Opini

Desentralisasi Hunian Rakyat, Menjawab Alarm Purbaya

Oleh: Muhammad Joni, Pengamat Kebijakan Perumahan Rakyat

KORIDOR.ONLINE Baru-baru ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyajikan menu yang menggugah: alarm keras soal menurunnya permintaan rumah, seretnya penyaluran kredit BTN, dan lesunya minat masyarakat membeli hunian. Purbaya bukan sekadar berbicara sebagai pengelola fiskal, melainkan sebagai penjaga denyut ekonomi yang merasakan tanda-tanda lemah di salah satu urat nadi kesejahteraan: perumahan rakyat. Dan sesungguhnya, alarm itu bukan hanya untuk pasar keuangan, tapi juga untuk hukum tata kelola perumahan yang diam-diam timpang sejak lama.

Jika kita menelusuri lemari tua kebijakan, akan ditemukan debu tebal bernama Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tepatnya Huruf D tentang pembagian urusan bidang perumahan dan kawasan permukiman.

Di Pasal 12 ayat (1) huruf d, undang-undang itu tegas menyebut bahwa perumahan rakyat termasuk urusan pemerintahan konkuren wajib bersama, sejajar dengan pendidikan dan kesehatan. Artinya: pusat dan daerah berbagi tanggung jawab.

Namun di lampirannya — yang justru menjadi panduan teknis pembagian kewenangan — urusan penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) hanya dicantumkan sebagai tugas pemerintah pusat. Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota nihil kewenangan.

Inilah anomali hukum: urusan yang seharusnya konkuren justru dimonopoli pusat, mengerdilkan ruang otonomi dan membekukan inovasi kebijakan daerah.

Pusat Terlalu Pusat, Daerah Hanya Menonton

Akibat monopoli ini, banyak pemerintah daerah terjebak sebagai pelaksana administratif semata—mengurus perizinan, menandatangani SKBG, atau menangani bantuan pascabencana—tanpa kewenangan untuk merancang skema perumahan rakyat sendiri.

Padahal, kebutuhan dan karakter perumahan di Subang tentu berbeda dengan di Pangkep atau Lumajang. Ketika semua menunggu kebijakan dari Jakarta, program perumahan daerah pun mati suri.

Maka, ketika bank mengeluhkan kredit perumahan yang tak terserap, masalahnya bukan pada daya beli rakyat, melainkan pada sumbatan struktural di hulu hukum dan kebijakan. Policy supply dari pusat tak pernah benar-benar bertemu market demand di daerah.

| Baca Juga:   Menyoal Sengketa Lahan Rocky Gerung Vs Sentul City*

Sudah waktunya mengembalikan ruh otonomi daerah dalam urusan perumahan MBR. Pemerintah daerah seharusnya diberi wewenang menyusun skema dan programnya sendiri: subsidi bunga daerah, penyediaan lahan, kemitraan dengan pengembang lokal, atau integrasi KUR Perumahan.

Bayangkan, jika Jawa Tengah memiliki bank perumahan daerah, atau Sulawesi Selatan mengembangkan Rusun Swadaya berbasis padat karya. Rakyat di pelosok tak perlu menunggu “hujan kebijakan” dari pusat; mereka bisa membangun mimpinya dengan tanah dan tenaga sendiri.

Untuk itu, Lampiran Huruf D UU Pemda perlu direvisi, atau diuji di Mahkamah Konstitusi. Sebab, ia telah menyalahi semangat Pasal 18 UUD 1945 yang menjamin pembagian kewenangan secara adil antar-pemerintahan.

Jika pendidikan dan kesehatan diakui sebagai urusan bersama lintas level, mengapa perumahan—kebutuhan dasar manusia—tidak?

Sinyal dari Purbaya

Pernyataan Menkeu Purbaya bukan sekadar laporan teknis fiskal. Ia adalah sinyal ekonomi sekaligus alarm konstitusional, bahwa sistem penyediaan rumah rakyat perlu dibongkar ulang dari dasar hukumnya.

Pertanyaannya kini bukan lagi berapa banyak rumah yang dibangun, melainkan siapa yang diberi kuasa membangun rumah rakyat.

Selama perumahan MBR dianggap hanya urusan pusat, rakyat kecil akan tetap tinggal di rumah harapan, bukan rumah nyata.

Sudah waktunya kebijakan turun ke bumi — ke desa, ke kabupaten, ke provinsi — sebab rumah sejati rakyat Indonesia tak mungkin dibangun dari langit kekuasaan pusat semata.

Tabik!

Erfendi

Penulis dan penikmat informasi terkait industri properti dan turunannya dengan pengalaman lebih dari 20 tahun. Email: exa_lin@yahoo.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button