Bally Sahputra

    “Kebetulan klinik ini berada satu bangunan dengan Kantor Konsulat Nepal, sehingga nantinya juga sekaligus untuk membantu warga Indonesia yang ingin ke Nepal untuk melakukan pemeriksaan kesehatan,” jelas pengusaha asal Sumatera Barat yang kini juga menjabat Sekretaris Badan Pertimbangan Organisasi DPP Realestat Indonesia (REI) tersebut.

    Riyadh Group Indonesia merupakan kelompok usaha yang telah mengembangkan sejumlah proyek properti khususnya vertikal housing di Jakarta dan Medan, serta proyek hunian di Sumatera Barat dan Batam. Selain itu perusahaan ini juga bergerak di industri hospitality dengan mengelola beberapa hotel dan resort di sejumlah kota di Indonesia.

Back to top button