Opini

Setelah Rp200 Triliun: Uang Rakyat Jangan Berhenti di Brankas Bank

Oleh: Advokat Muhammad Joni, S.H., M.H., Sekjen PP IKA USU

JAKARTA, KORIDOR.ONLINE— Rp200 triliun dana publik ditempatkan Kementerian Keuangan di bank-bank Himbara. Itu sah secara hukum — UU Perbendaharaan Negara memang memberinya kewenangan.

Namun, persoalannya bukan sekadar legalitas. Pertanyaan yang lebih mendasar: apakah uang rakyat ini kembali ke rakyat, atau justru terparkir nyaman di brankas bank?

Menurut data resmi, tahun ini anggaran pembiayaan perumahan lewat APBN hanya sekitar Rp47,4 triliun. Padahal backlog rumah rakyat sudah menembus 12,7 juta unit (HREIS & Susenas). Pemerintah mengusung Program 3 Juta Rumah, tapi realisasi dana masih jauh dari kebutuhan riil.

KPR FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) menjadi instrumen utama. Tahun 2024, kuota FLPP ditetapkan 166.000 unit saja, meski kebutuhan pasar lebih dari 200.000 unit per tahun. Untungnya kini sudah naik menjadi 350.000 unit, meski tetap belum sebanding dengan backlog.

Angka dan Kenyataan

 Rp47,4 triliun APBN untuk perumahan memang terdengar besar. Tetapi jika biaya satu rumah MBR rata-rata Rp200 juta, maka untuk 3 juta rumah saja dibutuhkan Rp600 triliun. Jelas gap anggaran masih menganga.

Instrumen lain seperti subsidi bunga, bantuan uang muka, maupun program stimulan perumahan swadaya (BSPS) masih relatif kecil cakupannya. Banyak keluarga berpenghasilan rendah tetap sulit menjangkau rumah layak.

Di balik data, ada wajah manusia. Setiap genteng yang belum terpasang adalah doa ibu agar anaknya punya kamar sendiri. Setiap kusen rapuh adalah harap seorang ayah agar rumah tak bocor tiap hujan.
Backlog 12,7 juta unit bukan sekadar angka, melainkan realitas keluarga yang tiap malam resah di kontrakan sempit atau rumah nyaris roboh.

Konstitusi Bicara

Pasal 28H UUD 1945 tegas menyebut: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal…” Maka, penyediaan rumah bukan sekadar program pembangunan, tapi kewajiban konstitusional negara. Itu berarti dana rakyat wajib kembali ke rakyat — dalam bentuk rumah layak huni, bukan sekadar catatan saldo bank.

| Baca Juga:   Hari Lingkungan Hidup di Tebet Ecopark: Udara Bersih untuk Indonesia, Majukan!

Rekomendasi

Alokasi jelas dari Rp200T: dihitung secara konkret untuk 3 juta rumah, termasuk FLPP, subsidi bunga, bantuan uang muka, dan pemberdayaan usaha bahan bangunan serta tenaga kerja lokal.

  • Kuota FLPP dinaikkan minimal 220.000–300.000 unit per tahun dengan dukungan APBN yang cukup.
  • Subsidi uang muka dan bunga diperbesar, agar daya beli rakyat lebih kuat.
  • Kontrak kinerja dengan bank Himbara: memuat target rumah, tenggat, serta sanksi bila gagal realisasi.
  • Transparansi penuh: laporan per unit, per wilayah, termasuk suku bunga efektif dan biaya tambahan, agar publik bisa mengawasi aliran dana hingga ke rumah rakyat.

Jika Rp200 triliun hanya berputar dalam sistem perbankan, itu artinya negara lalai pada mandat kesejahteraan. Tetapi jika dana ini benar-benar menetes sampai pintu rumah rakyat, maka sejarah akan mencatatnya sebagai lompatan konstitusional: uang publik yang kembali untuk publik.

Tabik,
Muhammad Joni

 

Erfendi

Penulis dan penikmat informasi terkait industri properti dan turunannya dengan pengalaman lebih dari 20 tahun. Email: exa_lin@yahoo.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button