Mimpi 3 Juta Rumah: Antara Target Ambisius dan Realita Regulasi
Yth. Menteri Dalam Negeri, jika masih ada aturan zigzag dan saling meniadakan seperti itu, bagaimana Pemda mau bekerja untuk 3 juta rumah?

Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan komitmen pemerintah untuk membangun 3 juta unit rumah setiap tahun. Target ambisius yang konstitusional dan pro rakyat itu ditujukan untuk menjawab backlog perumahan rakyat yang kini mencapai 9,9 juta unit.
Namun, di balik semangat itu, sejumlah persoalan struktural dan regulasi menanti jawaban serius.
Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, tercantum hak setiap warga negara atas tempat tinggal yang layak dan sehat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjadi payung hukum utama pelaksanaan program ini.
UU ini menegaskan bahwa penyelenggaraan perumahan dan permukiman menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat, daerah, serta masyarakat. Namun Lampiran urusan dalam UU Pemerintah Daerah anehnya melemahkan urusan konkuren Pemda, karena perumahan MBR dengan sengaja tidak dimasukkan sebagai urusan konkuren Pemda.
Yth. Menteri Dalam Negeri, jika masih ada aturan zigzag dan saling meniadakan seperti itu, bagaimana Pemda mau bekerja untuk 3 juta rumah?
Namun, sebagaimana Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dalam batang tubuh UU “payung besar” bagi Pemda itu, perumahan termasuk urusan konkuren, yang artinya menjadi kewenangan bersama pusat dan daerah. Namun disisihkan dengan selundupan tabel urusan konkuren dalam Lampiran UU.
Kondisi ini ajaib yang menimbulkan tantangan koordinasi, soal yang tidak ringan di negeri 062 ini.
Kepala Satgas Perumahan, Bonny Z. Minang, menyebutkan tumpang tindih regulasi dan lambatnya perizinan menjadi hambatan utama pembangunan.
Backlog perumahan dan pendanaan yang menjadi batu sandungan klasik harus ditelisik dan dibereakan. Menurut data Kementerian PUPR, backlog perumahan saat ini mencapai 9,9 juta unit. Angka yang sangat besar ini diperparah oleh tingginya harga tanah dan keterbatasan akses pembiayaan. Skema subsidi seperti FLPP dan bantuan pembiayaan berbasis tabungan (BP2BT) telah berjalan, tetapi masih terbatas jangkauan dan volume pembiayaannya.
Skema subsidi produktif yang dibangun melalui konversi subsidi BBM adalah terobosan yang bagus. Namun, fokuslah pada pelaksanaannya yang perlu pengawasan ketat agar tidak menimbulkan penyalahgunaan dan tetap menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.
Pandangan Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto
Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto, mengakui bahwa target 3 juta rumah per tahun bukan hal mudah. “Kendala utama adalah ketersediaan lahan, anggaran subsidi yang terbatas, serta harga bahan bangunan yang fluktuatif”. Namun, dia optimistis dengan sinergi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, serta dukungan sektor swasta, target ini dapat dicapai secara bertahap.
Ia juga menekankan pentingnya penyusunan roadmap yang jelas dan terukur agar semua pihak dapat bekerja secara terkoordinasi dan terukur.
Presiden Prabowo Subianto telah memaparkan bahwa pembangunan rumah akan dibagi menjadi 1 juta unit di perkotaan, 1 juta di desa, dan 1 juta di wilayah pesisir. Pendekatan ini menunjukkan perhatian pada pemerataan dan inklusivitas.
Namun, menurut para pelaku industri properti-cum-perumahan MBR, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih perlu dipercepat agar target dapat terealisasi secara optimal.
Subsidi Produktif: Jalan Baru Mengatasi Kemiskinan Perumahan
Program 3 juta rumah juga diiringi dengan konsep subsidi produktif, yang berbeda dengan subsidi konvensional. Subsidi ini diarahkan agar penerima mendapatkan bantuan langsung yang dapat mereka gunakan sebagai modal produktif, terutama untuk UMKM di desa.
“Dengan subsidi produktif, UMKM bisa ikut terlibat langsung dalam pembangunan rumah rakyat sehingga ada efek berganda untuk pemberdayaan ekonomi,” kata Bonny Z. Minang.
Epilog
Pembangunan 3 juta rumah per tahun adalah agenda besar dan krusial bagi Indonesia. Namun, untuk menghindari menjadi janji kosong, dibutuhkan sinergi lintas sektor, penegakan aturan hukum, dan roadmap yang jelas serta terukur.
Tanpa dasar hukum yang kuat, program ini berisiko menjadi narasi politik semata. Program ini bukan sekadar membangun rumah, tapi membangun keadilan sosial dari bawah—dari desa. Agar rakyat tersenyum dari rumah layak miliknya. Tabik.