Perumahan Swadaya, “Game Changer” Pencapaian Program 3 Juta Rumah
Rumah yang dibangun masyarakat secara mandiri atau swadaya, sekaligus menjadi the biggest problem karena masih banyak yang tidak layak huni.
JAKARTA, KORIDOR.ONLINE—Perumahan Swadaya bisa menjadi “Game Changer” untuk pencapaian target 3 Juta/tahun. Pengalaman selama 30 Tahun Terakhir (1994-2024), membuktikan bahwa masyarakat adalah the biggest developer. Masyarakat mampu menyediakan hunian layak huni secara gotong royong lewat Perumahan Swadaya Berbasis Komunitas.
Peran dan kontribusi rumah swadaya di perkotaan dan pedesaan setiap tahun terus meningkat. Data BPS Susenas 2022 (Modul Kesehatan dan Perumahan) menyebutkan masyarakat memproduksi rumah sendiri secara nasional sebanyak 82,68% (1,26 juta unit rumah/tahun), sedangkan swasta 10%-17%, dan pemerintah 5%-10% per tahun. Kontribusi masyarakat di perkotaan untuk pemyediaan rumah secara mandiri sebanyak 76,27%, dan Perdesaan, 90,10%.
Namun demikian kenyataannya juga menyebutkan bahwa rumah yang dibangun masyarakat secara mandiri atau swadaya, sekaligus menjadi the biggest problem karena tidak layak huni.
Hal tersebut dipaparkan oleh Encep R. Marsadi, penggiat pendampingan rumah swadaya, anggota Dewan Pakar The HUD Institute, dalam acara diskusi dengan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah dan jajaran, bersama sejumlah pengurus The Housing and Urban Development (HUD) Institute di Kantor Kementerian PKP, Jumat, 3/1/25.
Menurut Data BPS, masih terdapat sebanyak 27 juta rumah tidak layak huni (RTLH) karena struktur bangunan, ketiadaan sanitasi dan tata ruang. Bahkan di perkotaan seperti di propinsi DKI Jakarta, masih banyak rumah masuk kategori RTLH, akibat masih menggunakan asbes.
“Asbes merupakan material atap yang berbahaya bagi kesehatan dan tidak termasuk dalam jenis bahan bangunan atap rumah yang layak. Asbes merupakan bahan beracun yang bersifat karsinogenik. Serat asbes yang terhirup dapat menyebabkan berbagai penyakit,” papar Encep.
Maka dari itu lanjut Encep diperlukan program pendampingan, pemberdayaan dan pembinaan. Hal itu guna memastikan kehadiran Pemerintah.
“Pemerintah perlu memberi pendampingan kepada masyarakat yang akan perbaikan rumah (kuratif) & yang akan bangun baru (preventif). Pastikan kehadiran pemerintah dalam hal ketersedian baseline data perumahan mikro yang up to date & valid. Pembangunan rumah juga perlu memperhatikan keseimbangan program perumahan perkotaan dan perdesaan,” ungkapnya.
Dukung Masukan The HUD Institute
Wakil Menteri PKP Fahri Hamzah menyambut baik usulan pembangunan rumah berbasis komunitas yang disampaikan. Menurutnya entitas struktur negara di tingkat bawah seperti Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) dapat difungsikan menjadi kelompok ekonomi masyarakat termasuk untuk pembangunan rumah berbasis komunitas. Hal ini sesuai dengan konsep gotong royong.
“RT dan RW ini dapat juga difungsikan sebagai pendamping dalam pembangunan atau perbaikan rumah yang layak huni lengkap dengan sanitasi dan pengelolaan sampahnya. terutama di desa yang sudah banyak yang mempunyai rumah namun belum layak huni karena tidak dilengkapi sanitasi. Untuk itu peningkatan rumah menjadi layak huni yang sehat di desa-desa menjadi bagian dari Program Tiga Juta Rumah,” ujar Wamen Fahri.
Kegiatan diskusi juga memaparkan penggunaan teknologi bahan bangunan pracetak dan usulan The HUD Institute soal alternatif pembiayaan APBN dan Non APBN dalam mewujudkan program 3 juta rumah.
“The HUD Institute memberikan masukan yang konstruktif kepada pemerintah. Dukungan agar program Gerakan Nasional Gotong Royong Membangun Rumah Untuk Rakyat yang dicanangkan Menteri PKP pada 1 November 2024 lalu terwujud,” pungkas Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute.