Asaki: Program 3 Juta Rumah Dongkrak Industri Keramik Nasional
Program 3 juta rumah akan menjadi pendorong permintaan sektor ubin keramik, sanitary ware, dan genteng keramik

TANGERANG SELATAN, KORIDOR.ONLINE— Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menaruh harapan besar pada efektivitas sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan program pembangunan 3 juta rumah, salah satu program unggulan Presiden Prabowo. Program ini diharapkan mampu meningkatkan penyerapan produk dalam negeri, khususnya bagi industri keramik nasional.
Menurut Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, program 3 juta rumah akan menjadi pendorong permintaan sektor ubin keramik, sanitary ware, dan genteng keramik. Dampaknya diproyeksikan menciptakan kebutuhan keramik hingga 110 juta meter persegi, setara dengan 17 persen kapasitas produksi nasional.
“Asaki sangat berharap dari dukungan dan kepastian, serta kecepatan realisasi program pembangunan rumah 3 juta unit per tahun,” ujar Edy di acara pameran Arch Id 2025, yang berlangsung di ICE, BSD, Tangerang Selatan, Kamis (8/5).
Berbeda dengan sektor manufaktur lain yang saat ini cenderung bertahan menghadapi ketidakpastian global, industri keramik lanjutnya justru sedang memasuki tahap ekspansi nyata. Karena itu dukungan kebijakan pemerintah akan menjadi kunci utama optimisme para pelaku usaha.
Asaki mencatat, kapasitas terpasang industri keramik nasional pada akhir 2024 telah mencapai 625 juta meter persegi per tahun. Angka ini ditargetkan meningkat menjadi 720 juta meter persegi pada 2027, dan mencapai 850 juta meter persegi pada 2030. Proyeksi peningkatan ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 308 juta jiwa. Meski demikian, konsumsi keramik per kapita nasional saat ini masih relatif rendah, yakni 2,8 meter persegi per orang, lebih rendah dibanding Malaysia dan Thailand yang sudah mencapai 3–3,5 meter persegi per orang.
Dengan adanya dukungan pemerintah melalui kebijakan seperti bea masuk antidumping (BMAD) dan penerapan SNI wajib, Asaki menargetkan tingkat pemanfaatan kapasitas produksi (utilisasi) tahun ini bisa mencapai 85 persen. Namun, Edy menegaskan target tersebut terancam akibat tingginya harga dan gangguan suplai gas untuk industri.
Kenaikan Harga Gas Industri
Pemerintah telah memperpanjang kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 76 Tahun 2024, dengan menaikkan harga gas dari USD 6,5 per MMBTU menjadi USD 7 per MMBTU. Namun, menurut Edy, penerapannya sepanjang Januari–April 2025 tidak berjalan sesuai harapan industri keramik.
“PGN justru menerapkan persentase Alokasi Gas untuk Industri Tertentu (AGIT) yang terus turun, baik di Jawa bagian Barat maupun Jawa bagian Timur,” ungkap Edy. Per April 2025, AGIT untuk industri HGBT Jawa Barat tercatat hanya 65,3 persen, sedangkan Jawa Timur hanya 48,8 persen. Hal ini telah menggerus daya saing industri keramik nasional karena rata-rata biaya gas melonjak menjadi lebih dari USD 8 per MMBTU, atau sekitar 15 persen lebih mahal dari kebijakan HGBT.
“Terutama di Jawa Timur, seharusnya tidak ada kendala suplai gas. Namun, kami justru diinformasikan adanya gangguan di hulu yang butuh waktu perbaikan hingga Oktober mendatang,” tambahnya.
Edy pun mendesak Kementerian ESDM segera mengatasi persoalan defisit pasokan gas. Menurutnya, industri keramik tidak mungkin bisa bertahan hidup jika harga regasifikasi gas mencapai USD 16,77 per MMBTU. Selain itu, ketidakpastian suplai dan mahalnya harga surcharge gas atau regasifikasi dinilai dapat merusak iklim investasi serta kepastian berusaha di Indonesia.
“Jika tidak segera diatasi, hal ini akan mengganggu roadmap ekspansi industri keramik nasional yang sudah kami rencanakan, yakni dari 625 juta meter persegi per tahun menjadi 718 juta meter persegi di akhir 2026, hingga 850 juta meter persegi per tahun pada 2030,” tegas Edy.