GENCAR diwartakan developer kelas utama yang membangun apartemen mentereng di lokasi strategis metropolitan dipailitkan konsumen. Sederet developer juga divonis pailit hanya karena gagal serah unit apartemen tepat waktu yang diperjanjikan. Tidak hanya melanda apartemen premium, pengembang apartemen kelas menengah-bawah pun tidak luput dari ancaman Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bahkan kepailitan.
Ujung-ujungnya, konsumen pun ikut terkena getahnya, karena acapkali hanya bermodalkan surat pemesanan dan izin menghuni saja. Ya, jurus pailit/ PKPU belum tentu aman bagi konsumen. Sebab, meski unit apartemen telah dikuasai dan dihuni, namun statusnya bukan kepemilikan. Alhasil tidak ada jaminan perlindungan terhadap aset konsumen.
Developer jelas di tengah sebuah dilema. Bagaimana tidak, hanya gara-gara gagal serah terima dua unit saja langsung bisa diajukan PKPU ke Pengadilan Niaga. Padahal, developer itu tidak sedang kesulitan dana dan bukan dalam tekanan neraca keuangan yang akut atau financial distress.
Layakkah gagal serah apartemen bisa dikualifikasi sebagai utang? Pantaskah dua utang jatuh tempo menjadi alasan orang tergopoh-gopoh ke Pengadilan Niaga? Bagaimana perlindungan konsumen terutama yang hanya bermodalkan PPJB (Perjanjian Pendahuluan Jual Beli)?
Berikut wawancara tim redaksi Koridor.Online dengan Muhammad Joni SH, MH, Praktisi Hukum Perumahan/Properti dari Law Office Joni & Tanamas yang juga Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute di Jakarta, akhir pekan lalu.
Tiba-tiba ramai dan marak sekali fenomena developer diajukan pailit dan PKPU, apa penyebabnya?
Hemat saya, fenomena ini bertumpu pada persoalan hukum dan kepatuhan hukum. Jadi bukan hanya gejala tekanan perkonomian. Analisis saya, ekologi hukum properti belum utuh terbangun, ada celah akrobat hukum, dan ini beresiko. Padahal industri realestat terkait lebih 170-an bidang usaha lain, sehingga efek kepailitan dan PKPU ini menjadi tema sentral yang harus diatasi secara terstruktur dan utuh sampai ke akar persoalannya.
Anda katakan tema sentral, sehebat apa pengaruhnya dan kepada siapa saja?
Bukan hanya developer yang mungkin keliru dalam perencanaan, tidak disiplin keuangan dan pemasaran sehingga gagal mengelola kelancaran cash-flow. Namun arsitektur hukum yang mengatur properti juncto realestat harus dibangun guna mengatur tatanan industri ini. Mitigasi harus dilakukan, misalnya dengan lembaga penjaminan pembangunan dan penyerahan.
Developer yang meminjam uang bank untuk kredit konstruksi misalnya diwajibkan mitigasi resiko proyek dengan klausula tertentu. Dengan menset-up peraturan OJK, sehingga tidak ugal-ugalan dalam pembiayaan. Jadi tindakan aktif-positif mendeteksi resiko ini secara dini. Karena jika salah kelola, maka proyek apartemen bisa stagnan, kepercayaan konsumen pun menukik tajam.
Yang rugi juga banyak. Tidak hanya reputasi developer rusak dan cash flow-nya tersendat, tetapi konsumen yang mungkin saja nasabah KPA di bank yang sama juga akan berimbas.
Lalu apa yang bisa dilakukan?
Karena perlindungan konsumen bank adalah domein OJK, maka sangat beralasan untuk mendesak OJK mengatur mitigasi, deteksi dini dan proteksi nasabah bank, bisa konsumen bisa pula developer.
Karena begini, walau pun sudah membayar uang muka dan cicilan, konsumen paling rentan karena belum dilakukan akta jual beli (AJB), belum ada penyerahan yuridis, apalagi proses terbitnya sertifikat masih jauh. Sehingga status hukumnya belum pemilik barang, sebab belum ada penyerahan secara hukum (yuridish levering).
Hemat saya harus ada terobosan hukum untuk melindungi konsumen. Perlu disusun konsep hukumnya, apakah dengan skim penjaminan atas penyerahan, atau penemuan hukum yang memaknai status PPJB lunas sebagai pemilikan.
Jadi selain developernya harus tangguh dan prudent, konsumen harus juga dilindungi, misalnya dengan “back to back legal protection”. Saya mengingatkan bahwa transaksi properti bukan transaksi biasa, tidak bersisi dua namun jamak sisi dan sangat unik.
Maksudnya?
Pembayaran uang muka dan cicilan yang dilakukan konsumen kepada bank misalnya dengan skim KPA, dikonversi menjadi pelunasan sebagian dan pemilik sebagian dengan kalkulasi dan rasio tertentu. Bisa pula di-back up dengan skim penjaminan pihak ketiga semacam asuransi wanprestasi gagal serah. Ketika gagal serah, konsumen bisa klaim uang kembali dan pinalti.
Intinya, siklus mitigasi resiko jangan terputus, tetapi harus tersambung utuh. Jangan mismatch. Hal itu yang tidak memadai dengan undang-undang yang berlaku saat ini. Menurut saya, perlu dibangun secara utuh dengan undang-undang tersendiri guna menata industri properti-realestat. Itu yang harus didorong, sehingga industri ini sehat dan pasarnya terjaga dari “arus pendek” yang mengakibatkan kegagalan sistem industri properti-realestat.
Nah, kembali ke pertanyaan Anda tadi, maraknya kepailitan/PKPU maupun lemahnya status hukum konsumen jika developer gagal bangun dan serahterima unit adalah bentuk dari “arus pendek” kegagalan sistem yang ada. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut, karena jika tidak ditata akan melumpuhkan kesehatan industri properti.
Soal sangat mudahnya konsumen mengajukan developer pailit ke Pengadilan Niaga, apa komentar Anda?
Coba periksa fenomena hukum ini secara obyektif dan jernih. Apakah hal itu sebab atau akibat? Dari mana membacanya? Jika membacanya dari status konsumen yang lemah, ya bisa jadi hal itu sebagai pemicunya. Konsumen pasti mencari cara apapun melindungi haknya walaupun beresiko bagi konsumen lain yang jumlahnya tidak sedikit pula. Sehingga menjadi dilema baik bagi konsumen maupun developer.
Sehebat apapun developer yang gagal serah pasti dia tidak akan nyaman. Karena dengan dua utang jatuh tempo saja, konsumen sudah bisa pergi ke Pengadilan Niaga, mengajukan PKPU bahkan kepailitan. Karena defenisi utang dan pembuktiannya sederhana sehingga menjadi celah atau penyebab bersegeranya developer diajukan ke Pengadilan Niaga.
Apakah gagal serah sama dengan utang?
Ini soal menarik dan sekaligus krusial, karena ada dua haluan dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia. Di satu sisi mendefenisikan utang sebagai semua prestasi yang belum dilaksanakan atau dibayarkan yang timbul dari perjanjian para pihak. Wanprestasi perjanjian apapun sama dengan utang.
Di sisi lain, utang yang dijadikan dasar kepailitan hanya utang yang terbit karena perjanjian utang piutang uang, berikut kewajiban bunganya. Sebab menurut sistem hukum Indonesia, keputusan hakim atas perkara serupa tidak mengikat hakim yang lain. Bisa diikuti, bisa juga tidak.
Soal pembatasan jumlah nominal utang?
Itu salah satu yang logis diusulkan. Berapa nilai nominal yang wajar dan jumlah kreditur yang patut sebenarnya? Selain itu, beralasan kalau membenahi hukum acaranya dengan diwajibkan menguji lebih dahulu apakah beralasan diajukan pailit dengan insolvency test.
Agar kepailitan tidak diajukan secara serampangan, maka harus disyaratkan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium), bukan upaya pertama (premium remidium). Saat ini hanya gagal serah 2 unit saja, langsung bisa tancap gas mengajukan PKPU atau bahkan pailit developer, padahal developer itu membangun belasan menara, ribuan unit bahkan skala kota mandiri. Kan tidak logis. Hukum itu normatif, dan sekaligus logis. Juga, mengandung kepatutan dan keadilan.
Saya kira, jangan sampai undang-undang apapun menjadi celah “membunuh” korporasi yang sehat secara tidak wajar. Tentu hal itu tidak menyehatkan masa depan industri properti-realestat yang berakibat pada ratusan mungkin ribuan konsumen. Efeknya juga bisa melebar, bukan hanya terhadap konsumen namun juga kontraktor, konsultan, pemasok, bahkan pekerja konstruksi.
Jadi sekali lagi, undang-undang apapun dibuat pasti melekat unsur kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Hukum adalah instrumen perlindungan, bukan justru memberangus hak, baik developer maupun konsumen.
Apa solusi yang Anda tawarkan?
Harus ada langkah transformasi hukum skala besar, dengan membangun sistem hukum yang utuh, karena tidak memadai dengan UU Rusun yang sekarang ini. Opini hukum saya, pemerintah perlu segera mengajukan undang-undang yang mengatur industri properti-realestat, yang mampu menjawab daftar masalah aktual dan menjaga kesehatan industri ini.
Termasuk dengan menyehatkan relasi hukum yang rentan antara developer-konsumen. Arsitektur hukum baru itu nantinya bisa dikawal dengan profesional hukum yang kompeten, menyediakan pilihan forum (choise of forum) yang efektif, cepat dan sederhana.
Apakah UU kepailitan perlu diubah?
Bisa saja diusulkan, demi menjaga kesimbangan relasi developer dengan konsumen. Isu hukum soal kualifikasi utang, jumlah kreditur, nominal jumlah utang, diwajibkan pemeriksaan pendahuluan insolvency test, adalah beberapa hal saja.
Pendapat saya, selain butuh undang-undang baru yang mengatur industri realestat secara utuh, perlu kiranya mendorong perubahan UU Kepailitan dan PKPU. Jika tidak, ya bisa mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Yang pasti kita butuh haluan hukum yang baru. (*)
|