AktualHeadlineTrending

Situasi Pandemi, Perlu Ada Relaksasi Aturan Kepailitan  

REI mengharapkan adanya relaksasi aturan kepailitan ini selama masa pandemi, mengingat seluruh rakyat sedang sulit termasuk pelaku dunia usaha

JAKARTA, KORIDOR  – Pemerintah telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam untuk melindungi seluruh masyarakat. Kondisi force majeure tersebut berdampak terhadap berbagai jenis usaha termasuk di industri properti, dimana pengembang yang semula sehat tiba-tiba mengalami gangguan  cashflow bahkan kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran utang.

Meski dalam situasi force majeure Covid-19, namun di sisi lain kasus gugatan kepailitan terhadap pengembang properti justru terus meningkat. Setidaknya ada 20 perusahaan properti yang digugat pailit sejak awal tahun ini.

Menurut Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida, maraknya kasus kepailitan khususnya di industri properti selain akibat kondisi dunia usaha yang sulit selama pandemi, juga karena mudahnya gugatan pailit dilakukan. Berdasarkan Undang-Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa  “apabila terjadi gagal bayar hutang pada minimal dua kreditur, maka perusahaan dapat dipailitkan”.

“Ketentuan itu membuat gugatan kepailitan menjadi sangat mudah, padahal jika kepailitan terjadi yang rugi bukan hanya pengembang tetapi juga ratusan pembeli lain yang tidak ikut menggugat, terlebih mereka yang belum melakukan akta jual beli. Hal itu seharusnya menjadi pertimbangan juga,” ujar Totok dalam pembukaan diskusi webinar bertema “Relaksasi Pelaksanaan Kepailitan dalam Kondisi Force Majeur Pandemi Covid-19”, Selasa (27/10).

Paulus Totok Lusida

Terlebih lagi, kata dia, saat ini kondisi Indonesia sedang dalam situasi pandemi yang sudah ditetapkan pula menjadi bencana non-alam. Oleh karena itu, REI mengharapkan adanya relaksasi aturan kepailitan ini selama masa pandemi, mengingat seluruh rakyat sedang sulit termasuk pelaku dunia usaha.

Totok menambahkan, industri properti merupakan industri strategis nasional yang mempunyai dampak multiplier terhadap 175 industri ikutan dan 350 industri kecil dan UMKM. Anggota REI kini berjumlah hampir 6.500 perusahaan yang tersebar di 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, sehingga kontribusinya terhadap perekonomian cukup merata.

| Baca Juga:   Komisi V: Persoalan Perumahan Tidak Dapat Diatasi dengan Kebijakan Biasa

“Dari webinar ini kami berharap dapat dirumuskan mekanisme implementasi peraturan yang berkeadilan dengan memerhatikan kondisi force majeur pandemi Covid-19 sehingga tidak merugikan banyak pihak,” kata Totok.

Diskusi ini diselenggarakan oleh DPP REI bekerjasama dengan Unair.

Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Mohammad Nasih yang menjadi keynote speaker di diskusi tersebut mengatakan kasus gugatan kepailitan pengembang memang menjadi salah satu isu yang sangat aktual selama pandemi Covid-19. Padahal semua pihak perlu memahami bahwa situasi pandemi ini bukan kondisi yang bersifat permanen karena nantinya akan ada vaksin dan obatnya.

“Kasus gugatan pailit pengembang ini patut mendapat perhatian terutama dampaknya terhadap perekonomian nasional. Banyak pihak yang terlibat dalam bisnis ini, termasuk ratusan usaha lain yang bergantung kepada industri properti,” tegas Nasih.

Menurut dia, tidak ada yang diuntungkan dari pailit perusahaan properti karena yang menang jadi arang, dan yang kalah jadi abu. Semua pihak, tidak hanya pengembang tetapi konsumen pembeli pun mengalami kerugian. Selain itu, stabilitas nasional dan ekonomi perlu dijaga, karena kalau tidak diperhatikan dikhawatikan terjadi instabilitas mengingat kerugian melibatkan banyak pihak.

Kesulitan keuangan yang dialami banyak perusahaan saat ini diyakini bersifat jangka pendek mengingat pandemi pasti akan berlalu. Oleh karena itu, Nasih menilai kurang tepat jika sengketa utang piutang atau keterlambatan serahterima unit misalnya, diselesaikan melalui jalur kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

Insolvensi dalam akutansi adalah kebangkrutan atau kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional. Syarat ini harus dipenuhi karena badan usaha tersebut sudah tidak punya kemampuan lagi memenuhi kewajiban yang jatuh tempo.

“Artinya, perusahaan yang kekayaan bersihnya masih positif tetapi sedang kesulitan keuangan jangka pendek misalnya akibat pandemi seperti saat ini, maka tidak tepat diselesaikan dalam kerangka kepailitan atau PKPU,” ujar Nasih.

| Baca Juga:   Perizinan, Masalah Paling Pelik di Industri Properti

Sementara Hakim Agung Syamsul Ma’arif menerangkan terkait kasus kepailitan di masa pandemi Covid-19 memang belum ada kebijakan khusus dengan kepailitan dan restrukturisasi utang secara menyeluruh.  Kebijakan yang ada saat ini masih terbatas hanya berkaitan dengan lingkup pembiayaan/kredit perbankan.

Padahal seharusnya law maker di Indonesia mencontoh upaya yang dilakukan sejumlah negara misalnya dengan menaikkan batas insolven, defenisi utang, batas waktu PKPU atau seperti di Singapura yang mengeluarkan larangan kreditur untuk mengajukan kepailitan akibat pandemi hingga akhir tahun ini.

Di Indonesia belum ada payung hukum yang spesifik terhadap kontrak perjanjian yang terdampak Covid-19, dan belum ada ketentuan khusus berkaitan relaksasi kepailitan. Contohnya soal ambang minimum utang, moratorium permohonan PKPU, atau peran pemerintah dalam membantu negosiasi dan restrukturisasi utang.

“Seharusnya ini semua disikapi dengan mengeluarkan undang-undang. Tapi ini merupakan pendapat pribadi saya,” tegas Syamsul.

Batas Nilai Utang

Wakil Ketua Umum DPP REI bidang Regulasi dan Perundang-undangan, Ignesjz Kemalawarta mengungkapkan berdasarkan data yang dimiliki tiga alasan pailit terhadap pengembang yakni menyangkut serahterima unit (57,14%), utang piutang (35,72%) dan penyerahan SHM Sarusun (7,14%).

“Padahal utang piutang dalam sebuah hubungan usaha merupakan hal wajar. Dan meski pun pengembang ada utang dengan salah satu pihak di salah satu proyek properti misalnya apakah itu perbankan, supplier atau kontraktor, kan tidak berkaitan dengan pembeli produk properti lainnya,” ujar Ignesjz.

Sementara dalam kasus kontra prestasi penjualan properti seperti masalah keterlambatan serah terima unit, seharusnya tidak serta-merta didefenisikan sebagai utang.

Menurut Ignesjz, gugatan kepailitan yang bisa dilakukan oleh hanya dua orang dalam konteks yang sifatnya cukup luas dinilai REI terlalu mudah dan kurang tepat. Padahal dampak dari pemberitaan akibat gugatan kepailitan itu sangat berat, karena dapat menghancurkan reputasi dan citra developer dalam sekejap. Sementara belum tentu nantinya perusahaan properti itu benar-benar diputuskan pailit.

| Baca Juga:   Target Penyaluran Dana FLPP Tahun Depan Berpotensi Capai 220 Ribu Unit

“Kami mengusulkan adanya pra-sidang sebelum gugatan kepailitan dan PKPU diajukan ke pengadilan niaga, sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap perusahaan maupun pihak lain yang dapat dirugikan termasuk pembeli,” ujar dia.

Keberatan lain adalah tidak adanya batas nilai utang dan solvency test sehingga sering disalahgunakan dalam persaingan yang tidak sehat. Tidak adanya batas nilai membuat ketidakseimbangan tuntutan pailit meski nilainya kecil dan tidak sebanding terhadap nilai aset properti yang ratusan kali lipat jumlahnya.

Sedangkan tidak adanya solvency test membuat kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan utangnya tidak dapat dipastikan. Ignesjz meminta semua pihak arif dan bijaksana untuk melakukan upaya hukum pailit dan PKPU, serta memikirkan secara utuh dampak untung-ruginya bagi perekonomian nasional.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button