JAKARTA, KORIDOR – Bank Dunia (World Bank) menyebutkan Indonesia telah membuat kemajuan dalam mencapai target pembangunan perumahan dan mengurangi jumlah rumah tidak layak huni. Namun secara kepenghunian rumah masih belum sesuai harapan.
Bank Dunia dalam laporannya menyoroti skema subsidi bagi perumahan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk memenuhi target kepemilikan rumah antara lain Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Subsidi Selisih Bunga (SSB). Lembaga keuangan itu menganggap FLPP dan SSB tidak efisien dalam hal biaya di muka dan utang di masa depan.
Disebutkan bahwa skema-skema tersebut menguntungkan bank dan pengembang daripada konsumen, dan membuat hengkangnya sektor swasta.
Inefisiensi pun terjadi pada penyaluran subsidi melalui Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang memberikan hibah kepada 40 persen rumah tangga termiskin untuk meningkatkan kualitas rumah tidak layak huni.
Di laporan itu, Bank Dunia menuding skema FLPP dan SSB bersifat regresif, tidak tepat sasaran, dan mudah mengalami kebocoran. Subsidi perumahan juga tidak efektif dalam memenuhi tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam menyediakan rumah yang inklusif, aman, dan memadai bagi semua kalangan karena kelemahan dalam kualitas bangunan, desain program, dan lemahnya penegakan pedoman program.
Dao Harrison, Senior Housing Specialist di Bank Dunia mengatakan walaupun subsidi kredit pemilikan rumah (KPR) telah membantu Pemerintah Indonesia untuk mencapai target kuantitatifnya, namun subsidi tersebut memakan biaya yang mahal dan kemungkinan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang, menciptakan utang jangka panjang, dan risiko tingkat bunga.
“Oleh karena itu, Bank Dunia memiliki beberapa rekomendasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas subsidi perumahan,” kata Dao.
Secara jangka pendek, Bank Dunia menyarankan pengalihan dana ke subsidi yang lebih efisien, progresif, dan lebih tepat sasaran, sambil mengoptimalkan program-program subsidi saat ini untuk meningkatkan efisiensi dan kesetaraan; serta memastikan rumah bersubsidi memiliki kualitas konstruksi bangunan yang baik dan dibangun di daerah-daerah yang strategis dengan akses ke pelayanan dasar.
Kemudian Pemerintah Indonesia juga disarankan dapat mengembangkan program subsidi keuangan mikro perumahan untuk membiayai perbaikan rumah dan perluasan rumah, serta mengembangkan Sistem Informasi Perumahan dan Real Estat (Housing and Real Estate Information System, HREIS) untuk meningkatkan proses perencanaan dalam mengelola pembangunan perumahan yang terjangkau.
Sementara untuk jangka menengah, pemerintah diminta mengembangkan tipologi perumahan alternatif yang hemat biaya dan memenuhi beragam kebutuhan konsumen di daerah perkotaan; mendukung pengembangan perumahan yang terjangkau melalui kerangka Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk mendukung akses ke lahan yang terjangkau dan berlokasi baik; dan mengembangkan kebijakan sewa sebagai solusi alternatif dan pragmatis untuk kepemilikan rumah.
“Pemerintah Indonesia juga perlu mengkaji ulang dan merevisi kerangka kerja peraturan untuk dapat secara jelas menetapkan peran pemerintah daerah (Pemda) dalam menyediakan perumahan yang terjangkau, sambil membangun kapasitas mereka untuk melakukannya,” ujar Dao Harrison.
Keterjangkauan Masyarakat
Selama ini, Bank Dunia menyebutkan kalau keterjangkauan perumahan juga merupakan kendala utama di Indonesia. Hanya 20% rumah tangga terkaya yang mampu membeli rumah di pasar komersial formal, berdasarkan perkiraan biaya rumah rata-rata sebesar Rp440 juta (US$33.000).
Sementara itu, sebanyak 261 rumah tangga di kelompok 40% pendapatan bagian tengah mampu membeli rumah formal yang sama hanya dengan subsidi pemerintah, sementara rumah tersebut tidak dapat diakses oleh rumah tangga di kelompok 40% terbawah.
Tidak heran, Dao berharap agar Pemerintah Indonesia bisa menyediakan pembiayaan perumahan yang lebih hemat dan untuk jangka panjang, seperti menggencarkan program subsidi bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) yang bekerjasama dengan Bank Dunia.
Skema BP2BT mulai dikucurkan pada 2018. Bantuan ini meliputi uang muka KPR dengan jumlah bantuan progresif maksimum Rp 32,5 juta. Tidak seperti FLPP dan SSB yang memiliki tingkat suku bunga tetap sebesar 5%, bank yang berpartisipasi dalam BP2BT memiliki fleksibilitas untuk menetapkan tingkat suku bunga dan harus menggunakan 100% modal sendiri untuk mendanai KPR.