Finansial

  • Pagebluk, Debitur MBR Dag, Dig, Dug

    JAKARTA,KORIDOR—Lima bank nasional tetap optimistis menyalurkan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) di tengah pandemi virus korona (covid-19). Salah satunya, Bank Negara Indonesia (BNI). Sepanjang semester I- 2020 BNI telah menyalurkan KPR FLPP sebanyak 7.364 unit dengan nilai sebesar Rp749,9 miliar.

     Namun, BNI mengaku semester II akan lebih selektif dalam menerima calon debitur FLPP. Calon debitur yang dipilih yang memiliki penghasilan tetap dan tidak terkena dampak covid-19.

    “Dengan kondisi pandemi covid-19 ini kami lebih selektif lagi dalam menerima calon debitur FLPP. Kami mengutamakan MBR dengan penghasilan yang tidak terkena dampak covid 19,” ujar Pemimpin Kelompok Divisi Penjualan Konsumer BNI, Dewi Julianti.

    Seperti diketahui BNI tahun ini menargetkan penyaluran KPR FLPP sebesar Rp1,2 triliun untuk 12 ribu unit rumah. Naik bila dibandingkan dengan tahun lalu diangka 10.000 an unit. BNI tahun lalu juga meminta tambahan kuota, tapi terkendala anggaran FLPP yang disediakan pemerintah.

    Sementara itu, Head of Subsidized Mortgage Lending Division BTN Mochamad Yut Penta mengusulkan agar indikator penilaian pencapaian target FLPP diharapkan dapat disesuaikan dengan realisasi yang ada di bank.

    Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) mengadakan pertemuan video conference bersama bank pelaksana yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yaitu BTN, BTN Syariah, BNI, BRI, dan Mandiri.

    Kelima bank nasional tersebut mengusulkan agar PPDPP dapat melakukan penyesuaian jadwal evaluasi terhadap bank pelaksana mengingat kondisi pandemi covid 19 yang terjadi saat ini.

     Pada semester II-2020, PPDPP akan melihat kembali efektifitas kuota dana FLPP yang telah disebar di seluruh bank pelaksana. Bank dengan kinerja lebih bagus berhak untuk mendapatkan peralihan kuota dari bank yang kinerjanya kurang bagus.

     “Kami selalu melakukan evaluasi penyesuaian kuota secara berkala,” ujar Direktur Utama PPDPP Arief Sabaruddin.

    Dalam melakukan penilaian dan evaluasi terhadap bank pelaksana, PPDPP melihat dari beberapa aspek, yaitu aspek kinerja realisasi dana FLPP (50 persen), aspek kinerja operasional bank (25 persen) dan aspek kinerja keuangan bank (25 persen).

    Sementara itu, beberapa asosiasi pengembang menyampaikan usulan untuk penambahan kuota bagi bank pelaksana dan adanya program migrasi dari bank pelaksana jika FLPP habis otomatis akan disalurkan ke Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), serta adanya relaksasi bagi pengembang terkait dengan pandemi covid-19.

  • Pembiayaan Perumahan Indonesia Dikritik Bank Dunia

    JAKARTA, KORIDOR – Bank Dunia (World Bank) menyebutkan Indonesia telah membuat kemajuan dalam mencapai target pembangunan perumahan dan mengurangi jumlah rumah tidak layak huni. Namun secara kepenghunian rumah masih belum sesuai harapan.

    Bank Dunia dalam laporannya menyoroti skema subsidi bagi perumahan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk memenuhi target kepemilikan rumah antara lain Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Subsidi Selisih Bunga (SSB). Lembaga keuangan itu menganggap FLPP dan SSB tidak efisien dalam hal biaya di muka dan utang di masa depan.

    Disebutkan bahwa skema-skema tersebut menguntungkan bank dan pengembang daripada konsumen, dan membuat hengkangnya sektor swasta.

    Inefisiensi pun terjadi pada penyaluran subsidi melalui Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang memberikan hibah kepada 40 persen rumah tangga termiskin untuk meningkatkan kualitas rumah tidak layak huni.

    Di laporan itu, Bank Dunia menuding skema FLPP dan SSB bersifat regresif, tidak tepat sasaran, dan mudah mengalami kebocoran. Subsidi perumahan juga tidak efektif dalam memenuhi tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam menyediakan rumah yang inklusif, aman, dan memadai bagi semua kalangan karena kelemahan dalam kualitas bangunan, desain program, dan lemahnya penegakan pedoman program.

    Dao Harrison, Senior Housing Specialist di Bank Dunia mengatakan walaupun subsidi kredit pemilikan rumah (KPR) telah membantu Pemerintah Indonesia untuk mencapai target kuantitatifnya, namun subsidi tersebut memakan biaya yang mahal dan kemungkinan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang, menciptakan utang jangka panjang, dan risiko tingkat bunga.

    “Oleh karena itu, Bank Dunia memiliki beberapa rekomendasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas subsidi perumahan,” kata Dao.

    Secara jangka pendek, Bank Dunia menyarankan pengalihan dana  ke subsidi yang lebih efisien, progresif, dan lebih tepat sasaran, sambil mengoptimalkan program-program subsidi saat ini untuk meningkatkan efisiensi dan kesetaraan; serta memastikan rumah bersubsidi memiliki kualitas konstruksi bangunan yang baik dan dibangun di daerah-daerah yang strategis dengan akses ke pelayanan dasar.

    Kemudian Pemerintah Indonesia juga disarankan dapat mengembangkan program subsidi keuangan mikro perumahan untuk membiayai perbaikan rumah dan perluasan rumah, serta mengembangkan Sistem Informasi Perumahan dan Real Estat (Housing and Real Estate Information System, HREIS) untuk meningkatkan proses perencanaan dalam mengelola pembangunan perumahan yang terjangkau.

    Sementara untuk jangka menengah, pemerintah diminta mengembangkan tipologi perumahan alternatif yang hemat biaya dan memenuhi beragam kebutuhan konsumen di daerah perkotaan; mendukung pengembangan perumahan yang terjangkau melalui kerangka Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk mendukung akses ke lahan yang terjangkau dan berlokasi baik; dan mengembangkan kebijakan sewa sebagai solusi alternatif dan pragmatis untuk kepemilikan rumah.

    “Pemerintah Indonesia juga perlu mengkaji ulang dan merevisi kerangka kerja peraturan untuk dapat secara jelas menetapkan peran pemerintah daerah (Pemda) dalam menyediakan perumahan yang terjangkau, sambil membangun kapasitas mereka untuk melakukannya,” ujar Dao Harrison.

    Keterjangkauan Masyarakat

    Selama ini, Bank Dunia menyebutkan kalau keterjangkauan perumahan juga merupakan kendala utama di Indonesia. Hanya 20% rumah tangga terkaya yang mampu membeli rumah di pasar komersial formal, berdasarkan perkiraan biaya rumah rata-rata sebesar Rp440 juta (US$33.000).

    Sementara itu, sebanyak 261 rumah tangga di kelompok 40% pendapatan bagian tengah mampu membeli rumah formal yang sama hanya dengan subsidi pemerintah, sementara rumah tersebut tidak dapat diakses oleh rumah tangga di kelompok 40% terbawah.

    Tidak heran, Dao berharap agar Pemerintah Indonesia bisa menyediakan pembiayaan perumahan yang lebih hemat dan untuk jangka panjang, seperti menggencarkan program subsidi bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) yang bekerjasama dengan Bank Dunia.

    Skema BP2BT mulai dikucurkan pada 2018. Bantuan ini meliputi uang muka KPR dengan jumlah bantuan progresif maksimum Rp 32,5 juta. Tidak seperti FLPP dan SSB yang memiliki tingkat suku bunga tetap sebesar 5%, bank yang berpartisipasi dalam BP2BT memiliki fleksibilitas untuk menetapkan tingkat suku bunga dan harus menggunakan 100% modal sendiri untuk mendanai KPR.

  • Pengembang Kecil Jajaki Pasar Modal

    Jakarta,koridor—Realestat Indonesia (REI) mendorong pengembang properti berskala kecil dan menengah untuk menjadi perusahaan terbuka dan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau go public. Pengembang yang go public disebut berpeluang tumbuh lebih besar.

    “Ada potensi pertumbuhan lewat go public. Kalau mau berkembang ya lewat go public,” kata Ketua DPD REI Jakarta, Arvin Iskandar, di gedung BEI Jakarta saat pembukaan Go Public Workshop REI DKI Jakarta dan Bursa Efek Indonesia (BEI) di Main Hall, Gedung BEI, akhir bulan lalu.

    Arvin menjelaskan, permodalan merupakan salah satu isu yang dihadapi oleh para pengembang. Dengan go public, pengembang properti bisa mendapatkan alternatif permodalan.

    Ketua DPD REI Jakarta, Arvin Iskandar

    Menurut Arvin, sebagian besar pengembang properti saat ini masih mengandalkan pendanaan dari perbankan. Padahal perbankan memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam memberi pendanaan.

    “Kalau lewat perbankan prosesnya cukup panjang, yang kita alami, bank tak bisa lakukan ekspansi untuk beli tanah,” tutur Arvin

    .Arvin mengatakan pengembang properti yang sudah go public saat ini terbilang sedikit. Menurutnya, masih banyak pengembang yang ragu untuk mencari pendanaan melalui pasar modal.

    Arvin mengungkapkan, kurang lebih baru ada sekitar 60-70 pengembang yang tercatat di BEI. Sedangkan yang belum yaitu sekitar 6.000 pengembang. Arvin berharap akan ada lebih banyak lagi pengembang properti yang memanfaatkan sumber pendanaan dari pasar modal.

    “Kami harap tahun ini setidaknya lima anggota REI Jakarta bisa go public,” tambahnya.

    Pada kesempatan yang sama Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi mengungkapkan perusahaan properti yang menggunakan dana dari perbankan untuk operasional pasti membutuhkan biaya yang lebih besar karena ada bunga.

    “Kalau dari perbankan kan memang ada biaya bunga yang harus dibayar. Kalau di bank harus dilihat juga kelayakannya, tapi tidak semua perusahaan bankable atau dapat mengakses sumber dana dari bank. Kalau dia mencatatkan saham di bursa ini bentuknya kan sharing ownership, artinya sharing kepemilikan,” kata Fawzi

    Dia mengungkapkan, prospek mencari dana dari lantai bursa sangat besar karena ada 2,6 juta investor pasar modal yang siap mendapatkan penawaran untuk penggalangan dana dari korporasi.

    Selain itu, jika menggunakan jalur pasar modal, perusahaan akan lebih rapi dan lebih mengutamakan keterbukaan informasi. “Sehingga investor dan perusahaan akan tumbuh bersama,” ujarnya.

    Hasan menjelaskan tahun ini merupakan waktu yang tepat untuk perusahaan properti yang ingin melantai di bursa. Apalagi kebijakan moneter dari bank sentral sudah sangat akomodatif. Yakni penurunan suku bunga acuan yang terus dilakukan, hal ini disebut akan mendorong bisnis properti nasional.

    “Ini akan terasa manfaatnya untuk industri real estate, karena mereka sensitivitas terhadap suku bunga pinjaman itu cukup tinggi,” jelas dia. Akses dana dari pasar modal juga menjadi jawaban dari kendala struktur permodalan dan akses pendanaan yang terbatas dari anggota REI.

  • Dapat Tambahan Kuota, BTN Maksimalkan Penyaluran KPR FLPP

    Bank BTN telah lolos dengan hasil penyaluran di atas target yang dipatok PPDPP. Adapun per 31 Mei 2020, perseroan sukses merealisaskan KPR FLPP untuk membiayai 46.798 unit atau setara dengan Rp 4,7 triliun.

    JAKARTA—KORIDOR: KEMENTERIAN Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) telah memutuskan untuk memberikan tambahan kuota dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) kepada Bank BTN sebanyak 1.240 unit. Tambahan alokasi FLPP tersebut akan digunakan perseroan untuk mendukung pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) khususnya untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah atau MBR.

    “Kami mengapresiasi keputusan PPDPP atas penambahan kuota yang diberikan kepada BTN sebagai Bank Pelaksana dan BTN akan berusaha maksimal untuk menyalurkan KPR FLPP atau KPR Sejahtera sesuai target dan sasaran yang dipatok Kementerian PUPR. Sekaligus ini akan kita manfaatkan untuk mendukung upaya Pemulihan Ekonomi Nasional di era new normal,” kata Direktur Utama Bank BTN, Pahala Nugraha Mansury di Jakarta, Kamis (25/6)

    Penambahan kuota FLPP tersebut diberikan PPDPP setelah mengevaluasia Bank Pelaksana FLPP yang sebelumnya ditunjuk dan hasil lolos uji pencairan. Bank BTN telah lolos dengan hasil penyaluran di atas target yang dipatok PPDPP. Adapun per 31 Mei 2020, perseroan sukses merealisaskan KPR FLPP untuk membiayai 46.798 unit atau setara dengan Rp 4,7 triliun.

    Minat Masyarakat untuk Memiliki Rumah Tidak Surut

    Pahala optimistis, Bank yang telah berpengalaman hampir 45 tahun menyalurkan KPR tersebut akan dapat mencapai target penyaluran KPR Subsidi tahun ini, baik melalui KPR FLPP maupun dengan skema Subsidi Selisih Bunga maupun Subsidi Bantuan Uang Muka atau SBUM.

    “Pandemi covid memang sangat berpengaruh pada demand masyarakat untuk membeli rumah, namun minat tersebut tidak menyurutkan masyarakat untuk memiliki rumah subsidi. Harga jual rumah yang terus naik setiap tahunnya menjadikan salah satu pertimbangan masyarakat khususnya MBR untuk segera memiliki rumah. Disamping itu fasilitas SBUM yang diberikan kepada MBR menjadi stimulus dalam pergerakan kebutuhan rumah pada saat ini,” kata Pahala.

    Kinerja KPR Subsidi dari Bank dengan kode saham BBTN ini masih tumbuh positif. Berdasarkan catatan, posisi penyaluran KPR Subsidi baik konvensional maupun syariah per Mei 2020 tumbuh 5,95% menjadi sebesar Rp102,94 triliun dibandingkan posisi per Mei 2019 yang mencapai Rp95,434 triliun.

    Pahala optimistis tambahan kuota FLPP maupun SSB akan dapat mendorong penyaluran KPR Subsidi perseroan yang tahun ini ditargetkan dapat mencapai sekitar Rp103,49 triliun. (ZH)

Back to top button