Opini

  • Dana Qatar, Danantara, dan Dilema Pak Menteri*

    “Ada dua jenis pemimpin: yang berhitung cermat, dan yang melawan arus dengan keyakinan. Yang terakhir langka, dan kerap kehabisan waktu—atau dijegal sistem.”

    JAKARTA, JUNI 2025. Belum setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berjalan, dan program 3 juta rumah rakyat terus digelorakan. Di tengah antusiasme tersebut, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait tampil penuh terobosan. Tapi kini, ia justru memilih arah berbeda. Bukan mengikuti arus besar penarikan dana asing, justru menutup pintu pinjaman luar negeri, termasuk—mungkin—dari dana Qatar sahabat budiman.

    Padahal, menurut Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo, dana Qatar senilai Rp40 triliun telah masuk. Proyek pembangunan 50.000 unit rumah rakyat pun aman didanai. Namun di saat yang sama, Menteri Ara meluncurkan skema baru: Danantara Investment dan KUR Perumahan berbasis UMKM.

    Langkah ini terkesan berani, namun juga membingungkan. Banyak yang bertanya: mengapa dana murah, cepat cair, dan nyaris tanpa risiko jangka pendek itu tak dimanfaatkan maksimal?

    Dana Murah Ditolak?

    Dana Qatar adalah contoh inovasi pembiayaan: murah, fleksibel, dan cepat. Banyak negara mengejar model seperti ini. Indonesia berhasil meluluhkan hati Qatar—ini capaian diplomatik dan teknokratis.

    Namun muncul dugaan: apakah Menteri Ara sedang menyiapkan skema baru, katakanlah “Dana Ara”? Apakah ini pertarungan ide antara model lama (pinjaman luar negeri) dan model baru (pembiayaan berbasis gotong royong nasionalisme fiskal)?

    Jika demikian, adakah roadmap-nya? Regulasi bisa dipercepat, tapi lembaga pelaksana butuh kapasitas. Danantara masih sangat muda. Bank penyalur KUR belum punya produk khusus rumah rakyat. Pengembang UKM/UMKM perlu disiapkan. Waktu terus berjalan. Target 3 juta rumah terancam menjadi puisi bulan Oktober.

    Ide Besar: Tapi Siapkah?

    Gagasan Menteri Ara cukup segar: rumah rakyat tak sekadar papan, tapi ekosistem ekonomi rakyat—menggerakkan koperasi, UKM, tenaga lokal, dan bahan bangunan nasional. The HUD Institute pernah menyiapkan konsep “Rumah Sehat Produktif” di masa pandemi. Ide-ide seperti ini perlu direalisasikan, bukan sekadar dikonsepkan.

    Namun jika semua masih dalam fase “janji manis”, maka kritik wajar dilontarkan. Dana Qatar nyata dan sudah masuk. Danantara baru berencana mencairkan Rp130 triliun. Mana yang lebih siap?

    Friksi Kebijakan, Rakyat Menunggu

    Media menangkap sinyal perbedaan antara Menteri Ara dan Satgas Perumahan. Ara menolak pinjaman luar negeri, Wamen PKP Fahri Hamzah menyatakan tak tahu-menahu. Hashim menegaskan: tak ada pembatalan. Di tengah gemuruh ini, rakyat menunggu rumah, backlog mencapai 12 juta unit. Maka waktu menjadi musuh bersama.

    Seperti dalam novel John Grisham, keputusan ini seperti thriller sunyi: berani tapi penuh risiko. Bila sukses, Ara mencetak sejarah. Bila gagal, ia sendirian menanggung beban.

    Dana Qatar dan Danantara: Perlu Dipadukan?

    Mengapa tidak ambil jalan tengah: padukan dana Qatar dan Danantara? Keduanya bukan antagonis. Kolaborasi bisa mempercepat capaian target 3 juta rumah dan membuktikan bahwa nasionalisme fiskal tidak harus eksklusif.

    Selama skema dana asing transparan, akuntabel, dan bebas syarat politik, tak ada alasan menolak. Delayed of justice is denied of justice, demikian pula dalam hak dasar atas hunian. Jangan tunggu puisi bulan Oktober, rakyat butuh rumah hari ini.

    Penutup

    Pak Menteri Maruarar Sirait, jika Bapak ingin mewariskan kebijakan baru, kami dukung. Tapi kebijakan besar butuh eksekusi nyata. Suara publik tak bisa diabaikan. Dalam hukum pembangunan: idealisme tanpa kesiapan adalah kekosongan. Dan, jika rumah rakyat adalah hak konstitusional, maka siapa pun yang bisa mempercepatnya—dengan dana manapun yang sah dan sehat—wajib diberi jalan, bukan dilarang lewat tol yang sudah terbuka.

    Tabik!

    *Muhammad Joni, SH.MH.,
    Advokat, Sekretaris Dewan Pakar The HUD Institute,
    Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia.

  • Rp40 Triliun dari Qatar: Berkah atau Ancaman Baru untuk Hunian Rakyat?

    Langit kota tak lagi hanya diterangi bintang—atau jejak rudal di malam kelam. Kini, cahaya itu datang dari kekuatan baru: investasi Qatar. Negara kaya sahabat itu menjanjikan dana sebesar Rp40 triliun, ditujukan untuk pembangunan 50.000 unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Indonesia.

    Tapi mari kita mulai dengan pertanyaan fundamental: rumah ini untuk siapa?

    Apakah benar untuk MBR, atau terselip juga slot untuk pasar komersial? Siapa yang membangun—developer lokal yang selama ini berjibaku di sektor subsidi, atau konsorsium elite dengan akses besar terhadap lahan dan modal? Apakah ini kolaborasi sosial atau justru perpanjangan liberalisasi aset negara?


    Pemain-Pemain di Balik Panggung

    Proyek ini melibatkan nama-nama besar: Danantara, BTN, Kementerian PKP, CCCI, Risjadson Land, hingga DLS Consultancy. Namun, yang belum terdengar gaungnya adalah pengembang lokal domestik yang selama ini menjadi ujung tombak perumahan MBR. Di mana posisi mereka dalam peta besar ini?

    Jika pengembang nasional tidak dilibatkan secara nyata—bukan hanya simbolik—maka ini bukan kolaborasi pembangunan, melainkan dominasi investasi.


    Jangan Ulang Sejarah Pahit Gentrifikasi

    Sejarah selalu mengajarkan bahwa di balik proyek besar dan estetika kota yang kinclong, ada jejak air mata: penggusuran, pencabutan akar sosial, dan kenaikan harga hidup. Jika proyek ini berdiri di atas tanah negara atau BUMN, maka harus ada batas etik dan hukum yang jelas: tanah publik bukan untuk portofolio swasta.


    Regulasi dan Skema yang Harus Ditegakkan

    UU No. 20/2011 dan UU No. 1/2011 sudah menetapkan bantuan dan kemudahan untuk perumahan rakyat, mulai dari subsidi, insentif fiskal, hingga akses fasilitas publik. Tetapi dalam praktik, seringkali kemudahan itu justru mengalir ke investor, bukan ke warga MBR.

    Jika hunian ini dibangun dengan konsep TOD (Transit Oriented Development), maka penting memastikan TOD-nya benar-benar pro-MBR, bukan sekadar “TOD label” yang membuka peluang spekulasi tanah dan menjebak warga dalam biaya hidup baru yang tak terjangkau.


    Waspadai Sertifikasi Tanah: SHM vs SKBG

    Apakah unit-unit rusun ini akan dijual dengan Sertifikat Hak Milik (SHM SRS), yang membuka jalan komersialisasi vertikal secara bebas?

    Usul kami: gunakan skema SKBG (Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung) di atas tanah negara. SKBG menjaga agar tanah tetap milik publik, sementara bangunan bisa dimiliki terbatas dan tetap bankable. Tapi ini butuh revisi UU agar kekuatan hukum SKBG setara.


    Kelola Aset, Hindari Konflik

    Pengelolaan rusun jangan diserahkan langsung ke PPPSRS yang sering kali belum matang dan rawan konflik horizontal. Pemerintah perlu membentuk lembaga Asset Management Tanah dan Bangunan yang memiliki otoritas penuh untuk menjaga misi sosial proyek ini.


    Tiga Pertanyaan Strategis untuk Pemerintah

    1. Apakah pengembang lokal dilibatkan secara nyata? Jika tidak, proyek ini bisa kehilangan legitimasi sosialnya.

    2. Apakah proyek ini sinkron dengan kebijakan daerah? Misalnya dengan program “Jakarta Tumbuh ke Atas” atau kawasan prioritas Mebidangro.

    3. Apakah dana Qatar ini hanya jangka pendek? Atau bisa diolah menjadi subsidi produktif jangka panjang untuk mendorong komunitas hunian rakyat?


    Epilog: Saatnya Jurus Housingnomics Pro-Rakyat

    Rp40 triliun bisa menjadi pijakan housingnomics Indonesia—ekonomi berbasis pembangunan hunian rakyat. Tapi bisa juga menjadi pemicu urbanisasi tanpa arah bila tata kelolanya tak memihak MBR.

    Kita butuh kode etik tata kelola hunian vertikal, regulasi kepemilikan yang adil, sistem pengelolaan yang matang, dan keberanian politik untuk memprioritaskan keadilan sosial di atas logika cuan semata.

    Ini momentum besar bagi Presiden Prabowo dan kabinetnya. Jika berhasil, ini bukan sekadar proyek, tapi monumen kesejahteraan: pembebasan warga dari jerat kemiskinan struktural lewat rumah layak huni.

    Sebaliknya, jika gagal, maka langit kota akan penuh beton—tapi bumi pertiwi kehilangan senyum rakyatnya. Tabik!

    Oleh: Muhammad Joni, S.H., M.H. __Advokat; Sekretaris Majelis Pakar The HUD Institute. Tulisan ini pendapat pribadi.

  • Jakarta: Dua Langit, Satu Nama

    Kota ini kayak punya dua langit, Bang… Satu buat orang gedongan, satu lagi buat kite orang kampung.”
    Kalimat itu terlontar dari Bang Lahmudin, warga asli Slipi, ketika saya menyapanya di ujung gang senggol, tak jauh dari realestat mewah berpagar tinggi di kawasan Senayan. Hari-harinya kini dihabiskan di situ, menunggu orderan ojek online.

    Hari ini Jakarta genap berusia 498 tahun. Nyaris lima abad, sebuah usia panjang bagi kota yang tak pernah berhenti berubah. Kota yang menjadi panggung sejarah, tempat bertemunya ribuan budaya, juga medan tarik-menarik antara mimpi besar pembangunan dan suara-suara kecil warga yang kerap tak terdengar.

    Pulau-pulau moleknya tetap “seribu” — jangan dipindahkan, Bang! Jakarta adalah rumah, bukan sekadar ibukota atau titik koordinat.


    Usai upacara HUT Jakarta, Gubernur Pramono Anung berujar:
    “Saya dan Bang Doel akan melanjutkan membangun Jakarta dengan partisipatif dari masyarakat — apa yang menjadi keinginan, kemauan, dan persoalan mereka.”

    Ucapan itu menyiratkan kesadaran: bahwa Jakarta bukan hanya tumbuh menjulang, tapi juga terbelah — dalam rupa, ritme, dan relasi sosial ekonomi antarwarganya. Kontras itu mencolok, bahkan dalam radius 100 meter:
    di satu sisi mal mengilap dan jalur sepeda mulus;
    di sisi lain jalan kampung becek dan atap seng berkarat.
    Ada apartemen dengan lift kaca, tapi juga rumah petak bertumpuk di atas saluran air.

    Dua sistem dalam satu kota — begitu para pakar tata ruang menyebutnya. Sistem yang tak saling sapa, bahkan kerap saling singkir. Bukan sekadar jurang kaya dan miskin, tapi juga ekosistem ekonomi dan spasial yang berjalan sendiri-sendiri.

    Contoh kasat mata: karyawan pencakar langit makan siang di warung tenda, lalu pulang naik ojek online sambil membawa gorengan. Jakarta ramai saat hari kerja, lalu lengang ketika Lebaran. Kota ini hidup dalam siklus yang tak pernah sepenuhnya utuh — antara ekonomi formal dan informal, gedung tinggi dan gang sempit, pengembang raksasa dan warga kecil pewaris tanah kampung.


    Jakarta hari ini berdiri di antara gentrifikasi dan keberlanjutan. Bangunan komersial menjulang, kampung rakyat pelan-pelan tergusur. Dalam nama “modernisasi”, warga asli kehilangan tempat pulang.

    “Kampung kite digusur, diganti taman yang enggak bisa kite dudukin,” keluh Mpok Lela, warga Pasar Rumput sejak 1974.

    Namun tak semuanya suram. Ada Kampung Akuarium — bukti bahwa kota bisa ditata adil dan berkelanjutan. Bukan hanya dibangun ulang, tapi juga diperjuangkan bersama warganya. Kini, kawasan itu menjadi ikon konsolidasi komunitas dan perumahan rakyat yang mendapatkan penghargaan inovasi (2023), bahkan dianggap bagian dari reforma agraria perkotaan.

    Di sisi lain, muncul wacana kontroversial: rumah tapak 18 m² di atas tanah 25 m² untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Solusi atau sekadar statistik? Karena rumah bukan hanya tentang luas, tapi tentang harga diri dan ruang tumbuh. Bukan pula Rumah Inti Tumbuh yang dulu digagas Menpera Cosmas Batubara.


    Solusi: Menyulam Kembali Kota yang Terbelah

    Menyatukan Jakarta bukan soal betonisasi semata. Kota tak bisa disulap jadi “Instagramable” dengan mural dan taman saja. Kita butuh integrasi urban yang berkeadilan dan memberdayakan:

    1. Ekosistem Perumahan Rakyat Terpadu
      Libatkan pengembang, BUMN, dan komunitas dalam satu sinergi — agar perumahan rakyat tidak tercerai-berai oleh logika pasar.

    2. Revitalisasi Kampung, Bukan Penghapusan
      Kampung urban adalah identitas kota. Rawat dan berdayakan, jangan digantikan.

    3. Satukan Dunia Formal dan Informal
      Pedagang kaki lima, tukang bangunan, ojol — harus masuk dalam kebijakan kota: di RPJMD, di APBD, bahkan di forum-forum perencanaan.
      TOD (Transit Oriented Development) jangan menjadi mesin pengusiran warga informal, tapi ruang kerja mereka juga.


    Epilog: Jakarta, Jangan Lupa Wajah Sendiri

    Di ulang tahunnya yang ke-498, Jakarta dihadapkan pada pilihan sejarah:
    Menjadi kota dunia yang tercerabut dari rakyatnya?
    Atau kota beradab yang memeluk semua warganya?

    “Gue enggak minta banyak, Bang… asal kampung kite jangan ilang. Biar anak gue bisa tahu asalnya,” kata Bang Lahmudin, sebelum pamit.

    Kata Bang Lahmudin mewakili rasa yang tulus. Dan The HUD Institute menyambutnya begini:

    “Jakarta sebagai kota global harus menjamin keadilan spasial bagi seluruh warganya. Rumah layak, sehat, dan produktif bukanlah kemewahan — melainkan hak dasar. Kita butuh perumahan sejoli: yang menyatukan aspek sosial dan ekologis dalam satu tatanan perkotaan yang manusiawi.”
    Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute, dalam refleksi HUT Jakarta.

    Jakarta boleh punya satu nama yang mendunia, tapi wajahnya banyak.
    Jangan biarkan sebagian wajahnya hilang dalam pembangunan yang lupa daratan.
    Karena kota yang tak memeluk semua warganya,
    bukan kota — melainkan sandiwara besar.

    Salam Satu Kota. Tabik.

    (Bang Muhammad Joni, warga Jakarta, mantu Betawi, pemerhati kebijakan kota dan perumahan)

  • Rumah 18 Meter: Bukan Hunian, Tapi Cermin Kemiskinan Spasial

    Rumah sejatinya bukan hanya tempat berteduh, melainkan ruang kehidupan yang menjamin tumbuh kembang manusia secara fisik, sosial, dan bermartabat. Namun di berbagai kota Indonesia, masih ditemukan rumah-rumah super sempit—hanya 18 meter persegi—yang dihuni lebih dari dua orang, bahkan oleh satu keluarga utuh.

    Pertanyaannya sederhana namun hakiki: Apakah hunian seluas itu layak dihuni di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi?

    Jawabannya tegas: tidak layak.
    Dari aspek kesehatan, rumah 18 m² sudah gagal memenuhi Permenkes No. 1077 Tahun 2011—yang mensyaratkan rumah sehat memiliki ventilasi, pencahayaan alami, sanitasi layak, dan lantai kedap air.

    Dari aspek spasial, ukuran 3×6 meter tidak mencukupi fungsi dasar rumah: tidur, memasak, mandi, dan bersosialisasi. Tak ada ruang privat, tak ada dapur layak, dan sirkulasi yang minim membuat aktivitas domestik meluber ke ruang publik.

    Sementara itu, Permen PUPR No. 10/2019 dan SNI 03-1733-2004 telah menetapkan standar luas minimum hunian yang layak sebesar 36 m². Maka, rumah 18 m² secara otomatis tidak memenuhi kriteria rumah layak.

    Lebih luas lagi, merujuk UU No. 1 Tahun 2011, rumah merupakan hak dasar warga negara untuk hidup sejahtera. Demikian pula UN-Habitat, SDGs (Tujuan 11.1), dan ICESCR Pasal 11 menegaskan: perumahan layak harus aman, terjangkau, memiliki infrastruktur dasar, dan menjamin privasi serta kesehatan penghuninya.

    Rumah 18 m²? Gagal total!

    Kemiskinan Spasial: Bukan Soal Uang, Tapi Akses

    Menurut Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute, akar persoalan ini bukan sekadar kemiskinan ekonomi, melainkan kemiskinan spasial—yakni situasi ketika warga miskin hanya diberi sisa ruang kota: sempit, kumuh, tanpa infrastruktur dan tanpa perlindungan hukum.

    Inilah bentuk pemiskinan sistemik yang terjadi akibat kegagalan dalam merancang kota yang adil dan manusiawi.

    Belajar dari Dunia: Malaysia, Hong Kong, Swedia

    Malaysia lewat program PR1MA menetapkan standar rumah subsidi minimal 79 m²—dengan fungsi ruang lengkap dan sanitasi layak.

    Hong Kong, meski padat, menetapkan luas minimum 13 m² per orang dalam skema Public Rental Housing, lengkap dengan fasilitas modern.

    Swedia mengadopsi pendekatan Housing First—menjamin setiap orang hak atas rumah layak, sebagai dasar pemulihan hidup, bukan sekadar perlindungan fisik.

    Di negara-negara tersebut, rumah 18 m² tak akan diakui sebagai hunian manusiawi.

    Rekomendasi: Dari “Layak Administratif” ke “Layak Bermartabat”

    Tolak konsep rumah ekstrem mikro yang mengorbankan kesehatan, privasi, dan martabat.

    Bangun rumah vertikal terjangkau di kota dengan pendekatan Transit Oriented Development (TOD), memakai lahan efisien, skema pembiayaan inovatif, dan subsidi negara.

    Tegakkan standar rumah layak sebagai parameter kualitas hidup, bukan sekadar angka dalam laporan.

    Adopsi prinsip hak atas perumahan dalam hukum nasional, bukan sekadar program sosial bersifat karitatif.

    Libatkan warga dalam perencanaan kota sebagai bentuk keadilan ruang dan demokrasi spasial.

    Penutup: Rumah adalah Hak, Bukan Sisa

    Rumah seluas 18 meter persegi bukan sekadar perkara keterbatasan lahan atau akrobat arsitektur. Ia adalah simbol nyata dari ketimpangan ruang, kegagalan kebijakan, dan kemiskinan yang dilembagakan.

    Rumah bukan sekadar ada—tapi harus layak.
    Yang kita butuhkan adalah rumah yang memerdekakan manusia, bukan yang menjebaknya dalam jerat kemiskinan spasial.

    Tabik!

     

     

  • Mimpi 3 Juta Rumah: Antara Target Ambisius dan Realita Regulasi

    Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan komitmen pemerintah untuk membangun 3 juta unit rumah setiap tahun. Target ambisius yang konstitusional dan pro rakyat itu ditujukan untuk menjawab backlog perumahan rakyat yang kini mencapai 9,9 juta unit.

    Namun, di balik semangat itu, sejumlah persoalan struktural dan regulasi menanti jawaban serius.

    Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, tercantum hak setiap warga negara atas tempat tinggal yang layak dan sehat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjadi payung hukum utama pelaksanaan program ini.

    UU ini menegaskan bahwa penyelenggaraan perumahan dan permukiman menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat, daerah, serta masyarakat. Namun Lampiran urusan dalam UU Pemerintah Daerah anehnya melemahkan urusan konkuren Pemda, karena perumahan MBR dengan sengaja tidak dimasukkan sebagai urusan konkuren Pemda.

    Yth. Menteri Dalam Negeri, jika masih ada aturan zigzag dan saling meniadakan seperti itu, bagaimana Pemda mau bekerja untuk 3 juta rumah?

    Namun, sebagaimana Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dalam batang tubuh UU “payung besar” bagi Pemda itu, perumahan termasuk urusan konkuren, yang artinya menjadi kewenangan bersama pusat dan daerah. Namun disisihkan dengan selundupan tabel urusan konkuren dalam Lampiran UU.

    Kondisi ini ajaib yang menimbulkan tantangan koordinasi, soal yang tidak ringan di negeri 062 ini.

    Kepala Satgas Perumahan, Bonny Z. Minang, menyebutkan tumpang tindih regulasi dan lambatnya perizinan menjadi hambatan utama pembangunan.

    Backlog perumahan dan pendanaan yang menjadi batu sandungan klasik harus ditelisik dan dibereakan. Menurut data Kementerian PUPR, backlog perumahan saat ini mencapai 9,9 juta unit. Angka yang sangat besar ini diperparah oleh tingginya harga tanah dan keterbatasan akses pembiayaan. Skema subsidi seperti FLPP dan bantuan pembiayaan berbasis tabungan (BP2BT) telah berjalan, tetapi masih terbatas jangkauan dan volume pembiayaannya.

    Skema subsidi produktif yang dibangun melalui konversi subsidi BBM adalah terobosan yang bagus. Namun, fokuslah pada pelaksanaannya yang perlu pengawasan ketat agar tidak menimbulkan penyalahgunaan dan tetap menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.

    Pandangan Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto
    Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto, mengakui bahwa target 3 juta rumah per tahun bukan hal mudah. “Kendala utama adalah ketersediaan lahan, anggaran subsidi yang terbatas, serta harga bahan bangunan yang fluktuatif”. Namun, dia optimistis dengan sinergi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, serta dukungan sektor swasta, target ini dapat dicapai secara bertahap.

    Ia juga menekankan pentingnya penyusunan roadmap yang jelas dan terukur agar semua pihak dapat bekerja secara terkoordinasi dan terukur.

    Presiden Prabowo Subianto telah memaparkan bahwa pembangunan rumah akan dibagi menjadi 1 juta unit di perkotaan, 1 juta di desa, dan 1 juta di wilayah pesisir. Pendekatan ini menunjukkan perhatian pada pemerataan dan inklusivitas.

    Namun, menurut para pelaku industri properti-cum-perumahan MBR, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih perlu dipercepat agar target dapat terealisasi secara optimal.

    Subsidi Produktif: Jalan Baru Mengatasi Kemiskinan Perumahan

    Program 3 juta rumah juga diiringi dengan konsep subsidi produktif, yang berbeda dengan subsidi konvensional. Subsidi ini diarahkan agar penerima mendapatkan bantuan langsung yang dapat mereka gunakan sebagai modal produktif, terutama untuk UMKM di desa.

    “Dengan subsidi produktif, UMKM bisa ikut terlibat langsung dalam pembangunan rumah rakyat sehingga ada efek berganda untuk pemberdayaan ekonomi,” kata Bonny Z. Minang.

    Epilog

    Pembangunan 3 juta rumah per tahun adalah agenda besar dan krusial bagi Indonesia. Namun, untuk menghindari menjadi janji kosong, dibutuhkan sinergi lintas sektor, penegakan aturan hukum, dan roadmap yang jelas serta terukur.

    Tanpa dasar hukum yang kuat, program ini berisiko menjadi narasi politik semata. Program ini bukan sekadar membangun rumah, tapi membangun keadilan sosial dari bawah—dari desa. Agar rakyat tersenyum dari rumah layak miliknya. Tabik.

  • Luas Lantai Rumah 25 m2, Jangan Permalukan Presiden Prabowo!

    Rancangan beleid Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) soal luas lantai rumah 25 m2, gagal paham asta cita Presiden Prabowo. Presiden itu pro rakyat kecil dan MBR,  bukan malah menekannya.

    Luas lantai rumah 25 m2 itu tidak sensitif MBR. Kementerian PKP jangan gagal paham suara hati paling dalam Presiden yang pro sosial, bukan  hanya utak atik gathok target statistik 3 juta rumah.

    Presiden ingin rakyat tersenyum. Luas lantai rumah 25 m2 itu antitesis asta cita. Jangan sampai itu catatan buruk Presiden Prabowo. Kementerian PKP harus 3 I:  inovasi, inovasi, inovasi. Dan, 3K: kordinasi, kolaborasi, kompetensi.

    Misalnya, efisienkan harga rumah dengan penyediaan tanah terjangkau. Genjot kolaborasi bank tanah.

    Segerakan policy national hunian berimbang efektif, bicara dengan pakar dan bertanya ke pelaku pembangunan pro MBR.

    Jangan parsial, terlena mono sumber pembiayaan bank, masih bisa tekan efisiensi dengan pembiayaan lembaga non bank.

    Mana action plan subsidi produktif yang diusung Satgas Perumahan yang dirancang mengerek pertumbuhan ekonomi 1,8% di pedesaan.

    Mengatasi kemiskinan sektor perumahan perlu digebrak dengan inovasi pembiayaan yang tidak ecek-ecek.

    Subsidi produktif jangan mati suri sebelum menetas. Berkah devisa migas geser ke subsidi produktif perumahan yang jangan dituding beban, malah jadi beleid  yang produktif, adil, dan sekaligus populis. Sudah cukuplah tata kelola berkah migas pro ke atas.

    Juga,  kerahkan akal buat skema integrasi/ harmonisasi ekosistem FLPP dengan MLT BPJS Ketenagakerjaan.

    Buat quick win, segerakan proyek pilot perumahan  komunitas.  Pakar The HUD Institute bisa dipanggil ke pangkalan juang rumah rakyat.

    Luas 25 m2 itu jangan jadi beleid aneh.  Jangan jadi kabar buruk rakyat yang kudu nguyu dengan rumah hunian yang sehat, layak, terjangkau.

    Ato bergerak. Buat turunan 3I dan 3K. Jangan permalukan Presiden di depan rakyat. Tabik!

     

  • Rumdis DPR Kalibata untuk Program 3 Juta Rumah: Pastikan Tepat Sasaran, Libatkan Pengembang MBR

    JAKARTA, KORIDOR.ONLINE – Gemuruh kabar anyar program 3 juta rumah datang dari Fahri Hamzah. Menurut politisi yang Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman itu, Pemerintah Pusat segera memanfaatkan 24 hektar lahan kompleks rumah dinas (rumdis) DPR di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan menjadi titik lokasi program 3 juta rumah. Akankah dialokasikan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)?

    Bagaimana arah konsep pembangunan kawasan yang terdiri blok 20 hektare plus 4 hektare yang dipisahkan rel kereta itu? Siapa patut menikmati kawasan bernilai ekonomi tinggi eks rumdis anggota parlemen Kalibata?

    Jika memang untuk hunian MBR, apa terobosan menyasar warga miskin kota dan menata kawasan kumuh kota sekitar Kalibata? Akankah melibatkan pelaku usaha (pengembang) domestik yang bagian ekosistem pembangunan perumahan MBR?

    Mengulik soal itu, berikut 9 (sembilan) catatan transformasi rumdis wakil rakyat menjadi hunian MBR-cum-perumahan rakyat?

    Pertama: Pemanfaatan tanah eks rumdis DPR Kalibata itu kebijakan yang menarik diulas dan patut diapresiasi dari hati. Itu bandul gebrakan dari rumah wakil rakyat menjadi perumahan rakyat alias program 3 juta rumah yang kini dilabel Program Strategis Nasional (PSN). Artinya, PSN bukan hanya proyek seperti halnya Program Sejuta Rumah (PSR) era Jokowi. Namun program transformasi lahan dalam penguasaan negara untuk hunian MBR.

    Terobosan mengubah lahan “mahal” kompleks rumdis DPR menjadi hunian MBR, itu kebijakan pro MBR yang “mahal”. Wajar jika gaungnya menggelegar. Beleids dan konsep perencanaan teknis details-nya dinanti publik, dan kudu melibatkan partisipasi publik. Terutama peruntukannya untuk siapa? Tersebab itu jangan kendor mengawal dan memastikan untuk siapa hunian eks rumdis DPR itu dinugerahkan. Pro MBR 100%, atau ada koridor yang disisipkan untuk tower properti komersial?

    Dulu, memang selalu saja dipakai dalih mengatasi kekurangan rumah (backlog) sebagai dasar PSR. Apakah lahan bagus dan mentereng eks rumdis DPR yang lokasinya strategis dekat stasiun kereta itu menjadi perumahan publik atau hunian privat? Walau kawasan itu berhampiran permukiman warga tepi kali yang butuh hunian sehat, layak dan terjangkau, maka Pemerintah Pusat musti transparan ikhwal rancangan konsep pembangunan dan oleh siapa dan (sekali lagi) untuk siapa kawasan hunian hendak dirancang?

    Jika untuk MBR dalam helat PSN 3 juta rumah dengan membangun belasan tower hunian vertikal menjulang, bisakah “towerisasi” itu diperluas turut menjadi penataan kawasan yang bisa mengatasi kawasan permukiman kumuh dan rumah tidak layak huni di Jakarta khususnya sekitaran Kalibata? Apakah disiapkan agenda dan sepaket atensi khusus bagi warga prasejahtera yang berhampiran sekitar “tanah bertuah” Kalibata?

    Intervensi kebijakan menjawab soal kusut backlog kepemilikan rumah “agak laen” dengan senabut soal kawasan kumuh kota yang akut karena sudah eksis menjadi komunitas sosial tersendiri dengan sub kultur yang unik.

    Pembangunan hunian vertikal menjulang itu solusi atasi backlog, atau mencakup exit strategy menjawab kekumuhan kota? Walau menyebut target dalam angka, hemat saya intervensi PSN program 3 juta rumah tidak hanya reproduksi hunian fisik dan mengejar capaian statistik bangunan unit hunian rumah susun.

    Alhasil PSN program 3 juta rumah tidak melulu percepatan statistik fisik rumah tok, namun membangun hunian yang mengeliatkan deru mesin ekonomi MBR dan memberdayakan entitas terkecil masyarakat alias keluarga. Itu artinya melampaui skenario capaian statistik hunian 3 juta rumah MBR, namun paket lengkap mengurangi angka kemiskinan absolut. Yang hendak membuat wajah rakyat tersenyum.

    Kedua: Transformasi lahan mahal eks rumdis DPR menjadi hunian MBR itu terobosan pemberani pro MBR. Sebab, patut ditenggarai ada godaan ekonomis menggunakan tuah lahan yang menggiurkan itu untuk investasi properti komersial atau real estat pro bisnis.

    Saya kira dengan kelangkaan lahan di Jakarta, maka tidak rasional membangun rumah tapak untuk perumahan MBR, kecuali karena alasan idiologis pemihakan pro rakyat-cum-MBR untuk hunian vertikal yang bukan hanya dalam angka namun dalam maksus mulia memberdayakan keluarga rakyat biasa.

    Tepat jika dibangun hunian vertikal atau rumah susun sewa karena berdiri di atas status tanah perbendaharaan negara. Bahkan bukan hanya rumah susun sewa, namun hunian vertikal MBR yang “bersubsidi” paket utuh intervensi pemberdayaan ekonomi rakyat-MBR. Itu bukan muskil dan ahistoris, sebab pernah ada paket pembiayaan multiguna yang embodied dengan program perumahan MBR.

    Jika tidak, menyiapkan lahan eks rumdis DPR untuk rumah tapak (landed house) pun dikombinasikan dengan sisipan properti komersial, bukan hanya tidak rasional karena harganya tidak terjangkau MBR, bahkan tidak menjawab masalah ekonomi keluarga MBR yang hendak disasar dengan PSN program 3 juta rumah.

    Kiranya, bermula dari transformasi lahan eks rumdis DPR Kalibata menjadi hunian vertikal MBR, maka konsep dan kebijakannya harus bisa menjawab keraguan publik, bahwa hunian vertikal rumah susun belum bisa mengatasi masalah sosial-ekonomi kawasan permukiman kumuh yang akut dan unik.

    Penting dicatat, isu itu lebih kompleks dari sekadar defisit perumahan MBR yang disebut kantor statistik dengan istilah backlog, baik backlog hunian maupun kepemilikan. Sebab, tak terbantahkan dalam hal isu perumahan rakyat inheren sengkarut soal kemiskinan, kesempatan kerja, daya beli/ daya cicil, akses pendidikan, sanitasi, air bersih, kesehatan perkotaan, kerentanan anak dan perempuan.

    Kiranya, PSN program 3 juta rumah bukan hanya utak atik atasi statistik backlog. Namun, bauran isu perumahan untuk manusia dengan bangunan sosial-ekonomi untuk pemberdayaan keluarga.

    Sebab itu beralasan jika dalam helat besar PSN program 3 juta rumah, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman bukan hanya berada dalam lingkup koordinasi Menko Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah namun menggandeng Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan tentu saja Menteri Dalam Negeri ikhwal urusan konkuren pelayanan dasar perumahan rakyat pada tiap Pemerintah Daerah.

    Ketiga: Pengembangan hunian vertikal dari lahan eks kompleks rumdis DPR Kalibata yang berlokasi strategis, lahan mahal dan terlebih lagi dekat dengan stasiun kereta. Ya.., karena itu beralasan dirancang menjadi model pemanfaatan lahan milik negara menjadi kawasan hunian vertikal untuk MBR yang analog menjawab kekumuhan kota yang setarikan nafas dengan jeratan kemiskinan warga kota.

    Juga, beralasan dan cocok dirancang dengan konsep hunian Transit Oriented Development (TOD) karena lokasinya dalam radius terjangkau ke stasiun kereta. Namun tidak meninggalkan kemanfaatan hunian berbasis TOD yang berkeadilan untuk semua. Pastikan hunian vertikal berbasis TOD yang terintegrasi bisa mengurangi beban biaya penghuni atau konsumen dan beban kepadatan transportasi kota.

    Kawasan TOD yang dirancang kudu mematok beleids yang mengendalikan “tata niaga” kawasan hunian dengan TOD Kalibata sehingga bisa mengendalikan indeks kemahalan dalam relasi kerjasama pemanfaatan kawasan. Agar “towerisasi” itu tidak menjadi kausal penyingkiran kembali warga penghuni hunian vertikal dengan tarif iuran dan biaya yang membebani kemampuan membayar warga kawasan. Pak Tjuk Kuswartojo menyebutnya dengan istilah “subsidi ongkos menghuni” –yang bisa dibebankan kepada Pemerintah Daerah.

    Maksud asli menyediakan kawasan dan unit hunian layak bagi warga miskin kota via PSN perumahan MBR, jangan menjadi jebakan penyingkiran kembali dengan indeks kemahalan ongkos hunian yang tak terjangkau.

    Keempat: Agar dipastikan sasaran penerima manfaat dan penggunaan serta penghuni hunian vertikal tersebut menarget kelompok MBR dan kurang mampu khsususnya dari kawasan sekitar lahan rumdis DPR Kalibata, pinggiran kali dan kawasan kumuh kota yang tersisihkan. Agar mereka bisa bangkit dari intervensi penyediaan hunian layak, sehat, terjangkau dan produktif. Pun, hal itu menjadi terobosan keadilan ruang dan akses memenuhi hak dasar atas hunian.

    Kelima: Selain masalah kebijakan eksternalitas pembangunan kawasan rumah susun untuk MBR dan dinamika mengatasi kekumuhan kota itu, yang tak kalah penting menata ulang pengelolaan rumah susun yang perlu dirumuskan dengan patut dan pasti agar tidak menimbulkan masalah klasik konflik internal pemilik dan/ atau penghuni dengan pengelola dan pengembang yang berlarut.

    Sebab itu segerakan infrastruktur nonfisik berupa regulasi pengelolaan dan pemanfataan kawasan hunian bahkan housing codes penghunian. Patut menyokong PP tentang Pengelolaan dan Penghunian Rumah Susun disegerakan, termasuk evaluasi pengaturan PPPSRS.

    Dengan status Jakarta sebagai Kota Global, maka mendesak regulasi hunian vertikal yang lengkap, housing codes, building codes yang patut, dipatuhi dan diikuti, termasuk pengawasan penggunaan, pengelolaan dan penghunian rumah susun.

    Keenam: Memastikan pengguna dan penghuni yang riil adalah sebenar-benar MBR. Memastikan agar hunian vertikal itu tepat sasaran, dengan cara evaluasi ketat secara periodik atas status penghunian dan penggunaannya. Bisa jadi penghuni semula masuk kriteria MBR, kemudian menjadi bukan MBR lagi. Soal ini perlu diatur jelas dalam tatanan regulasi yang ketat dan pengawasan yang tegak lurus, dengan pengelola yang kapabell dan kredibel.

    Karena proyek ini dibangun di Kota Global Jakarta, maka Peraturan Daerah mengenai Rumah Susun, PPPSRS, pengelolaan dan penghunian perlu disegerakan, agar konflik horizontal direduksi, dan kekosongan aturan bisa diatasi. Prospek dan kepercayaan investor pada keberlangsungan properti hunian vertikal bisa tercipta dengan regulasi yang pasti, lengkap, patut, dan adil, serta dapat ditegakkan. Bayangkan benih kekisruhan yang terjadi jika Kota Global Jakarta masih semberaut dan tidak pasti dalam vertical housing codes?

    Ketujuh: Walau berada di atas lahan tanah bertuah milik pemerintah, namun beralasan menurut hukum melibatkan peran pelaku usaha atau pengembang MBR domestik yang telah terdaftar ke dalam ekosistem perumahan dan kawasan permukiman (PKP), dan teruji kinerjanya dalam jejak program PSR.

    Hemat saya, pengembang MBR domestik tidak bisa diabaikan karena mereka developer “pejuang MBR” yang terbukti produktif, berpengalaman, dan konsisten membangun rumah MBR; tabah-loyal sebagai mitra PKP yang tidak “hit and run” dalam ekosistem PKP. Bahkan, tak boleh lupa pengembang MBR itu menjadi bagian ekosistem pembangunan PKP dari masa ke masa jejak pembangunan perumahan rakyat. Tulisan ini merekomendasikan transformasi tata kelola dan kolaborasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah –dalam urusan konkuren perumahan rakyat dan kawasan permukiman– dengan pelaku usaha domestik kudu terus ditingkatkan.

    Menilai suksesnya PSN tiga juta rumah bukan hanya capaian statistik produksi rumah MBR saja, namun PSN yang berhasil jika sanggup menggerakkan mesin pembangunan PKP dalam eksositem yang ajeg, termasuk pengembang MBR yang terbukti efektif menyerap tenaga kerja. Diwartakan, bidang properti menggerakkan 175 jenis industri turunan dan 350 rantai usaha kecil yang menyertainya.

    Kedelapan: Sekali lagi, program 3 juta rumah PSN yang diintegrasikan dengan akses kepada pemberdayaan ekonomi keluarga MBR. Postulat saya, defenisi PSN program 3 juta rumah selain akses hunian MBR juga akses pemberdayaan ekonomi keluarga. Agar tekat Presiden Prabowo Subianto mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan perumahan yang sehat, layak dan terjangkau namun menjadi kawasan hunian yang bertumbuh. Ya.., menjadi kawasan hunian layak, terjangkau, sehat dan produktif.

    Kesembilan: Dengan tidak menafikan kecepatan dan ketepatan, namun tidak belebihan jika membuka partisipasi bermakna untuk menciptakan kawasan hunian MBR dengan melombakan disain pengembangan kawasan hunian vertikal bebasis TOD Kalibata yang tidak menyisihkan satu pihak manapun. Suksesnya kebijakan berani terobosan transformasi lahan bertuah eks rumdis DPR Kalibata itu menjadi taruhan tekat Presiden Prabowo yang menginginkan rakyat bisa auto-tersenyum menikmati hunian yang layak, terjangkau, sehat, dan berkeadilan. Yang tepat sasaran, dan juga produktif! Tanah bertuah memiliki logika tersendiri menemui sasaran. Walau tuah kudu diperjuangkan. Tabik.

    Oleh Muhammad Joni, SH., MH, praktisi hukum perumahan, Ketua Umum Kornas Perumahan Rakyat, Sekjen PP Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU)

  • Wajah Bisnis Properti di Kawasan Bogor dan Sekitarnya

    SENTUL,KORIDOR.ONLINE— Jika anda ingin mengetahui dinamika dan perkembangan pasar properti di Kawasan Sentul, Bogor dan sekitarnya. Maka buku ini layak anda koleksi. Informasi soal pasar properti di kota-kota potensial di  Jawa Barat itu cukup runut terekam dalam buku “ I Wayan Madik Kesuma, Anak Bali yang Melanglang di Bisnis Properti.

    Bogor sebagai kota tetangga Jakarta terus bertumbuh. Kini, kawasan yang terdiri atas Kabupaten Bogor dan Kota Bogor itu dihuni tak kurang dari 6,7 juta jiwa. Praktis membutuhkan hunian.

    “Kiprah Wayan menjadi bagian dari wajah bisnis properti di Bogor. Mulai dari satu proyek di Cibinong, Kabupaten Bogor pada 2013 hingga kini berbuah menjadi tiga proyek, menjadi salah satu rekam jejak denyut bisnis properti di Bogor yang terus menggeliat,” ujar Edo Rusyanto, penulis buku, di Sentul, Bogor, Sabtu, 15 Februari 2025.

    Buku yang ditulis Edo Rusyanto bersama jurnalis properti, Masykur Hardiansyah itu juga memotret bagaimana kondisi Bogor ketika dihantam pandemi Covid 19.

    “Saat pandemi, perusahaan Wayan melakukan inovasi berupa akad kredit dengan konsep drive thru yang mujarab menjaga penjualan rumah. Konsep tersebut tetap menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah kala itu,” kata Masykur Hardiansyah.

    Buku setebal 125 halaman dibalut dengan foto artistik itu juga merekam bagaimana permintaan hunian di Bogor yang terus moncer. Mulai dari segmen rumah sederhana hingga menengah atas.

    “Kami ada dua segmen, di Graha Laras Sentul untuk harga di atas Rp 1 miliar, sedangkan di proyek DramagaGeriya Selaras dibanderol Rp 400 jutaan,” tutur Wayan.

    Pasar properti di Bogor saat pandemi hingga kini, tambah Wayan, tergolong cukup dinamis. Pasar membutuhkan kualitas yang baik dan nyaman, serta lingkungan perumahan yang sehat.

    “Dalam setiap proyek yang kami kembangkan dari mulai proyek perdana kami di Cibinong (Graha Selaras Cibinong) pada 2013 dan hingga saat ini, PT Kesuma Agung Selaras selalu mengedepankan unsur aman, nyaman dan menyenangkan. Dan ini memiliki tafsir yang luas. Sehingga dalam setiap pengembangan proyek baru atau produk baru kita selalu memberikan yang terbaik,” tutur Wayan.

    Menurut Martin Samuel Hutapeaassociate director Research & Consultancy Department PT Leads Property Services Indonesia (Leads Property), di kawasan Bogor, dalam rentang 2019 – 2024 terdapat sekitar 8.500 unit baru yang diluncurkan oleh para pengembang.

    Rumah tapak yang diluncurkan tersebut mencetak penjualan berkisar 93-94%.

    “Harganya juga mengalami peningkatan. Secara rata- rata, tahun 2019 sebesar Rp 800 jutaan, sekarang mencapai Rp 1,3 miliar, berarti meningkat sebesar 10% per tahun,” tutur Martin di sela peluncuran buku.

     

  • Haluan Baru Perumahan dan Kawasan Permukiman yang Bikin Rakyat Tersenyum

    TAHNIAH. Presiden Prabowo Subianto diambil sumpahnya 20 Oktober 2024. Dalam pidato patriotiknya, Presiden Prabowo “melantik”  haluan pemimpin bekerja untuk rakyat!  Rakyat yang bebas dari kemiskinan!  Tugas pemimpin mengubah yang dulu tak mungkin menjadi nyata-terbukti. Pidato heroik Prabowo verbatim  tanpa teks justru menginginkan rakyat tersenyum.

    Sontak  jantung saya happy dan tersenyum. Auto teringat program 3 juta rumah: 2 juta di perdesaan, 1 juta diperkotaan.  Dalam lima tahun Program 15 juta Rumah Prabowo untuk rakyat. Rakyat yang tersenyum karena merdeka dari  kemiskinan perumahan.

    Presiden Prabowo Subianto bertekat  membawa  perumahan rakyat ke episentrum  pembangunan nasional. Itu tepat. Meningkatkan kesejahteraan perumahan prorakyat hendak  menjadi bagian terbesar Kepresidenan Prabowo. Itu mandat konstitusional.

    Mengumandangkan ‘pemimpin bekerja untuk rakyat’, itu ikhwal menghidup-hidupkan  kaidah  konstitusi perumahan rakyat semakin bertumbuh-cum-berkembang menjadi ‘living tree constitution’.

    Prabowo Subianto Presiden baru 20 Oktober 2024.  Ada harapan lebih dari itu Presiden yang mulai dari visinya bertekat dengan haluan baru perumahan rakyat. Haluan perumahan dan permukiman yang  lebih dari  hanya mengurus lika liku statistik backlog.

    Program andalan 15 juta Rumah Prabowo (‘P15RP’) itu  angka yang hendak menguatkan pilar goyah hak atas hunian.  Bayangkan, target P15RP itu melampaui 12,7 juta unit defisit rumah atau backlog. Backlog adalah gap antara produksi dengan permintaan akan rumah yang tak lain  perumahan formal.

    Statistik backlog  yang  selama ini menjadi sentral analisis mengatasi “abc-xyz” problematika perumahan rakyat, kini bergeser haluan. Karena menekankan intervensi 2 juta perumahan di perdesaan yang berhaluan  perumahan swadaya, yang  menjemput partisipasi komunitas.

    Program Sejuta Rumah (PSR)  yang difasilitasi dengan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) beserta  Dana Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang dominan perumahan formal, walau  grafik angka backlog bagaikan tamsilan “bak air tak penuh-penuh”  untuk memenuhi  kebutuhan hunian yang layak dan terjangkau  bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pun masuk ke lapisan non MBR.

    Diagnosa ikhwal backlog dijawab standar dengan penyediaan Dana FLPP dan turut pula ada Dana TAPERA yang masih bertumpu pada dominasi perumahan formal.

    Profil dan cakupan fiskal perumahan swadaya-cum-komunitas belum menjadi  andalan walau  perumahan swadaya  mandatory UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

    BAPPENAS mencatat postur perumahan swadaya/ swakarsa itu menyumbang paling besar  82,5%  dati profil perumahan di negeri ini. Dari rakyat membangun rumah rakyat, membutuhkan inovasi dan kolaborasi developer pun Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) mengoptimalkan pranata  baik dan kearifan lokal.

    Pun,  administrasi dan pendaftaran hak tanah ulayat masyarakat hukum adat yang kini semakin diakui ketika  Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN  Agus Harimukti Yudhoyono yang kini Menko Infrastruktur san Pembangunan Kewilayahan Kabinet Merah Putih.

    Jika mencerna  data Susenas (2022, Modul Kesehatan dan Perumahan) yang dihimpun The HUD Institute, bahwa kontribusi masyarakat membangun perumahan dan permukiman mandiri alias swadaya itu sebesar 82,68%. Kontribusi masyarakat perkotaan (76,27%), sedang pedesaan lebih besar lagi (90%,10%).

    Namun masih menyisakan soalan yang perlu intervensi pemerintah. Sebab dari peran besar swadaya-komunitas itu,  profil perumahan dan permukiman mandiri yang layak huni (62,97%) dan  sisanya  tidak layak huni (37,03%).

    Jangan keliru membaca seakan keluhan, namin itu satire cerdas yang menyindir angka backlog yang tak kunjung kelar. Seperti metafora mengisi bak air yang tak penuh-penuh. Karena ada pertambahan 700-800 ribu rumah tangga baru yang melebihi produksi rumah baru untuk MBR.

    Pun sebelum   diluncurkan  29 April 2015,   PSR sudah lekat  dengan duo soal ini:  sempitnya  ruang fiskal dan kurangnya kuota FLPP pun turut serta Dana TAPERA.  Beranjak dari persoalan itu, perlu daya ungkit dan kebijakan terobosan yang kini menemukan momentum dan justifikasinya, yakni:  program 3 juta rumah prorakyat Presiden Prabowo.  Yang hendak keluar dari soal mendasar yang mengabaikan kontribusi “raksasa tidur” pembangun perumahan, yaitu: rakyat! Karena bagian terbesar penyediaan perumahan adalah perumahan swadaya, yang tak lain adalah pengembang terbesar (the biggest developer).

    Rakyat-cum-komunitas telah banjir keringat membangun  perumahan swadaya yang tak lain perumahan rakyat sebagai really the biggest developer. Patut angkat topi salut kepada rakyat subsider komunitas yang telaten dan tabah mengerjakan perumahan swadaya. Walau motifnya untuk membantu diri (self help) memenuhi  kebutuhan dasar hunian versi Abraham Maslow,  namun hunian  hal ikhwal urusan publik; res publica –yang  tak lain saripati mandat konstitusi perumahan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Tak banyak negara memasukkan bertempat tinggal a.k.a hunian ke dalam konstitusi.

    Tepat, derap kebijakan putar haluan menghidup-hidupkan perumahan swadaya-komunitas. Dengan fasilitasi pendampingan program dan pemberdayaan kapasitas, memerankan lembaga pendamping dan pendukung teknis serta intervensi skema pembiayaan.

    Patut mendorong perumahan dan kawasan permukiman menjadi program strategis (nasional) yang prorakyat agar merdeka dari kemiskinan perumahan.

    Hasim Djojohadikusumo  membuka kisi-kisi beleids program perumahan rakyat menyebutkan  pembangunan 2 juta rumah di pedesaan akan dipercayakan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), koperasi, dan Badan Usaha Milik Desa.

    Kiranya, geser haluan dari perumahan formal itu langkah yang berani bergeser  ke perumahan swadaya-cum-komunitas, dengan pelaku andalan-dominan pengembang komunitas.

    Keputusan politik menjadikan perumahan rakyat sebagai program andalan maka  patut  membacanya sebagai pemihakan Presiden selaku pemimpin tertinggi eksekutif (top executive) hendak loyal dan presisi mematuhi janji namun lebih dari itu sejatinya P15RP prorakyat. Lebih dari itu ikhtiar P15RP menjadi ikhtiar menghidup-hidupkan  konstitusi perumahan yang hendak membuat rakyat tersenyum.

    Tepat jika  visi politik perumahan diinterpretasikan ke dalam  kebijakan Presiden Prabowo selaku top executive,  plus  dukungan Pemda kudu lebih dan lebih berkeringat lagi dalam mengusahakan perumahan rakyat.

    Opini  ini  urun rembug menyokong  P15RP menjadi Program Strategis Nasional, yang tidak dalam tanda kurung “(nasional)“ lagi, dengan sedikit perubahan  UU Nomor 23 Tahun 2014 (UU Pemda).

    Sukses dan terbukti dalam eksekusi P15RP, kiranya komunike sinistis “pilar goyah negara kesejahteraan” (wobly pilllar of  welfare state)  tidak relevan lagi dilabel-kan pada negeri ini.

    Patut dan valid menguatkan  wewenang  urusan konkuren perumahan rakyat dan kawasan permukiman  kepada pemerintah propinsi dan  pemerintah kabupaten/kota. Dengan langkah mengamandemen Lampiran UU Pemda konsisten mengikuti Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Pemda. Agar  urusan perumahan MBR juncto perumahan swadaya menjadi  urusan konkuren pelayanan dasar melekat pada Pemerintah  dan  Pemda, tanpa halangan Lampiran UU Pemda.

    Dengan mengoptimalkan Pemda, kiranya, P15RP prorakyat bisa menjadi haluan  perumahan rakyat: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat —dalam skala kawasan permukinan. Dengan pulihnya wewenang Pemda dalam P15RP, haluan itu bukan hanya menjawab masalah kekurangan perumahan  dan kekumuhan kawasan di daerah, namun menguatkan pilar negara kesejahteraan.

    Selaku  pemegang mandatori perumahan rakyat baik Pemerintah dan  Pemda bukan hanya menjalankan aturan eksisting namun menerobos kebuntuan regulasi, putar haluan melereng dari  barikade halangan birokrasional,  bahkan melantak gangguan pada Good Governance. Badan Bank Tanah kudu berinovasi memutar haluan pro perumahan rakyat cq. P15RP. The HUD Institute  mempunyai resep kolaborasi Badan Bank Tanah dengan Pemda.

    Epilog esai ini bahwa P15RP  itu modalitas signifikan mengatasi kemiskinan  perumahan dengan partisipasi komunitas sebagai  the bigggest developer  yang menjadi  energi hebat menyambungkan  perumahan rakyat sebagai pilar kuat negara kesejahteraan, ya.. sebagai mata rantai penyambung destinasi Indonesia Emas 2045.

    Karena itu, intervensi pendampingan atau empowering,  fasilitasi, bantuan dan kemudahan yang  sebenar-benar bantuan dan kemudahan yang sebenar-benar dimudahkan menjadi bagian yang bisa diisi Pemerintah, Pemda,  maupun pelaku usaha perumahan formal. Ini saatnya membangun perumahan dan kawasan permukiman yang prorakyat. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat yang  difasilitasi  dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Membuat rakyat tersenyum dengan perumahan layak, terjangkau, dan untuk semua.

    Majelis Pembaca yang mulia. Ijinkan saya mengajukan postulat, bahwa  jurus  pertama untuk menyukseskan P15RP adalah: mengerakkan kontribusi perumahan swadaya-cum-komunitas!

    Beleids ini kudu diintegrasikan dengan program pemberdayaan ekonomi keluarga dan bantuan “modal kerja” yang koheren, terkoneksi dan terintegrasi dengan lembaga pembiayaan bank dan non bank menjadi  semacam ‘housingnomics’.

    Beleids yang mengawinkan akses perumahan dengan akses dana pemberdayaan. Dari acces to housing plus acces to wellfare. Dari rumah, rakyat gemahripah a.k.a tersenyum.

    Setarikan nafas, eksekusi P15RP  yang bekerja konkrit, dengan tata kelola yang baik, Insya Allah efektif  mengentaskan kemiskinan  perumahan yang kumuh juncto rumah tidak layak huni yang tak lain ialah kemiskinan rakyat itu sendiri.

    Postulat saya, P15RP  menjadi  momentum dan justifikasi  menerobos benang kusut kemiskinan struktural perumahan rakyat, agar keluar dari diagnosa backlog  pun satire mengisi bak air yang tak penuh-penuh. Alhasil,  P15RP prorakyat adalah  “infrastruktur” yang  mengakrab-akrabkan pemimpin nasional tertinggi  dengan rakyat, yang  bekerja untuk rakyat!  Tabik.

     (*) Advokat Muhammad Joni, SH., MH.,  profesional advokat, Wakil Ketua bidang Perlindungan  Konsumen  The Housing and Urban Development (HUD) Institute, S Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU).

  • Transformasi Wakaf Properti Produktif, Budaya Kesatria Memajukan Indonesia

    KORIDOR.ONLINE, Tradisi gemar berwakaf itu eksis dan lestaris di negeri Turki. Kultur amaliah yang dipuji seperti karakter para kesatria. Tak hanya wakaf tanah a.k.a properti tipikal “tradisional”, seperti wakaf tanah makam, lahan mushollah, membangun masjid pun pesantren.

    Di sana derap wakaf majunya skala “liberal”, nilainya skala jumbo sejak dulu. Amaliah yang membudaya pan enggan ditinggalkan, nyaris mendekati fardhu. Setidaknya derap “mesin” wakaf di sana meluas, maju, tidak konservatif. Tak keliru menyebut wakaf itu “mesin” kesejahteraan yang paling dewasa dan terbukti sampai kini.

    Maslahat wakaf tak hanya terbukti valid dari cabaran falsifikasi tiori ekonomi, namun ajaran “langit” yang terbukti membumi, dan legendaris. Seperti wakaf sumur Sahabat Nabi Ustman bin Affan yang turunan produktifnya (kebun kurma sampai hotel). Hotel Ustman bin Affan hasil dari pengelolaan kebun kurma dan sumur wakaf bertitel Bir Rumah yang berusia 1400 tahun, terus mengalir kini. Wakaf itu efektif dan konkrit, berkelanjutan mengabdi kebaikan. Melampaui zaman hingga era sharing economic, kini.

    Di negeri kesatria setakat Turki, banyak varian wakaf sekolah, juga kawasan kampus, berikut rumah sakit, bahkan rest area alias caravanserais, rumah singgah musyafir atau peniaga kecil, sejak dulu ada. Juga, merambah wakaf anjungan makanan burung yang kreatif, fasilitas pasar rakyat, bahkan wakaf lampu penerangan kota.

    Tamsilnya, wakaf tak hanya bunga mawar, bahkan taman mawar yang pengindah kota sampai wakaf bagian kawasan kota: wakaf city. Tercatat Shaujauddin Othman putra Fakhruddin Usman menyumbang tanah kecamatan Makaja, antara Istanbul dan Eskishehir di Anatolia sebagai wakaf khalisan mukhlisani wahjhillah.

    Di negeri 062 ini, menurut data ada 450 ribu titik wakaf belum dikelola maksimal. Juga, setara 600 triliun dari aset 3,3 miliar M2 luas lahan wakaf. Aglomerasinya bisa lebih jumbo lagi, jika menjangkau aktifitas profesi, ragam bisnis dan korporasi. Para alumni USU (Universitas Sumagera Utara) seperti Prof Zilal Hamzah, Ph.D., baru merintis langkah dengan wakaf beasiswa mahasiswa semester akhir.

    Patut direnungkan energi kesatria pada wakaf yang bisa eksis, lestaris, legendaris. Mengapa semisal kemauan bergiat dari institusi MUIS (Majelis Ulama Islam Singapura) yang punya WARESS (Wakaf Real Estate Singapore), bisa eksis dan bisa berkoalisi ekonomi memajukan wakaf properti negeri kota bertitel Singapura itu.

    Malaysia juga maju ihwal wakaf, saya pernah studi banding ke AWQAF Holding Berhad. Kata kuncinya, “wakaf korporat”, “manfaatkan kelestarian wakaf”. Menginap di Hotel Pulman-Menara Zamzam di kota suci Mekkah, jangan lupa properti menjulang itu dibangun di atas tanah wakaf yang disewakan ke korporasi.

    Dari situs bwi.go.id, diinfokan gebrakan Pakistan mempunyai Hamrad Foundation yang membangun kota bertitel Madinat al-Hikmat, 350 hektar, dekat Karachi. Ada rumah sakit juga di kota wakaf itu. Dahsyat.

    Pun, Turki yang poros budaya kesatria berwakaf. Akankah institusi dan budaya adalah solusi transformasi?

    Hemat saya, perlu sedikit transformasi bin daya ungkit agar Wakaf Produktif (Wakaf Pro) bergerak, bergemuruh, maju. Ibarat mendorong onggokan batu-batu besar yang diam dari puncak dan badan pegunungan, sontak meluncur deras bertenaga energi gerak Wakaf Pro memajukan Indonesia.

    Tunggu momen apa lagi? Aturan hukum bahkan regulasi wakaf perumahan yang analog properti, sudah ada. Nilai skala raksasa potensi terbukti, juga ada. Panglima Kesatria WaPro yang dinanti, kudu ada.

    Dari mana mulai mendorong WaPro? Cukup tiga garis policy pemimpin kesatria. Karena aturan hukum-cum-kebijakan sudah ada, maka tinggal mendorong 02 proposal policy sing iki: bangkitkan budaya kesatria berwakaf bertitel Directive Presiden dengan Peraturan Presiden; dan Kementerian urusan Wakaf Produktif.

    Demi maslahat “taman mawar” wakaf yang “liberal”, energinya bergemuruh, dan kemajuannya berkelanjutan, maka sahih Indonesia perlu transformasi tata kelola Wakaf Pro: eksis, lestaris, legendaris. Patik tertunduk malu setakat merenungkan wakaf sumur Utsman bin Affan. Salam takzim kesatria berwakaf Indonesia. Tabik.

    *) Muhammad Joni, S.H.MH., Professional lawyer; Wakil Ketua Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute; Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU), opini pribadi.

Back to top button