JAKARTA, KORIDOR- Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja bertujuan untuk meningkatkan kemudahan berusaha dan memperbaiki ekosistem investasi sehingga nantinya bermuara pada penambahan lapangan kerja. Selama ini, inefesiensi proses dan birokrasi perizinan yang panjang dinilai sebagai salah satu faktor penghambat aktivitas investasi di Indonesia.
“IAP sangat mendukung perbaikan menyeluruh terhadap sistem perizinan yang masih belum ringkas, independen, dan ramah terhadap investasi,” ujar Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Dr Hendricus Andy Simarmata dalam siaran persnya, baru-baru ini.
IAP menyoroti setidaknya ada tiga faktor utama di bagian hulu perizinan yang harus diperbaiki yaitu sistem tata ruang dan perencanaan sektor yang masih berdiri sendiri, pengelolaan dampak investasi yang tidak efektif dan efisien, serta ketiadaan komite independen untuk menyelesaikan perbedaan atau konflik perizinan.
Oleh karena itu, IAP mengusulkan lima poin masukan dalam perbaikan RUU Cipta Kerja.
Pertama, pembangunan yang berkelanjutan harus menjadi asas dalam penyelenggaraan RUU Cipta Kerja. Karena tujuan peningkatan ekosistem investasi bukan hanya untuk memudahkan investasi ekonomi, tetapi memastikan investasi sosial dan investasi lingkungan hidup bekerja secara simultan untuk kepentingan umum.
Kedua, penyederhanaan perizinan berusaha harus dimulai dari perbaikan sistem tata ruang (di hulu) sampai kepada dijitalisasi prosedur perizinan (di hilir).
“Di hulu, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus dijadikan tempat konsolidasi berbagai rencana sektor yang memanfaatkan ruang dengan pertimbangan keberlanjutan pembangunan atau one map-one data-one plan,” jelas Andy.
Ketiga, konsolidasi rencana tersebut termasuk me-reset ulang waktu berbagai jenis perencanaan (RTRW, RPPLH, RPB, RUE, PPRK, RIPPAR, dan lain-lain) baik pusat maupun daerah mengikuti waktu dimulainya Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Panjang (RPJM/P) untuk memudahkan integrasi pemrograman, efisiensi dan efektifitas pembiayaan pembangunan serta kepastian berinvestasi.
Keempat, Pemerintah Pusat menetapkan kerangka struktur dan pola ruang wilayah nasional dan Peraturan Zonasi nasional yang berbasis pada batas wilayah ekosistem (eco-region). Sedangkan Pemerintah Daerah wajib menjabarkan dan mengoperasionalisasikan ke dalam rencana sub-struktur dan pola ruang sesuai dengan batas administratif kewenangannya.
“Pemerintah daerah juga wajib mengadopsi ketentuan Peraturan Zonasi Nasional ke dalam narasi dan peta zonasi (zoning map dan text) sesuai dengan karakteristik wilayah dan lokalitas setempat,” papar dia.
Kelima, IAP mendesak agar debirokratisasi, independensi dan profesionalisme menjadi pilar utama dalam tata laksana penilaian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, pengaturan zonasi, pengawasan dan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang.
“Atas dasar lima poin tadi, IAP menegaskan bahwa RUU Cipta Kerja harus berasaskan pembangunan berkelanjutan,” ungkap Andy.
Selain itu, kemudahan berusaha bisa dicapai dengan perbaikan sistem perencanaan tata ruang yang terkonsolidasi dalam satu peta (one plan) melalui prinsip debirokratisasi, independensi dan profesional.