JAKARTA, KORIDOR – Peliknya perizinan perumahan sudah berlangsung lama di Indonesia. Waktu pengurusan izin yang tidak dapat diprediksi bertautan erat dengan biaya perizinan yang akhirnya menjadi sangat mahal. Sektor properti nasional pun harus menanggung biaya produksi yang tinggi.
Sebenarnya berbagai kebijakan pemerintah pusat sudah memberikan kemudahan perizinan bagi pembangunan rumah khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tetapi di bawah justru terhadang arogansi pemerintah daerah.
Padahal, semua orang tahu bahwa semakin banyak tahapan perizinan yang dilalui, maka semakin mahal pula biaya yang harus pengembang keluarkan. Itu yang resmi saja, belum terhitung lagi pungutan liar (pungli) yang kerap harus diladeni dalam mengurus perizinan.
Wakil Ketua Umum Koordinator DPP Realestat Indonesia (REI) Bidang Tata Ruang dan Properti Ramah Lingkungan, Hari Ganie mengakui panjangnya rantai birokrasi, lamanya proses pengurusan izin, hingga besarnya biaya yang harus dikeluarkan sangat membebani pengembang. Dampaknya tentu akhirnya dirasakan juga oleh konsumen, karena harga rumah menjadi lebih mahal akibat tingginya biaya perizinan.
“Memang keluhan utama yang datang dari teman-teman anggota REI di daerah adalah perizinan. Dan itu tidak ada habis-habisnya,” ujar Hari dalam sebuah diskusi, baru-baru ini.
REI menyesalkan masih banyak pemerintah daerah yang enggan mematuhi perintah pusat. Padahal sudah jelas pemerintah pusat memberikan banyak sekali kemudahan antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sebelumnya juga sudah diteken Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyederhanaan Perizinan Pembangunan Perumahan.
Kedua regulasi itu salah satunya memerintahkan pemangkasan izin dalam pembangunan rumah subsidi untuk MBR dari 33 jenis menjadi 11 jenis, pengurangan waktu pengurusan perizinan dari yang sebelumnya bisa hampir dua tahun menjadi 1,5 bulan saja, serta mempersingkat penerbitan IMB induk dan pemecahan IMB dari 30 hari menjadi tiga hari kerja.
Tak sampai disitu, untuk mempermudah koordinasi di daerah dalam pelaksanaan kedua peraturan tadi, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga menerbitkan surat edaran kepada pemerintah daerah pada 27 Februari 2017 terkait penyederhanaan perizinan pembangunan perumahan MBR. Antara lain imbauan supaya ada penggabungan perizinan dan percepatan perizinan.
Beberapa contohnya yaitu mempersingkat Surat Pelepasan Hak (SPH) atas Tanah dari Pemilih Tanah pihak pengembang dari 15 hari menjadi 3 hari kerja. Selain itu, percepatan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Induk dan pemecahan IMB dari 30 hari menjadi 3 hari kerja.
Alih-alih semakin mudah, justru proses perizinan semakin berbelit dan sulit. Banyak sekali peraturan daerah yang sepertinya bertentangan dengan aturan pusat.
Zulfi Syarif Koto, Ketua The HUD Institute, sebuah lembaga think tank di bidang perumahan dan perkotaan, berujar sulit berharap banyak aturan pemerintah pusat dalam kemudahan perizinan perumahan itu efektif di daerah.
“Selama ini yang terlihat apa pun kebijakan pemerintah pusat di bidang perumahan seperti tidak digubris (di daerah),” ujar Zulfi.
Dia mengaku tidak bisa terlalu berharap banyak dari peraturan yang sudah ada karena selain tidak diikuti sanksi, percepatan perizinan ini sulit dijalankan karena di dalam PP 64 tahun 2016 masih banyak sekali pasal-pasal yang kontradiktif. Oleh karena itu, pasal-pasal kontradiktif tadi harus terlebih dahulu direvisi.
Dia menyebutkan bahwa menurut pasal 23 PP No 64 tahun 2016 diamanatkan pembentukan tim percepatan koordinasi di tingkat pusat. Namun hingga kini belum dilakukan, sehingga mengganggu koordinasi dan monitoring di daerah.
“Tim percepatan harus dibentuk dulu oleh pemerintah. Tim inilah yang nanti akan membahas pasal-pasal yang bermasalah tadi. Kalau yang kontradiktif tadi belum dituntaskan, saya kira sampai kapan pun sulit terealisasi percepatan dan kemudahan perizinan rumah untuk MBR,” ungkap Zulfi.
Jadi Jebakan
Pakar Hukum Properti, Erwin Kallo menyebutkan sulitnya mengurus perizinan pada akhirnya membuka ruang tindakan pengembang properti menyuap birokrat pemerintah. Fakta itu dilakukan untuk mempercepat waktu untuk mengurus perizinan.
“Saya kira tidak ada proyek properti di Indonesia yang tidak pakai cara suap atau pungli. Karena memang rentang perizinannya itu terlalu banyak dan terlalu panjang,” ungkap Erwin.
Dia menambahkan, pengembang properti berada pada posisi sulit dalam menjalankan bisnis dan memenuhi harapan konsumen di Indonesia untuk memperoleh rumah yang terjangkau akibat aksi “raja-raja kecil” tersebut.
“Suap itu bukan berarti ada masalah. Tidak ada masalah pun harus suap. Di Indonesia ini benar pun pakai ongkos. Bayar itu untuk apa? Untuk percepatan, karena bisnis itu masalah waktu,” tegas Erwin.
Logikanya, penundaan suatu proyek akibat perizinan terlambat keluar akan menimbulkan biaya cukup besar.