Soroti Sulitnya Pekerja Informal Miliki Rumah, Apersi Dorong Pelonggaran Aturan KPR
Penilaian kredit lewat SLIK tidak selalu mencerminkan kemampuan bayar riil pekerja informal

JAKARTA, KORIDOR.ONLINE – Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menyoroti rendahnya penyerapan rumah subsidi sebagai tantangan utama sektor properti saat ini. Ketua Umum Apersi, Junaidi Abdillah, menyebut salah satu penyebab utamanya adalah ketatnya syarat pembiayaan perbankan, terutama bagi pekerja informal.
Berdasarkan data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), hingga 16 Juni 2025, serapan rumah subsidi baru mencapai 107.761 unit, dengan lebih dari 97% dibeli oleh pekerja formal.
“Sebanyak 70% pengajuan pembelian rumah tahun ini terganjal di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan dari 40% yang lolos seleksi bank, seluruhnya telah kami saring terlebih dahulu,” ujar Junaidi dalam konferensi pers, Jumat (20/6).
Junaidi menjelaskan, sebagian besar penolakan kredit berasal dari konsumen informal yang memiliki skor kredit rendah berdasarkan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. Ia menyoroti bahwa penggunaan layanan buy now pay later (BNPL) dan pinjaman daring menjadi faktor utama rendahnya nilai kredit kelompok ini.
“Padahal banyak dari mereka sebenarnya mampu mencicil rumah. Penilaian kredit lewat SLIK tidak selalu mencerminkan kemampuan bayar riil pekerja informal,” tambahnya.
Ia pun mendorong pemerintah agar memberikan kelonggaran syarat pembiayaan KPR bagi pekerja informal agar serapan rumah subsidi bisa meningkat.
Pemerintah tahun ini telah menetapkan kuota rumah subsidi sebesar 350.000 unit, naik dari sebelumnya 220.000 unit. Namun, Junaidi mengungkapkan bahwa tambahan 130.000 unit belum bisa disalurkan karena proses pada kuota awal masih berjalan.
“Pencapaian kuota tahun ini cukup menantang karena mayoritas pemohon berasal dari sektor informal yang kesulitan lolos verifikasi perbankan,” ucapnya.
Meski demikian, Apersi tetap optimistis target tersebut bisa dicapai. Junaidi menegaskan bahwa tantangan utama bukan pada pasokan rumah, melainkan pada sisi penjualan.
“Pekerja informal harus diberi kesempatan yang sama untuk memiliki rumah,” tegasnya.