JAKARTA,KORIDOR.ONLINE–Salah satu prinsip yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan perumahan adalah keterjangkauan (affordability). Konsep keterjangkauan cakupannya sangat luas. Karenanya, pendekatan untuk meningkatkan keterjangkauan juga harus holistik, tidak cukup pada aspek tertentu saja. Sejauh ini, berbagai upaya meningkatkan keterjangkauan perumahan lebih berfokus pada aspek pengendalian biaya (cost) dan harga (prices). Misalnya melalui pengendalian harga bahan baku, pertanahan, dan pengendalian pasar perumahan.
Berbagai upaya tersebut memang memberikan kontribusi dalam meningkatkan keterjangkauan. Namun, upaya tersebut belum cukup. Upaya tersebut baru menyentuh aspek keterjangkauan pada sisi pasokan (supply). Upaya tersebut akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan upaya meningkatkan keterjangkauan dari sisi pendanaan. Tujuannya, agar semakin banyak masyarakat yang memiliki kemampuan memiliki rumah. Strateginya adalah melalui pengerahan likuiditas murah dari masyarakat.
Keberadaan likuiditas murah memiliki peran strategis bagi upaya meningkatkan keterjangkauan rumah, khususnya dari sisi permintaan (demand). Ini mengingat, ketersediaan likuiditas murah akan mendorong penurunan biaya dana (cost of fund). Bila biaya dana dapat diturunkan, hal tersebut akan meringankan biaya yang akan ditanggung masyarakat ketika membutuhkan pembiayaan perumahan (cosf of financing). Bila ini terjadi, kondisi ini akan mendorong semakin banyak masyarakat yang dapat memiliki rumah.
Secara teori, biaya dana akan dapat ditekan bila sumber tabungan (saving) murah dapat ditingkatkan. Ini mengingat, bila jumlah tabungan besar maka kebutuhan terhadap sumber pendanaan eksternal (external funding) berbiaya mahal dapat dikurangi. Sejauh ini, mekanisme mobilisasi dana bagi perumahan lebih banyak menggantungkan perbankan. Karena perbankan adalah institusi komersial, mobilisasi dana murah menjadi terbatas. Hanya bank-bank dengan infrastruktur lengkap yang memiliki “privilege” dapat memobilisasi dana murah secara agresif. Di sisi lain, kita memerlukan keterlibatan banyak lembaga keuangan untuk mendorong mobilisasi dana murah tersebut.
Motif deposan menaruh dananya di perbankan sebenarnya tidak sekedar menabung (saving) tetapi juga berinvestasi. Mereka menaruh dananya di perbankan selain untuk keamanan, juga berharap imbal hasil (return) yang tinggi, setidaknya untuk menjaga nilai riil uang mereka. Motif seperti ini pada akhirnya akan mendorong deposan menempatkan dana pada simpanan berbiaya mahal. Faktanya, komposisi dana mahal (deposito) di perbankan relatif besar. Kondisi ini pada akhirnya akan menghambat upaya menciptakan ekosistem likuiditas murah bagi perumahan. Tidak mungkin perbankan dapat menyalurkan pembiayaan perumahan dengan bunga kredit murah bila dana yang dipakai berasal dari dana mahal.
Dalam rangka menurunkan biaya dana di perbankan, pemerintah pun turun tangan. Pemerintah melakukan intervensi melalui APBN dalam bentuk penyediaan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Mekanisme adalah dana FLPP dicampur (blended) dengan dana perbankan sehingga menghasilkan suku bunga gabungan yang lebih rendah. Mekanisme ini cukup berhasil menurunkan biaya dana bagi pembiayaan perumahan. Sehingga, suku bunga kredit kepemilikan rumah (KPR) bagi masyarakat berpenghasilan murah (MBR) pun dapat ditekan pada level rendah. Sejauh ini, data memperlihatkan bahwa pengelolaan FLPP, baik sejak dikelola pemerintah hingga kini dikelola Badan Pelaksana Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) memperlihatkan kinerja yang cukup baik.
Namun demikian, pada suatu saat kemampuan APBN pasti akan memiliki keterbatasan. Sehingga, kita pun harus bersiap bila dukungan pemerintah seperti FLPP berakhir. Kita memerlukan suatu sistem yang dapat diandalkan untuk menjamin pembiayaan perumahan berkelanjutan dan mandiri. Dan kuncinya adalah dengan memperkuat ekosistem likuiditas murah dari masyarakat. Masyarakat di sini tidak hanya masyarakat individual, tetapi juga masyarakat institusional. Dengan demikian, kelembagaan yang berperan dalam ekosistem likuiditas perumahan rakyat juga perlu diperkuat kapasitasnya. Bila ekosistem likuiditas murah ini terbangun, dengan sendirinya ekosistem perumahan juga akan semakin kuat. Ini mengingat, ekosistem likuiditas perumahan merupakan sub ekosistem perumahan.
“The Beauty Housing Finance System” Bernama Tapera
Dalam rangka memperkuat ekosistem likuiditas murah, pemerintah telah membentuk BP Tapera. Seperti dijelaskan di atas, BP Tapera ini memiliki tugas menghimpun tabungan, mengelola dan memupuknya melalui berbagai instrumen investasi. Hasil dari pengelolaan dana tersebut kemudian dipergunakan untuk membiayai kebutuhan perumahan bagi pesertanya. Konsep Tapera ini sebenarnya konsep pengembangan likuiditas perumahan yang “cantik” (beauty). Kenapa demikian?
Pertama, Tapera menggabungkan antara konsep pembiayaan dan tabungan hari tua. Melalui Tapera, peserta selain memperoleh fasilitas pembiayaan perumahan dengan biaya (bunga) rendah, pada akhir kepesertaannya juga memperoleh pengembalian tabungan berikut manfaat investasi. Konsep ini menguntungkan bagi peserta Tapera. Konsep Tapera mirip dengan konsep jaminan sosial lainnya seperti yang berlaku pada jaminan sosial. Dimana, melalui kepesertaannya pada suatu jaminan sosial, selain akan memperoleh manfaat jaminan sosial selama menjadi peserta, pada akhir kepesertaannya juga akan memperoleh pengembalian tabungan berikut hasil investasinya.
Kedua, Tapera menggabungkan konsep gotong royong dan kemandirian. Konsep gotong royong maknanya adalah melalui kepesertaannya pada Tapera, peserta turut membantu peserta lainnya dalam pembiayaan perumahaan. Konsep gotong royong ini tercermin dari besarnya iuran tabungan yang dibayarkan. Besarnya iuran ditentukan sebesar 3% dari penghasilan. Dengan demikian, semakin besar penghasilan maka iuran tabungan juga semakin besar. Nah, di sinilah konsep gotong royong terjadi. Peserta yang memiliki penghasilan lebih besar secara tidak langsung turut membantu peserta lain yang memiliki penghasilan lebih kecil, dalam penyediaan dana bagi pembiayaan perumahan.
Selanjutnya, melalui konsep gotong royong akan terbentuk kemandirian. Seiring dengan berjalannya konsep gotong royong maka secara tidak langsung masyarakat telah membentuk ekosistem pembiayaan perumahan sendiri. Semakin banyak peserta maka dana yang terkumpul akan semakin besar. Dana kemudian dikembangkan melalui investasi dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai kebutuhan perumahan bagi peserta. Bila konsep ini berjalan, peran pemerintah melalui penyediaan anggaran negara akan semakin berkurang. Ini mengingat, masyarakat telah mampu secara mandiri menyediakan pendanaan bagi kebutuhan pembiayaian perumahannya.
Ketiga, Tapera menggabungkan konsep tabungan jangka panjang yang match dengan pembiayaan perbankan. Konsep tabungan pada Tapera berbeda dengan konsep tabungan di perbankan. Tabungan pada Tapera bersifat jangka panjang, tidak bisa ditarik sewaktu-waktu. Peserta Tapera hanya dapat “menarik” dananya dua kali. Pertama, pada saat membutuhkan pembiayaan perumahan. Kedua, setelah kepesertaannya berakhir. Konsep tabungan pada Tapera yang bersifat jangka panjang ini cocok (match) dengan karakteristik pembiayaan perumahan yang bersifat jangka panjang pula. Ini berbeda dengan bila pembiayaan perumahan sepenuhnya menggunakan tabungan perbankan murni. Konsep pembiayaan oleh perbankan selalu memunculkan mismatch, karena sumber dananya jangka pendek.
Meskipun berperan sebagai lembaga pembiayaan perumahan, BP Tapera tidak menyalurkan pembiayaan kepada peserta. Pembiayaan dilakukan oleh bank pelaksana pembiayaan. Dalam konteks ini, kerjasama antara Tapera dengan bank pelaksana menjadi solusi atas problem mismatch yang dialami perbankan. Dana Tapera akan menjadi komponen dana murah perbankan untuk membiayai KPR bagi peserta Tapera. Perbankan juga diuntungkan, karena keberadaan Tapera dapat memperluas pasar KPR mereka.
Keempat, Tapera juga menggabungkan antara konsep tabungan, investasi dan sekuritisasi. Penyelenggara Tapera adalah BP Tapera. Namun, BP Tapera tidak dapat bertindak sebagai penyimpan tabungan. Tabungan peserta diadministrasikan oleh Bank Kustodian melalui Kontrak Pengelolaan Dana Tapera (KPDT). Dalam rangka pemupukan dana, Bank Kustodian menjalin perjanjian Kontrak Investasi Kolektif Pemupukan Dana Tapera (KIK-PDT) dengan Manajer Investasi. Manajer Investasi melakukan investasi atas dana Tapera sesuai dengan komposisi persentase tertentu yang ditetapkan BP Tapera. Dan seluruh kekayaan dibukukan atas nama KPDT dan pemilik manfaat (beneficial owner) adalah peserta Tapera. Konsep sekuritisasi terjadi ketika proses pembiayaan perumahan terjadi. Dalam penyaluran pembiayaan perumahan, perbankan memperoleh dana dari Bank Kustodian dan menyerahkan aset berupa efek kepada Bank Kustodian dengan nilai yang sama.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa eksistensi Tapera dapat berperan penting dalam ekosistem pasar keuangan. Keberadaan Tapera dapat menarik keterlibatan banyak pelaku di sektor keuangan, yaitu perbankan, perusahaan pembiayaan dan Manajer Investasi. Keberadaan Tapera juga dapat mendorong kegiatan sekuritisasi meskipun sekuritisasi pada Tapera berbeda dengan konsep sekuritisasi pada umumnya. Ini mengingat, sekuritisasi Tapera tidak dapat diperdagangkan karena sifatnya terbatas kebutuhan pembiayaan perumahan Tapera. Di sinilah betapa Tapera juga merupakan konsep yang “cantik” bagi penguatan ekosistem pasar keuangan nasional.
Beberapa Tantangan Bagi Penguatan Tapera
Meskipun Tapera dirancang sebagai suatu konsep yang “cantik”, namun dalam operasionalnya masih membutuhkan penguatan kelembagaan dan dukungan (support) dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Termasuk pula, agar konsep Tapera dapat workable lebih efektif, diperlukan beberapa perbaikan dalam mekanisme dan regulasinya. Penulis mencatat, setidaknya terdapat tiga aspek yang dibutuhkan untuk mendorong efektivitas implementasi Tapera.
Pertama, perluasan kepesertaan Tapera. Sejauh ini, jangkauan kepesertaan Tapera masih terbatas khususnya pada aparat sipil negara. Sementara itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, kepesertaan Tapera bersifat wajib bagi seluruh pekerja. Perluasan jangkauan kepesertaan ini penting untuk memperkuat kegiatan pemupukan dana dan pembiayaan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (PP Penyelenggaraan Tapera), Pemberi Kerja diberikan kesempatan mendaftarkan pekerjanya paling lambat pada tahun 2027. Dalam rangka memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap keberlangsungan Tapera, upaya perluasan kepesertaan ini perlu dipercepat.
BP Tapera memang telah melakukan berbagai upaya untuk memperluas kepesertaan. Namun, sebagai lembaga baru yang kapasitasnya masih terbatas, BP Tapera tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Dukungan dari stakeholders seperti pejabat negara/pemerintah, kepala daerah, pejabat BUMN/BUMD, dan para pelaku usaha swasta sangat diperlukan untuk perluasan jangkauan kepesertaan Tapera.
Kedua, perlunya perluasan kriteria peserta yang memperoleh manfaat pembiayaan perumahan. Menurut PP Penyelenggaraan Tapera, yang berhak atau layak (eligible) memperoleh pembiayaan perumahan dengan manfaat (benefit) berupa suku bunga 5% per tahun (fixed) adalah kelompok MBR, belum memiliki rumah, dan menggunakannya untuk pembiayaan pemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama, atau perbaikan rumah pertama. Kriteria MBR yang dikeluarkan pemerintah adalah pekerja yang memiliki penghasilan maksimal Rp8 juta/per bulan.
Penulis berpendapat, batasan penghasilan bagi MBR ini kurang menarik untuk mendorong pekerja terutama yang memiliki penghasilan di atas Rp8 juta menjadi peserta Tapera. Manfaat dan insentifnya kurang. Meskipun Tapera bersifat wajib (compulsary), namun menciptakan rangsangan bagi peserta seperti yang berlaku pada sistem voluntary, adalah hal yang perlu dipertimbangkan. Mengacu pada ketentuan kriteria MBR, peserta dengan penghasilan di atas Rp8 juta/bulan tidak memiliki kesempatan untuk memanfaatkan pembiayaan perumahan dari Tapera. Manfaat mereka hanya satu yaitu hasil investasi dari pemupukan dana Tapera. Itupun baru dapat dinikmati ketika selesai menjadi peserta.
Di sisi lain, dengan kapasitas Tapera yang masih terbatas, imbal hasil yang diperoleh dari kegiatan investasi dan pemupukan dana juga akan terbatas. Sementara itu, pekerja memiliki banyak pilihan untuk menempatkan dananya pada instrumen investasi yang lebih menguntungkan. Dan dari hasil investasinya, pekerja pun memiliki peluang untuk memperoleh rumah dengan lebih cepat. Penulis mengusulkan, konsep penerima manfaat Tapera mengacu pada program jaminan sosial ketenagakerjaan. Dimana, seluruh pekerja yang tergabung dalam kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan memperoleh manfaat yang sama selama kepesertaannya, yaitu asuransi kesehatan dan keselamatan kerja.
Perlu dipertimbangkan pula bahwa kita memiliki pekerja yang posisinya sedikit di atas kelompok MBR dengan jumlah yang relatif besar. Kelompok ini, di satu sisi, tidak ter-cover oleh manfaat pembiayaan perumahan Tapera, namun juga tidak seluruhnya tersentuh oleh perbankan sebagai sasaran penyaluran KPR komersial. Pertimbangan perbankan adalah keterbatasan kapasitas membayar (repayment capacity) dengan skim bunga komersial.
Dalam konteks ini, penulis mengusulkan konsep penerima manfaat pembiayaan perumahan tidak dibatasi pada kriteria penghasilan. Kriterianya diperluas menjadi pekerja yang belum memiliki rumah pertama. Artinya, semua peserta Tapera memiliki kesempatan memperoleh manfaat fasilitas pembiayaan perumahan dari Tapera untuk rumah pertamanya. Tentunya, agar asas kegotongroyangan dan keadilan terjaga, konsep peserta yang menerima manfaat pembiayaan dibuat secara berjenjang (tearing).
Peserta yang memiliki kemampuan atau penghasilan lebih tinggi diberlakukan tarif atau suku bunga (rate) yang lebih tinggi dibanding peserta dengan penghasilan lebih rendah. Misalnya, bila peserta dengan penghasilan maksimal Rp8 juta memperoleh fasilitas pembiayaan dengan suku bunga 5% (fixed) maka peserta dengan penghasilan di atasnya, katakanlah Rp8 juta- Rp12 juta dikenakan suku bunga 6% (fixed). Dan seterusnya hingga maksimal bunga KPR yang berlaku di pasar (market). Dengan pola seperti ini, Tapera menjadi semakin menarik pekerja sebagai peserta. Mereka menjadi memiliki peluang untuk memperoleh manfaat pembiayaan perumahan dengan biaya yang lebih terjangkau.
Ketiga, mendorong penerapan konsep single housing finance system. Saat ini, BP Tapera menjalankan sistem ganda (dual housing finance system) yaitu sebagai pengelola Dana Tapera dan FLPP. Ke depan, dualisme ini perlu dihilangkan. Ini mengingat, FLPP sebenarnya berpotensi mendistorsi sistem Tapera. Kenapa demikian? FLPP adalah program pemerintah yang pendanaannya dari APBN. Sasarannya adalah MBR yang belum memiliki rumah. Kelompok MBR yang memperoleh fasilitas pembiayaan perumahan tidak harus menjadi peserta Tapera, sehingga tidak perlu membayar angsuran Tapera. Yang penting, mereka memenuhi persyaratan dari bank penyalur KPR (bankable).
Dengan skema seperti ini, FLPP dapat mendistorsi upaya pengerahan dana Tapera. Konsep FLPP juga berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi peserta Tapera, terlebih terhadap peserta yang tidak termasuk MBR. Dalam rangka menghilangkan dualisme ini, penulis mengusulkan dua hal terkait FLPP. Pertama, perlu didorong percepatan peserta FLPP masuk dalam ekosistem Tapera. Kedua, perubahan status dana FLPP yang ditempatkan di BP Tapera. Saat ini, dana FLPP yang dikelola BP Tapera statusnya sebagai tabungan Pemerintah pada BP Tapera. Atas tabungan ini, pemerintah mendapatkan manfaat dari hasil investasi.
Terhadap status dana FLPP tersebut, penulis mengusulkan perubahan status dalam dua bentuk. Pertama, sebagian dana FLPP dikonversi menjadi penyertaan pemerintah untuk menambah modal BP Tapera. Penambahan modal ini penting untuk meningkatkan kapasitas BP Tapera. Kedua, sebagian besar dari dana FLPP dialihkan menjadi aset Dana Tapera yang manfaatnya dikembalikan kepada peserta Tapera. Melalui pengalihan ini, selain akan menciptakan efisiensi dan fleksibilitas dalam pengelolaan program, juga akan meningkatkan kapasitas dana Tapera sekaligus meningkatkan manfaat yang diperoleh dari hasil investasinya, sehingga daya tarik bagi pekerja untuk menjadi peserta Tapera.
Kita mengakui bahwa telah banyak perubahan positif yang dicapai terkait dengan sistem pembiayaan perumahan di Indonesia. Kehadiran Tapera, setidaknya telah menjadi tonggak bagi modernisasi sistem pembiayaan perumahan. Yaitu, dari sebelumnya terlalu menggantungkan dukungan pemerintah (heavy in government support) menuju sistem pembiayaan yang lebih mandiri (automous) dan berbasis ekosistem. Pola pengelolaannya pun telah memasukkan pendekatan korporasi meskipun tetap dalam koridor sebagai organisasi non-profit oriented. Namun, sebagai sistem baru, kita juga harus mengakui masih banyak yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kapasitas sistem Tapera. Kolaborasi dari para stakeholders dan kerja keras seluruh jajaran pengelola Tapera akan menentukan keberhasilan sistem Tapera ini ke depan.