Riset

  • Ini Kata Pengamat Soal Nasib Pasar Apartemen Di Masa Pandemi

    JAKARTA,KORIDOR—Secara umum, pasar apartemen hingga kuartal III ini masih tertekan. Hal itu karena pengembangnya lebih memilih menunda dalam penyelesaian proyek di tengah pandemi Covid-19.

    Sepanjang tahun ini awalnya diperkirakan ada pasokan sebanyak 11.834 unit. Namun, akibat pandemi Covid-19 pasokan baru diperkirakan turun menjadi 3.034 unit.

    “Nah, sejauh ini baru 649 unit yang diserahterimakan,”ungkap Ferry Salanto, Senior Associate Director Research Colliers Indonesia

    Namun menurutnya, pasar apartemen di daerah pinggiran Jakarta seperti Bogor, Depok dan Bekasi (Bodebek) masih prospektif. Namun, pengembang perlu lebih memperhatikan persaingan dengan landed house.

    Ferry menjelaskan bahwa pasar apartemen di pinggiran Jakarta lebih prospektif lantaran memiliki harga jual yang lebih rendah.

    “Prospeknya cukup baik karena kalau bicara di Jakarta itu kan produknya ibarat untuk menengah atas faktor harga tanah di Jakarta,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

    Terlebih dengan pembangunan infrastruktur yang masif saat ini membuat konektivitas yang semakin membaik. Menurutnya, saat ini masyarakat lebih memilih waktu tempuh yang pasti dibandingkan jarak.

    Namun, Ferry menekankan bahwa pengembang apartemen di Bodebek juga harus memperhatikan segmen produk landed house sebagai kompetitor utama. Ia menilai dalam beberapa kasus segmen landed house lebih menarik minat masyarakat.

    “Pada beberapa kasus lebih menarik landed house dibandingkan apartemen karena memiliki tanah sendiri dan operasional tidak terlalu tinggi dibandingkan apartemen,” jelasnya.

    Selain itu, masyarakat yang membeli apartemen di daerah Bodebek lebih banyak end-user.

     “Terkecuali untuk lokasi area komersial seperti BSD ataupun sarana pendidikan seperti universitas, pasar sewanya masih cukup baik,” pungkasnya.

  • Riset Savills Indonesia: Bisnis Perkantoran Terjun Bebas

    JAKARTA,KORIDOR— Pandemi Covid-19 berdampak sangat dalam pada semua lini subsektor propertI, baik perkantoran, pusat perbelanjaan, perhotelan, kondominium. Namun subsektor residensial, masih menjadi benteng terakhir, pengembang untuk menjaga arus kas mereka. Director Research Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus mengatakan untuk perkantoran di wilayah central business district (CBD) Jakarta mengalami penurunan penyerapan hingga 58 persen pada semester I dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Adapun supply perkantoran di CBD mencapai 6,7 juta m2.

    “Sepanjang semester I ini penyerapan ruang kantor yang diminati berada di Grade A lalu disusul dengan premium grade, grade B, dan grade C,” ujarnya pada Kamis, dalam paparan online kepada media,(17/9/2020).

    Ke depan, pasokan ruang kantor di CBD akan didominasi proyek gedung perkantoran Grade A sebesar 55 persen, dan berada di wilayah Sudirman sebesar 42 persen.

    Director Research Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus#foto Istimewa

    Di CBD Jakarta, hingga akhir tahun 2020, tingkat penyerapan ruang kantor masih akan minim yakni sekitar 30 persen hingga 35 persen. Lalu potensi ruang-ruang kosong perkantoran pun meningkat menjadi sekitar 27 persen dari sebelumnya 25 persen pada semester I/2020.

    Untuk harga sewa perkantoran juga tertekan sehingga menjadi keuntungan penyewa melakukan negosiasi ulang. Adapun harga sewa berada di angka Rp180.000 per m2 hingga Rp230.000 per m2 per bulan.

    Untuk perkantoran di luar area atau non-CBD juga mengalami penurunan penyerapan sebesar 20 persen pada semester 1 tahun ini bila dibandingkan dengan semester sebelumnya. Adapun pasokan ruang kantor di luar CBD mencapai 3,1 juta m2.

    “Kenaikan vacancy tertinggi terjadi di perkantoran Jakarta Utara dan Jakarta Selatan,” tambahnya.

    Dia memperkirakan akan ada tambahan pasokan ruang perkantoran sebesar 500.000 m2 akan berada di Jakarta Selatan dengan dominasi perkantoran grade A. Tingginya pasokan akan mendorong tingkat kekosongan tahun depan di sekitar 27 persen hingga 28 persen.

     

  • Riset REI DKI Jakarta Soal Industri Realestat

    JAKARTA,KORIDOR—Dewan Pengurus Daerah (DPD) Realestat Indonesia (REI) DKI Jakarta kembali melakukan Riset Realestat. Riset dilakukan khususnya kepada para pengembang yang terdaftar sebagai anggota REI DKI Jakarta. Namun lokasi proyek yang dikembangkan tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).

    Riset dan survei yang dilakukan berkala setiap tahun tersebut merupakan salah satu program kerja strategis REI DKI Jakarta dibawah pimpinan Arvin F. Iskandar, Ketua DPD REI DKI Jakarta.

    Menurut Arvin F. Iskandar, salah satu tujuan dari kegiatan riset dan survei yang dilakukan oleh DPD REI DKI Jakarta ini adalah untuk memberikan gambaran sekaligus memudahkan pelaku usaha dan konsumen dalam mengambil keputusan.

    Arvin F. Iskandar,Ketua DPD REI DKI Jakarta

    “Riset dan survei ini kami lakukan sendiri. Dari hasil riset, kami khususnya sebagai pelaku usaha bisa mendapatkan gambaran dan mengetahui persepsi para pengembang anggota. Sekaligus menjadi pedoman untuk merancang strategi pengembangan produk, sesuai profil industri. Sedangkan untuk pemerintah maupun stakeholder terkait lainnya, mereka bisa membuat kebijakan atau evaluasi tindakan untuk bisa menggerakkan roda ekonomi,” ujar Arvin.

    Terkait hasil riset dan survei, Arvin mengatakan, hampir semua pengembang di Jabodetabek dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini mengalami penurunan penjualan. Namun pada akhir tahun 2019 sudah mulai membaik.

    “Tahun lalu sebetulnya berat. Tetapi kami masih optimis dan itu tercermin dari hasil riset kami, bahwa 73 persen menyatakan bahwa kondisi realestat sama atau bahkan lebih baik dari tahun sebelumnya. Sebanyak 61 persen menyatakan penjualan produk tahun 2019 sama atau bahkan lebih baik dari  tahun sebelumnya. Dari sisi regulasi dan dukungan pembiayaan demikian juga,” terang Arvin.

    Sebanyak 86,5 persen menyatakan bahwa suku bunga kredit memberikan dampak lebih baik bagi iklim usaha. 79,3 persen menyatakan pemerintah sudah cukup baik, bahkan sangat baik dalam menyediakan infrastruktur.

    Kendati awal 2020 industri Realestat digempur pandemi Covid-19, Arvin berharap berbagai stimulus yang diberikan pemerintah bisa dieksekusi pelaku usaha.

    “Hampir semua subsektor realestat terdampak. Okupansi hotel maksimum tinggal 15-20 persen. Demikian juga dengan ritel. Beberapa anggota kami yang kesulitan sudah meminta rescheduling hutang ke perbankan. Namun, tidak gampang,” keluhnya.

    Untuk jenis residensial, Arvin mendapat banyak laporan dari anggota REI jika semakin banyak pengembang yang susah melakukan akad kredit terkait persyaratan perbankan. Beragam strategi untuk bertahan dilakukan. Diantaranya menekan biaya operasional semaksimal mungkin, gimmix marketing, serta pemberian subsidi bunga oleh pengembang.

    “Gerak cepat pemerintah sangat diperlukan. Permudah perijinan. Kita tentu tidak berharap terjadi resesi. Pengembang harus kerja sangat keras untuk bisa bertahan. Akibat pandemi kondisi sebagian besar anggota terutama di DKI Jakarta semakin melemah akibat penurunan aktivitas ekonomi. Tingkat penjualan drop, sementara biaya yang harus dikeluarkan tetap,” ujar Arvin.

    Kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Arvin tetap berharap untuk menggairahkan bisnis Realestat dengan memberikan keringanan pajak hotel dan restoran dalam menghadapi pandemi virus corona. Beberapa permintaan REI DKI Jakarta diantaranya adalah: pemberian diskon 50 persen Pajak Bumi dan Bangunan untuk tahun 2019, penundaan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 2020-2021, tanpa denda, potongan pajak reklame 50 persen, dan PPh + pajak hotel tidak diberlakukan karena selama 5 bulan banyak hotel dan bisnis ritel yang tutup tidak operasional. Tidak hanya itu, Arvin juga minta Tarif PLN dan Gas diberikan diskon.

    “Kami meminta otoritas berwenang mempertimbangkan stimulus agar jangan sampai pengembang mengalami kesulitan untuk membayar kredit. Beri kami ruang gerak dulu, minimum sampai akhir tahun,” harap Arvin.

    Hasil Riset REI DKI Jakarta

    Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Riset dan Hubungan Luar Negeri DPD REI DKI Jakarta, Chandra Rambey mengungkapkan bahwa riset dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan metode pengumpulan data primer berupa survei melalui penyebaran kuesioner atau wawancara. Tujuannya, untuk mengetahui siapa responden, apa yang difikirkan dan dirasakan atau kecenderungan suatu tindakan.

    Persepsi Anggota REI DKI Jakarta terkait dengan perkembangan Industri Realestat terakhir dan kinerja produk yang dikembangkan oleh anggota REI DKI Jakarta.

    Survey dilakukan quartal pertama tahun 2020 untuk memotret perkembangan Industri Realestat pada tahun sebelumnya. Riset kedua ini tentu sudah lebih baik dari sebelumnya karena indikator persepsi yang kami survei lebih lengkap dari yang pertama, namun belum menangkap secara utuh dampak covid-19 terhadap Industri Realestat” ujar Rambey yang menjadi penanggungjawab riset.

    Chandra Rambey, Wakil Ketua Bidang Riset dan Hubungan Luar Negeri DPD REI DKI Jakarta,

    Berdasarkan survey yang dilakukan menurunnya daya beli masyarakat menjadi pemicu penurunan kinerja penjulan untuk semua sektor produk realestat yang dikembangkan.

    Sebanyak 62,7% berpendapat faktor yang paling mempengaruhi penjualan realestat tahun 2019 adalah menurunnya daya beli masyarakat.

    Data ini agak berbeda dengan riset REI DKI Jakarta sebelumnya dimana tingginya persaingan menjadi faktor utama penurunan penjualan, namun pada riset REI DKI Jakarta 2020 hanya 34,7 % berpendapat tingginya persaingan diantara pengembang menjadi faktor penyebab turunnya penjualan.

    Disisi pembiayaan, Pembiayaan melalui Perbankan masih menjadi yang paling banyak digunakan baik untuk Kredit Investasi dan Kepemilikan Rumah.

    Dari hasil survei yang dilakukan semester I 2020 lalu ini, diantara beberapa indikator memperlihatkan bahwa menurut pengembang, Perizinan (82%), Pajak dan Restribusi (81%) serta Kondisi Makro Ekonomi (81%) sangat mempengaruhi iklim investasi dibidang realestat. Sedangkan kemudahan pembiayaan dari perbankan/pasar modal (76,6%), harga lahan (62,3%) dan biaya konstruksi (52,8%).

    Dalam hal jenis produk, maka sebanyak 52% menyatakan bahwa realestat yang paling menarik untuk dikembangkan adalah Perumahan Menengah dan Atas. Namun  Perumahan Menengah Bawah khususnya Rumah Sederhana Bersubsidi merupakan produk yang paling memberikan kinerja terbaik sepanjang 2019.

    Sebanyak 34,1% pengembang REI DKI Jakarta adalah pengembang perumahan menengah dan atas. Sebanyak 29,4% sedang tidak menjalankan proyek tahun lalu serta sebanyak 21% mengembangkan apartemen jual.

    REI DKI Jakarta juga melakukan survei terkait Persepsi RTRW DKI Jakarta 2014 – 2019 menjawab tantangan pengembangan kota Jakarta yang berbasis mass transport dan pedestrian friendly serta kemudahan untuk mendapatkan perizinan dalam membangun realestat yang dikembangkan.

    “29% menyatakan RTRW DKI 2014-2019 menjawab tantangan pengembangan kota. Dan 45% menyatakan sangat mudah atau mudah atau cukup mudah mendapatkan perizinan membangun reaelstat”.

    Tentu sebagai wadah para pengembang, DPD REI DKI akan melakukan riset-riset untuk membantu anggotanya dan masyarakat seperti dampak Pandemi COVID 19 terhadap Industri Realestat kedepan, “pungkas Rambey.

     

  • Pelaku Realestat Asia Pasifik Optimis Pemulihan COVID-19

    JAKARTA,KORIDOR—Dalam laporan berjudul “Optimisme dalam Menghadapi Krisis”, yang diterbitkan JLL, para pemimpin Corporate Real Estate (CRE) di Asia Pasifik optimis mengenai bisnis dan rencana pemulihan ekonomi di tengah dampak pandemi yang sedang berlangsung. Setidaknya sembilan dari sepuluh koresponden percaya bahwa upaya-upaya untuk mengurangi dampak COVID-19 akan berhasil dan yakin pada kemampuan sumber daya mereka dalam mengatasi krisis saat ini.

    JLL melakukan survei pada 200 pimpinan Corporate Real Estate di Asia Pasifik, termasuk Australia, Cina, Hong Kong, India, Jepang, Korea, Malaysia, Taiwan, Thailand, Singapura, dan Selandia Baru. Responden diwawancarai oleh JLL pada bulan Juni 2020. Pemimpin CRE adalah para eksekutif yang melakukan pengawasan strategis serta bertanggung jawab terhadap jumlah portofolio dan manajemen properti untuk perusahaan mereka masing-masing.

    Hampir 80% percaya bahwa mereka memiliki mitra layanan perusahaan properti yang tepat untuk memberi masukan mengenai langkah-langkah ke depan dan 70% yakin akan kemampuan pemerintah mengatasi risiko di masa yang akan datang. Para pemimpin CRE ini memperlihatkan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap efektivitas perencanaan kelangsungan bisnis mereka dan 88% menilai rencana mereka berjalan efektif, bahkan sangat efektif.

    Meskipun sebagian besar (76%) pemimpin CRE di Asia Pasifik memprediksi dampak yang hanya bersifat moderat atau rasionalisasi yang wajar (ekspansi atau penurunan) terhadap portofolio real estate mereka akibat COVID-19, namun tidak semua memiliki pandangan yang sama.

    Mereka yang berada di Australia dan Hong Kong lebih fokus pada rasionalisasi yang stabil. Sedangkan para pemimpin di India mengantisipasi rasionalisasi yang berlangsung masif dan cepat. Di luar perbedaan tersebut, setengah dari semua pemimpin CRE yakin volume portofolio mereka akan tetap sama dalam jangka menengah hingga panjang. Dua pertiga pemimpin CRE (63%) juga mengharapkan total lokasi yang mereka miliki tidak akan berubah.

    “Saat sektor korporasi bersiap untuk normalisasi di tengah pandemi, kepercayaan diri yang tinggi dari para pemimpin CRE menunjukkan peluang besar seraya kita mendefinisikan ulang perkantoran di masa depan. Ini memperjelas bahwa dimasa depan kita harus mempertimbangkan realitas baru serta evolusi kantor sebagai tempat bekerja. Kami melihat bahwa para pemimpin CRE akan mulai mempertimbangkan hal ini dalam pengambilan keputusan mereka,” kata Anthony Couse, CEO, Asia Pasifik, JLL.

    James Taylor, Head of Research, JLL Indonesia menambahkan: “Kantor akan tetap ada meskipun kondisi pandemi telah mempercepat perubahan, yang sudah terjadi bahkan sebelum adanya COVID-19, pada perkantoran. Kami cenderung melihat fokus yang lebih besar pada kesehatan dan kesejahteraan, dan akan lebih banyak investasi dalam teknologi, bersamaan dengan bertambahnya ruang kolaboratif serta lingkungan kerja yang fleksibel pada perkantoran di Jakarta.”

    Saat memasuki era pasca-pandemi, JLL melihat empat implikasi bagi properti komersial seraya para pemimpin CRE mengupayakan keberhasilan di masa yang penuh perubahan ini:

    1. Prioritas kesehatan dan kesejahteraan akan mengubah aneka ragam portofolio properti untuk mengakomodasi tenaga kerja yang lebih fleksibel. 

    Hampir dua pertiga (58%) pemimpin CRE mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan karyawan sebagai prioritas investasi utama. Untuk mendukung tujuan menjaga jarak aman di kantor dan memberikan dukungan fleksibel kepada tim yang bekerja jarak jauh, permintaan akan ruang atau aset berkualitas lebih tinggi dapat meningkat, dan pada aneka ragam portofolio mungkin akan terlihat adanya penambahan untuk kantor sedang/kecil atau ruang kerja fleksibel/bersama.

    1. Kombinasi beberapa strategi CRE akan diperlukan untuk mengurangi kepadatan area kantor.

     Guna memenuhi permintaan akan syarat-syarat kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik, tipe kantor baru ini akan memiliki jumlah kursi yang lebih sedikit per 100 karyawan, desain ulang dan perombakan denah sesuai dengan aturan pembatasan jarak fisik, pembagian tim, pengaturan kerja shift, dan perluasan kebijakan untuk bekerja jarak jauh.

    1. Teknologi akan berperan sangat penting dalam keberhasilan cara kerja yang baru.   

    Karyawan merasa lebih produktif saat mereka siap dengan teknologi. Mereka yang dibekali peralatan berteknologi canggih juga akan merasa lebih produktif. Cara yang memungkinkan kerja jarak jauh dan kolaborasi dikantor dinilai oleh para pemimpin CRE menjadi investasi yang utama untuk memiliki teknologi yang canggih dengan nilai lebih dari dua kali lipat teknologi lainnya. Investasi dalam teknologi harus terus disikapi dengan serius oleh para pemimpin CRE untuk kantor di masa depan.

    1. Adopsi sistem bekerja jarak jauh secara lebih luas akan mempengaruhi investasi CRE di masa mendatang.

    Pekerja menikmati fleksibilitas dan kendali dengan bekerja jarak jauh dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka.  Pengusaha telah menyadari bahwa banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dengan jarak jauh. Para pemimpin CRE perlu mempertimbangkan investasi pada teknologi yang mengoptimalkan produktivitas serta kolaborasi antar pekerja yang berada di kantor dan yang bekerja dari jauh.

    “COVID-19 seketika mengubah tempat kerja serta cara bekerja para pemilik perusahaan dan karyawan. Para pemimpin CRE telah mengadopsi berbagai strategi untuk menghadapi tantangan ini. Masa depan kantor Asia Pasifik terlihat cerah dan para pemimpin CRE nampaknya akan lebih fokus pada aspek keamanan dan keberlanjutan pada perkantoran baru yang modern bagi seluruh pengguna kantor,” kata Roddy Allan, Chief Research Officer, Asia Pasifik, JLL.

     

     

  • Aturan Ketat bagi WNA Hambat Laju Pasar Apartemen Mewah

    JAKARTA, KORIDOR— Pelonggoran aturan kepemilikan properti bagi Warga Negara Asing (WNA) diyakini mampu mendongkrak gairah industri properti nasional. Hanya saja tingginya animo WNA untuk membeli properti di Indonesia terutama untuk pasar apartemen mewah masih terbentur berbagai kendala.

    Karena alasan itu, Taipan Sugianto Kusuma yang juga pengembang apartemen mewah di Jakarta berharap dan terus mendorong pemerintah untuk memberikan kemudahan pembelian properti bagi pasar asing guna mendongkrak geliat industri properti, penggunaan bahan lokal dan penyerapan tenaga kerja.

    Apalagi kabarnya Presiden Jokowi sudah memberi deadline bahwa akhir Agustus 2020 warga negara asing (WNA) sudah bisa membeli properti di Indonesia. “Diharapkan hal itu benar-benar dapat diselesaikan karena sudah banyak yang menunggu-nunggu,” ujar taipan yang kerap disapa Aguan itu.

    Dia pun berharap Indonesia dapat memberikan kemudahan untuk mendapatkan citizen pass, PR atau longstay/multiyear visa bagi warga asing yang memiliki properti di Indonesia seperti yang juga diberlakukan di Malaysia, Singapura atau Thailand. Dengan begitu, Indonesia akan menjadi lebih menarik apalagi Indonesia sedang gencar menarik masuknya investasi asing.

    Pengamat Properti yang juga Direktur Riset dan Konsultansi Savills Indonesia, Anton Sitorus mengatakan, Indonesia khususnya Jakarta memiliki potensi yang sangat besar untuk dilirik asing, jika dibanding kota-kota besar lainnya di Asia. “Hanya saja karena aturan yang agak ketat membuat pasar apartemen mewah kita menjadi kalah bersaing dengan kota-kota besar lainnya, dan membuat investor asing enggan untuk berinvestasi,” imbuhnya.

    Pertumbuhan pasokan diperkirakan akan melambat hingga 2023.

    Ia juga menambahkan, selain perpajakan yang tinggi, soal regulasi memang menjadi salah satu kendala yang menghambat perkembangan apartemen mewah di Jakarta. “Perkembangan apartemen mewah di Jakarta mencapai puncaknya sekitar awal tahun 2000-an lalu hingga 2012. Tetapi kemudian melambat dari tahun 2016 dan seterusnya. Pertumbuhan pasokan diperkirakan akan melambat hingga 2023,” ungkap Anton.

    Harga Terus Bergerak Naik

    Dilansir dari hasil riset yang dikeluarkan Savills Indonesia, harga properti khususnya apartemen mewah terus bergerak naik dari waktu ke waktu. Di Jakarta selatan misalnya, sejak tahun 2019 harga rata-rata apartemen mewah sudah mencapai Rp48 juta /m2. “Pada tahun 2012, harga rata-rata di Jakarta Selatan naik secara signifikan menjadi sekitar Rp 24 juta /m2, naik sekitar 63% dari 14,7 juta /m2 di tahun sebelumnya. Sekarang, harga rata-rata apartemen mewah di wilayah ini sekitar Rp 48 juta /m2,” terang Anton..

    Di lokasi lain seperti SCBD, juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Sebagai wilayah paling utama di ibu kota, proyek apartemen di CBD Jakarta memiliki tingkat tertinggi dibandingkan dengan daerah lain. Puncak pertumbuhan harga terjadi antara periode 2013 dan 2014, dimana harga pasar rata-rata sekitar mencapai Rp 55 juta /m2. Namun seiring dengan penurunan dalam beberapa tahun terakhir, harga rata-rata di CBD Jakarta sekarang berada di sekitar Rp 52 juta /m2.

    Sementara itu di Jakarta Barat dan Utara yang merupakan lokasi yang populer di kalangan masyarakat elit dan berduit, juga mengalami pertumbuhan meski tidak setinggi di wilayah CBD dan Jakarta Selatan. “Harga rata-rata harga di Jakarta Barat dan Utara jauh lebih rendah. Harga rata-rata pada tahun 2017 adalah Rp 27 juta /m2 dan relatif stabil pada tingkat itu sampai sekarang,” kata Anton. (*)

  • Pergeseran Demografi Bakal Pengaruhi Pasar Properti Global

    smart city/foto istimewa

    Laporan penelitian Cushman & Wakefield menyebutkan bahwa sekitar 693 juta orang generasi baby boomers akan memasuki masa pensiun, dan 1,3 miliar orang generasi milenial akan memasuki masa bekerja pada 2030. Kondisi itu diperkirakan akan merubah wajah pasar properti secara global terutama di kota-kota besar dunia.

    Dominic Brown, Kepala Wawasan dan Analisis Asia Pasifik di Cushman & Wakefield. menyebutkan pensiunnya jutaan baby boomers dan debut pekerja Generasi Z atau milenial bersamaan dengan perubahan demografis penduduk dunia memiliki implikasi besar bagi industri realestat dunia, investor dan pembuat kebijakan di seluruh dunia.

    “Semua pemangku kepentingan perlu memahami dampak tren ini dan cara memposisikan diri untuk memaksimalkan peluang,” ungkap Brown.


    Laporan tersebut menganalisis pergeseran seismik dalam angkatan kerja di seluruh dunia dalam 10 tahun ke depan, dimana diperkirakan 693 juta baby boomers mencapai usia pensiun dan 1,3 miliar anggota Gen Z mulai memasuki angkatan kerja.

    Generasi Z adalah generasi yang lahir dalam rentang tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Generasi ini merupakan generasi peralihan dari Generasi Y dengan teknologi yang semakin berkembang.

    Diungkapkan dalam laporan Cushman & Wakefield bahwa milenial memiliki strategi pendekatan tersendiri dalam memilih tempat kerja, lokasi tempat tinggal hingga jenis hunian yang sesuai keinginan mereka. Selain itu, tren demografis ini akan mendorong laju pertumbuhan hunian di kota-kota di seluruh dunia.

    “Kota-kota perlu memantapkan diri mereka sebagai tempat untuk menarik pekerja  tinggal dan menciptakan peluang realestat yang besar di masa mendatang,” papar dia.


    Cushman & Wakefield membandingkan pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan PDB lebih dari 137 kota di seluruh dunia. Kota-kota dengan pertumbuhan tinggi di kedua kategori, menurut riset itu, disebutkan memiliki prospek kuat dalam menarik permintaan realestat. Sementara pertumbuhan yang lambat di kedua kategori tersebut menunjukkan pasar yang akan tertinggal.

    Kota-kota dengan pertumbuhan PDB yang lebih cepat daripada populasi usia kerja adalah pasar produktif tinggi yang mungkin menarik bagi investor saat mereka menaikkan proposisi nilai. Sebaliknya, pasar dengan pertumbuhan tenaga kerja yang lebih besar daripada PDB dianggap sebagai pasar produktivitas rendah.

    Hunian Perkotaan

    Studi ini menyimpulkan bahwa kota-kota dengan kinerja terbaik dan potensial di dunia terletak di Asia Tenggara dan India, yang menjadi pertanda baik bagi pertumbuhan ekonomi dan kekuatan pasar realestat di kota-kota di wilayah tersebut. Kota-kota lain dengan produktivitas tinggi diproyeksikan terjadi di China.

    Sedangkan sebagian besar kota di Eropa dan Amerika Utara digolongkan memiliki produktivitas rendah atau pasar tertinggal untuk pertumbuhan ekonomi dan realestat pada 2030 mendatang.

    Kevin Thorpe, Kepala Ekonom dan Kepala Riset Global Cushman & Wakefield menambahkan pihaknya sangat terkejut bahwa perilaku generasi menggantikan perilaku budaya. Pekerja Gen Y dan Gen Z, sampai taraf tertentu, memiliki preferensi tempat kerja yang serupa di mana pun di dunia tempat mereka tinggal. Meski kedua generasi ini juga memiliki banyak perbedaan dalam beberapa hal.

    “Misalnya, strategi tempat kerja perlu memperhitungkan berbagai persyaratan yang terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan profesional masa depan. Memahami nilai-nilai generasi ini, bagaimana dan di mana mereka ingin bekerja, dan kekuatan dan kelemahan interpersonal mereka akan meletakkan dasar untuk mengamankan talenta terbaik yang tersedia,” ungkap Thorne.

  • Aplikasi Teknologi dan Pertaruhan Industri Properti

    Property Technology/foto istimewa

    Di era teknologi ini, hampir seluruh hal dalam kehidupan dirambah pula oleh teknologi. Tidak terkecuali di industri realestat yang ditandai dengan tumbuhnya banyak aplikasi property technology (proptech) bak jamur di musim penghujan. Pasca pandemic Covid-19, industri ini diprediksi akan semakin berkibar.

    Sebelum pandemi coronavirus marak diakui realestat adalah sektor yang sangat konservatif dan selalu terlambat bersentuhan dengan teknologi. Cara-cara produksi dan penjualan yang dilakukan secara konservatif selalu saja dianggap masih paling efektif karena mengedepankan interaksi langsung antara penjual dan konsumen.

    Tetapi itu dulu. Ya, zaman terus berubah. Saat ini penggabungan antara penjualan properti dengan teknologi akan menjadi sebuah keharusan, kalau tidak mau disebut sebuah kewajiban yang mutlak harus diterapkan oleh para pelaku bisnis realestat di tengah pembatasan interaksi sosial dan fisik manusia. Aplikasi proptech juga sudah berkembang cepat untuk memenuhi tuntutan zaman tersebut.

    “Air BnB adalah salah satu contoh awal penerapan proptech dan saat ini semakin banyak pilihannya. Kondisi itu akan berkembang pesat terus dan masuk ke sektor lain di industri properti termasuk untuk sarana menjual properti,” ungkap Anton Sitorus, Head of Research and Consultancy Savills Indonesia dalam laporan risetnya.

    Investor sudah mulai melihat potensi besar dan kesempatan yang ada di bisnis proptech. Banyaknya penduduk kelas menengah dan naiknya tren sharing economy mendorong kepercayaan diri investor untuk menaruh hati pada proptech di masa depan. Ditambah lagi, dengan semakin berkembangnya sistem internet sehingga permintaan dan kebutuhan terus bertumbuh.

    Investasi di Proptech tercatat sudah menyentuh rekor secara global di tengah tren ekosistem startup yang bergerak datar. Berdasarkan riset CRETech, investasi di sektor Proptech sudah mencapai US$14 miliar pada semester I 2019, naik 309% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

    Pada pengembangan awalnya, proptech didorong oleh perkenalan dari adanya komputer personal pada awal 1970 – 1980 melalui beragam perangkat lunak yang bisa melakukan analisa data seperti Excel, Argus, dan Autodesk. Dengan itu, komputer menjadi alat paling penting di dunia properti.

    Hadirnya internet dan penggunaan gawai juga kemudian membawa proptech ke generasi 2.0. perkembangan teknologi dan internet membuat pengembang dan konsumen semakin mudah melakukan analisa proyek dan kinerja termasuk mencatat transaksi, marketing, dan pengawasan proyek untuk mengakomodir kebutuhan konsumen.

    Hadirnya generasi kedua proptech juga dimulai dengan hadirnya pengembangan bangunan-bangunan pintar dan kota pintar. Banyak pula ruang-ruang yang bisa digunakan bersama dan diakses melalui platform teknologi seperti Air BnB dan We Work. Selanjutnya, penggunaan perangkat lunak, aplikasi di multiplatform, dan marketing secara daring (dalam jaringan) juga mulai menjadi suatu hal yang lumrah.

    “Perkembangan teknologi yang sangat pesat, ditambah dengan pembiayaan yang besar-besaran, membawa proptech ke level selanjutnya. Saat ini Proptech berkembang ke spektrum yang lebih luas. IoT, Big Data, Blockchain, jadi kata kunci dalam teknologi real estat,” sambung Anton.

    Sejumlah perusahaan startup sudah menggunakan IoT untuk memahami pergerakan tren di masyarakat lebih baik terkait bagaimana cara orang menggunakan suatu bangunan. Data yang sudah terkumpul dari penggunaan berbagai gawai akan dianalisa menggunakan Kecerdasan Buatan (AI) yang bisa dilakukan dalam waktu singkat, perusahaan yang sudah punya datanya bisa menggunakan data tersebut untuk melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan lebih lanjut.

    Proptech di Indonesia

    Menurut Anton, di Indonesia, proptech serupa dengan tren global dengan pertumbuhannya lambat tapi mulai bergerak semakin cepat. Proptech di Indonesia diawali dengan listing properti secara online yang mulai populer pada awal 2000an. Banyak startup yang terus berkembang untuk menopang kebutuhan Proptech di antaranya property.net, indoproperty.com, rumah123.com, rumah.com, rumahdijual.com, Rentfix, Urbanindo dan lain-lain.

    Kemudian, tipe proptech lainnya ikut berkembang, termasuk kategorinya yang semakin beragam, tidak hanya fokus pada pemasaran atau listing properti, tapi juga menggunakan aspek digital di dalam pengembangan. Salah satu yang menjadi contohnya adalah sinarmas land yang menerapkan teknologi IoT, Cloud data Hub, dan internet berkecepatan tinggi serta aplikasi mobile untuk melakukan manajemen proyek, marketing, dan layanan pelanggan.

    “Secara keseluruhan, proptech di Indonesia dikategorikan menjadi lima sektor, yaitu listing properti dan layanan pencarian, agen pemasaran, ruang alternatif, manajemen properti dan KPR dan pembiayaan,” jelas Anton.

    Anton Sitorus

    Savills juga mengantisipasi bahwa di masa depan akan lebih banyak platform proptech akan dikembangkan untuk mendukung pengembang properti termasuk kemungkinan munculnya banyak aplikasi yang memungkinkan calon pembeli melihat secara detail rumah atau unit contoh secara virtual dengan tampilan layaknya kondisi di lapangan.

    Dengan teknologi ini maka calon pembeli dapat memutuskan untuk membeli satu produk properti tanpa harus datang ke kantor pemasaran atau lokasi proyek.

    Menurut Anton, semakin bertumbuhnya proptech di Indonesia juga dipengaruhi oleh pengguna internet di Indonesia terus menunjukkan tren pertumbuhan dari tahun ke tahun. Hal itu menjadikan Indonesia sebagai potensi pasar ekonomi digital terbesar sekaligus menjadi incaran banyak investor.

    Mengacu hasil survei yang dilakukan Google-Temasek Bain & Company dan e-Conomy SEA 2019, jumlah pengguna internet Indonesia pada 2019 diperkirakan bisa mencapai 152 juta orang atau meningkat signifikan jika dibandingkan angka pada 2015 yaitu 92 juta pengguna internet.

    Dengan angka tersebut, bisa dibilang Indonesia menguasai separuh dari total pengguna internet di Asia Tenggara yang jumlahnya mencapai 360 juta. Dengan potensi tersebut, posisi Indonesia di mata dunia tidak bisa dianggap enteng.

    Generasi Milenial

    Perkembangan proptech di masa depan juga dipengaruhi pasar properti yang akan dikendalikan oleh generasi milenial yang sangat akrab dengan kemajuan teknologi. Cara-cara penjualan properti secara konvensional diyakini akan semakin ditinggalkan.

    Sekretaris Jenderal DPP Realestat Indonesia (REI) Amran Nukman HD menyebutkan potensi generasi milenial untuk membeli properti relatif besar. Kemampuan kelompok ini memenuhi gaya hidupnya selama ini karena ditopang penghasilan yang cukup memadai. Hal itu tercermin dari menjamurnya kafe-kafe yang menyediakan beraneka ragam menu kopi dengan banderol yang cukup fantastis.

    Amran Nukman HD

    “Apabila penghasilan milenial itu digabung dengan pasangannya, tentu daya beli mereja akan jauh lebih besar lagi. Jadi mestinya generasi milenial mampu mencicil rumah Rp 2,5 juta sampai Rp 3 juta per bulan,” ujar dia.

    Amran memperkirakan dalam tiga atau lima tahun ke depan generasi milenial akan menjadi pembeli potensial produk properti, seiring perkembangan pola pikir serta pendapatan mereka yang terus bertumbuh. Namun diakui, generasi milenial ini masih terus membutuhkan edukasi agar mereka tertarik berinvestasi properti.

  • Konsumen Kini Lebih Minati Beli Properti Lewat Digital

    properti digital
    /properti digital/foto istimewa

    Jakarta, Koridor – Pandemi Corona mendorong banyak orang untuk berada di rumah saja, apalagi di tengah ekonomi yang memburuk banyak orang yang juga memangkas rencana mereka termasuk untuk membeli rumah. Selama Pembatasan Skala Besar-Besaran (PSBB) diberlakukan, justru banyak orang yang mengunjungi situs jual-beli rumah.

    Sejumlah portal teknologi jual-beli rumah atau property technology (proptech) melaporkan lonjakan pengunjung situs mereka. Portal Rumah.com misalnya, merilis kalau kunjungan situs di kuartal I-2020 (Januari-Maret) mencapai 3 juta orang per hari, dan pencari masih aktif mengakses portal tersebut memasuki April 2020. Demikian juga dari sisi jumlah total impresi pada listing properti tetap stabil.

    Marine Novita, Country Manager Rumah.com mengatakan pandemi Covid-19 akan meninggalkan jejak perubahan perilaku konsumen dalam jangka panjang termasuk di pemasaran properti. Konsumen juga sudah merasakan manfaat dari membeli atau menjual rumah melalui pasar digital, sehingga portal Proptech akan menjadi saluran masuk baru dalam industri realestat.

    “Dengan itu, kami berharap untuk melihat peningkatan adopsi karena kami terus memperkenalkan fitur-fitur baru untuk meningkatkan pengalaman pengguna di platform kami,” jelas Marine dalam sebuah web seminar, baru-baru ini.

    Sejak awal pandemi, Rumah.com melaporkan bahwa sekitar 80% pengunjung mencari rumah di situs tersebut, disusul 8% mencari tanah, sebesar 6% mencari apartemen, 3% mencari ruko, 1% mencari vila, dan 2% lain-lain.

    Secara lokasi, sebanyak 35% pengunjung mencari rumah di Jakarta, 25% mencari rumah di Kota dan Kabupaten Tangerang, serta Kota Tangerang Selatan, 18% di Bogor, 13% di Bekasi, 11% di Depok, 9% di Surabaya, dan 35% lagi di Bandung, Bali, Malang, Medan, Semarang, dan lain-lain.

    Sementara secara harga properti, Marine menjelaskan kalau sentimen positif harga properti semenjak akhir 2019 diluluhlantakkan dengan hadirnya Covid-19. Di Jakarta misalnya, harga properti pada kuartal I-2020  turun 1,4% dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun yang paling parah terjadi di Jawa Timur yang mengalami penurunan hingga 5,14% secara kuartalan.

    Portal jual-beli properti Lamudi.co.id juga mencatat bahwa tren pencarian rumah di bulan Ramadan tahun ini meningkat drastis hingga 100% terutama saat memasuki jam sahur atau pada pukul pukul 03.00 WIB hingga 05.00 WIB.   

    Berdasarkan data Lamudi, rata-rata pencarian rumah saat waktu sahur mencapai 12.000-an pengunjung atau melonjak tajam jika dibandingkan biasanya yang  rata-rata 5.000-an pengunjung. Tren pencarian rumah juga meningkat pada pukul 12.00 WIB hingga 14.00 WIB dan setelah buka puasa pada pukul 19.00 WIB hingga 20.00  WIB.

    Rata-rata harga rumah yang paling banyak dicari rata-rata seharga Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar yang berlokasi di Jabodetabek. 

    Namun, meski terjadi tren peningkatan pengunjung, namun Lamudi menyebutkan belum dapat mencatatkan data ke dalam bentuk transaksi. Sebab Lamudi merupakan portal properti atau marketplace, sehingga transaksi jual beli terjadi di luar platform tersebut.

    CEO 99 Group Indonesia, Chong Ming Hwee menyebutkan selama masa pandemi tercatat sekitar 22% calon konsumen mencari informasi properti melalui portal, 20% melalui media sosial, 14% melalui mesin pencari, dan 10% dari situs pengembang secara langsung.

    “Ini menunjukkan ada tren peningkatan minat masyarakat mencari informasi properti melalui jaringan internet selama masa PSBB diberlakukan. Artinya penjualan sektor properti masih memiliki harapan yang cerah di tengah ketidakpastian akibat virus corona ini,” kata Ming Hwee.

    Merujuk statistik marketplace properti 99.co dan Rumah123.com yang merupakan bagian dari 99 Group, sdekitar 26% calon konsumen mencari properti dengan harga Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar, 15% di rentang harga Rp 750 juta hingga Rp 1 miliar, 15% di harga Rp 500 juta hingga Rp 750 juta; serta 26% di rentang harga Rp 250 juta hingga Rp 500 juta.

    Selain itu, dia juga mengatakan bahwa setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hampir 65% responden masih takut untuk melihat langsung rumah secara fisik, namun 96% merasa bahwa melalui foto 360 derajat dan virtual reality cukup efektif untuk melihat kondisi rumah yang diminati.

    Ikuti Konsumen       

    Dari sisi pengembang,  Yance Onggo, Marketing Director PT Ciputra Residence mengungkapkan selama masa pandemi ini telah terjadi berbagai perubahan perilaku dalam penjualan properti.

    Dari sisi karyawan, Ciputra misalnya memprioritaskan keselamatan dan kesehatan karyawan sehingga diberlakukan kerja dari rumah atau Work From Home (WFH) dan juga sistem piket. Selain itu, karyawan juga diminta untuk mengoptimalkan kemajuan teknologi untuk tetap bisa berkoordinasi.

    “Intinya, kami mengoptimalkan tim, sistem pemasaran yang inovatif dan adaptif terhadap teknologi untuk melakukan penjualan baru, dan fokusmenyiapkan produk baru yang dapat dipasarkan setelah Covid-19 usai dengan situasi “The New Normal”, Work From Home dan Learn From Home,” jelas Yance dalam sebuah diskusi webinar.

    Selain terus membina komunikasi dan hubungan dengan semua stakeholder properti, menurut Yance, yang sangat penting untuk diantisipasi jika wabah ini selesai adalah memilih proyek dan produk yang memungkinkan untuk penjualan secara launching dan retail selama Covid-19.

    Yance juga saat ini terus memperkuat metode dan sistem penjualan yang inovatif dan adaptif terhadap teknologi karena hal inilah yang akan paling krusial bagi properti dalam beberapa waktu ke depan. Menurut dia, mau tidak mau pengembang harus mengikuti perubahan pola perilaku konsumen properti pasca pandemi.

    Hal senada diungkapkan Business Development Manager Travelio Property Management, Vincentius Christopher. Dia mengakui bakal ada tren baru di sektor properti guna mengikuti penyesuaian baru perilaku konsimen sebagai dampak Covid-19.

    “Ke depan, perumahan yang tadinya jauh dari pusat kota dan kurang  dilirik orang, akan jadi meningkat penjualannya karena ada kebiasaan baru yakni bekerja dari rumah. Ini sebuah tren yang akan muncul ke depan,” ujar Vincentius.

    Dia menambahkan, saat ini pelaku usaha properti harus bisa beradaptasi dengan cepat. Hal itu mengingat semua sektor bisnis sekarang tengah berlomba-lomba menyesuaikan dengan keadaan baru guna mempertahankan penjualan mereka.  

Back to top button