Rumah Adalah “Vaksin” Mengatasi Pandemi Covid-19
Sektor Perumahan Perlu Breakthrough Guna Beradaptasi Di Tengah Pandemi
JAKARTA, KORIDOR—Dampak pandemi Corona Viruses Desease 2019 (COVID-2019) berimplikasi pada penyesuaian pekerjaan dan pendanaan sektor perumahan (rakyat), permukiman dan pembangunan/pengembangan kawasan perkotaan. Pembangunan hunian skala kecil, menengah dan besar harus menyesuaikan pola kerja baru dengan mengadopsi protokol kesehatan.
Akibatnya jelas akan mempengaruhi regulasi rantai pasok penyediaan perumahan terutama pada tahap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan (sisi suplai). Oleh karenanya diperlukan solusi dari berbagai stakeholder (pemerintah, pemda, perbankan, pengembang, konsultan/keahlian, dan lain-lain).
Hal itu dijelaskan oleh Dadang Rukmana, Sekretaris Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR), mewakili Dirjen Perumahan Khalawi. AH, saat membuka seminar online, bertema: “Perencanaan Dan Pembangunan Perumahan Dan Permukiman Era Adaptasi Kebiasaan Baru (New Normal): Efisiensi Cost Melalui Teknik, Teknologi Dan Pemanfaatan Bahan Bangunan Strategis”, yang diselenggarakan oleh The HUD Institute, Rabu, 29/7.
“Sektor perumahan perlu breakthrough (kebijakan kolaborasi yang inovatif) agar mampu beradaptasi di era baru ini. Misalnya terhadap persyaratan teknis hunian (landed dan vertical) yang ada saat ini. Peraturan teknis bangunan gedung, termasuk hunian, telah diatur sedemikian rupa. Tentunya perlu inovasi dan teknologi baru, sebagai upaya untuk menjaga ketahanan keluarga di masa pandemi,” terangnya.
Sebagai upaya untuk menjawab tantangan menyediakan perumahan yang layak bagi Masyarakat Berpenghasilan Menengah Ke bawah, di masa pandemi maka perlu penyesuaian metode kerja dengan penggunaan teknologi mutakhir.
“Tantangan bagi sektor perumahan adalah memaksimalkan lahan publik, memaksimalkan investasi swasta melalui KPBU (Kerjasama Pemerintah Badan Usaha,red) perumahan dan gagasan standar desain rumah yang lebih adaptif pada kondisi darurat,” tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Muhammad Joni, Sekretaris Umum The HUD Institute menyebut bahwa pandemi Covid-19 berimplikasi pada perubahan signifikan, baik teknik, teknologi, konstruksi, disain, ME, electricity, arsitektur, bahkan pengelolaan, pemasaran, perlindungan konsumen, dan inovasi skim pembiayaan. Baik properti komersial maupun Perumahan Rakyat.
“Faktanya, Pandemi Covid-19, merubah perilaku manusia, dalam bergerak dan bertindak. Adanya kontras pola 60 persen Warga Jakarta Di Rumah (WJDR) vs Pola Nekat Buka Lapak (NBL). Kontras itu adalah Paradoks. Seperti paradoks pola 60 persen WJDR vs Pola NBL. Era Covid-19, rumah menjadi penting. Solusi penting mengatasi pendemi. Rumah adalah “vaksin” mengatasi pendemi Covid-19,” tambahnya.
Dalam situasi dan konteks perumahan, yang dengan WFH diminta beraktivitas di rumah, namun dengan kondisi kepadatan (kerumunan) orang pada perumahan, permukiman dengan kekumuhan dan masalah degeneratif perkotaan, menjadi fakta aktual yang menasihati pembuat kebijakan dan profesional urban planner menata ulang perkotaan: re-new urban development.
Menurutnya, dalam perencanaan pembangunan, perumahan memiliki 2 prinsip: kelayakan (adequate) dan prinsip keterjangkauan (affordability). Keduanya bukan kontras, bukan paradoks, bukan dilema. Namun diikhtiarkan secara cermat dan cerdas sebagai sinergi prinsipil.
“Apakah ada paradoks disain, konstruksi, teknologi, versus biaya? Bagaimana efisiensinya? Apakah ada paradoks kebiasaan baru dengan biaya meninggi?,”
Mengatasi paradoks, jalan keluarnya adalah mengurangi unsur paradoksal. Salah satunya, efisiensi biaya, dan disain produk yang fungsional. Demikian pula pasaran, tata kelola, skim pembiayaan, bahkan perlindungan konsumen. Lebih dari itu perubahan policy, regulasi, aturan, etik, dan seterusnya secata global menjadi Gand Reset.
Selanjutnya Joni juga menyoroti soal Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Bangunan Gedung yang disinyalir sedang dipersiapkan secara senyap oleh Kementerian PUPR dalam upaya untuk menyesuaikan aturan dan kebijakan baru Pemerintah yaitu OMNIBUS LAW. Menurutnya apakah hal itu juga menjadi peluang bagi masyarakat untuk meminta kebijakan dalam mengadopsi protokol kesehatan dalam persyaratan teknis bangunan gedung terutama pada fungsi hunian (landed and vertical).
Pada kesempatan yang sama, Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute, menyebutkan bahwa disituasi yang tidak biasa (extraordinary), setelah adanya Pandemik COVID-19 ini, perlu adanya inovasi dan perubahan tren dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman.
“Kami berharap lembaga penyelenggaraan perumahan bisa mengantisipasi efek pandemi agar lebih optimal. Sektor Perumahan berperan besar membuat negeri ini bisa keluar dari resesi. Karena itu kebijakannya juga harus mendukung dan mendorong sektor ini tumbuh,” ujarnya.
Tidak semua hal harus diintervensi pemerintah. Namun, setidaknya ada tigal yang bisa dilakukan intervensi. Diantaranya adalah pertanahan, pembiayaan (pajak, retribusi dan lembaga penjaminan) dan daya cicil konsumen yang amblas di tengah pandemi.
“Skema pembiayaan jangan dipaksakan untuk KPR semuanya. Di tengah daya beli menurun pikirkan skema yang sudah ada, tetapi belum jalan, yaitu sewa beli. Tinggal melengkapi aturan yang belum ada sehingga bisa direalisasikan dengan SOP yang lebih detil. Kan sudah ada KPBU perumahan, tetapi kenapa tidak juga pecah telor?,” kritik Zulfi.
Ia melihat momentum pandemi dan hari perumahan nasional dijadikan konsolidasi bagi dua dirjen perumahan di kementerian PUPR, untuk konsolidasi diri agar lebih optimal.
“Manfaatkan momentum hari perumahan nasional sebagai ajang sinergi dan konsolidasi mulai dari rantai pasok sampai ke penghunian. Negara harus hadir ketika rakyatnya kesulitan. Bukan membiarkan mereka berjuang sendiri menghadapi mekanisme pasar,” pungkasnya.