Headline

Pengembang Tuduh Menteri Ara Ganggu Target 3 Juta Rumah

Kementerian PKP belum meluncurkan peta jalan pengembangan properti dan dinilai acuh mendengarkan usulan yang disampaikan oleh pengembang.

JAKARTA, KORIDOR.ONLINE—Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdillah, menilai bahwa kebijakan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) di bawah kepemimpinan Maruarar Sirait belum mampu menciptakan regulasi yang mendukung pertumbuhan sektor properti.

Menurutnya, pernyataan yang disampaikan Menteri PKP belakangan ini justru menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha. Salah satu contohnya adalah rencana penurunan harga rumah subsidi di tengah kenaikan harga bahan baku dan harga tanah yang semakin tinggi.

Selain itu, keputusan Kementerian PKP untuk melakukan audit terhadap perusahaan pengembang dinilai kurang relevan. Pasalnya, pembangunan rumah subsidi dilakukan dengan belanja modal (capex) dari pengembang, bukan dari anggaran negara.

Forum dengar pendapat umum 5 Asosiasi Pengembang dengan Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Rabu (19/3/2025).

“Langkah-langkah yang diambil oleh Menteri PKP justru menghambat program 3 juta rumah yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo. Kebijakan yang diterapkan tidak memiliki arah yang jelas dalam mendukung realisasi target tersebut,” ujarnya dalam forum dengar pendapat umum yang diadakan oleh Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI pada Rabu (19/3/2025).

Dalam forum tersebut, lima asosiasi pengembang terbesar di Indonesia turut hadir, yakni Realestat Indonesia (REI), Apersi, Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Asosiasi Pengembang dan Pemasar Perumahan Nasional (Asprumnas), serta Aliansi Pengembang Perumahan Nasional Jaya (Appernas Jaya).

Ketua Umum Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, menambahkan bahwa hingga saat ini Kementerian PKP belum memiliki peta jalan pengembangan properti yang jelas serta terkesan mengabaikan masukan dari para pengembang.

“Jika program 3 juta rumah ini terealisasi, maka akan tercipta 9 juta lapangan kerja baru dan sekitar 400.000 pelaku industri atau swasta baru di seluruh Indonesia. Namun, tanpa kebijakan yang mendukung, hal ini sulit diwujudkan,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Himperra, Ari Tri Piyono, mengungkapkan kebingungannya terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Kementerian PKP. Rencana pembangunan 1 juta rumah di kota, 1 juta di kawasan pesisir, dan 1 juta di pedesaan belum memiliki kejelasan dalam implementasinya.

| Baca Juga:   Jokowi Tinjau Kesiapan Rusun Pasar Rumput untuk Isolasi Pasien Covid-19

“Harga rumah subsidi justru ingin diturunkan di tengah kenaikan harga bahan baku dan tanah. Kebijakan ini tidak masuk akal. Yang dibutuhkan masyarakat adalah rumah layak huni yang terjangkau, bukan sekadar murah. Kami telah memberikan masukan, tetapi tidak didengar,” ujarnya.

Senada dengan itu, Ketua Umum Appernas Jaya, Andriliwan Muhamad, menilai pernyataan Menteri PKP mengenai pengembang nakal yang sering disampaikan ke media justru berpotensi dimanfaatkan oleh oknum aparat penegak hukum (APH).

“Banyak anggota kami yang hanya membangun 50-200 unit rumah dan kini mendapat panggilan dari aparat. Beberapa pengembang di daerah, seperti di Timika, Papua, tiba-tiba diperiksa oleh polisi dan diminta menyerahkan berbagai dokumen perizinan, sehingga mereka merasa panik dan bingung,” jelasnya.

Ketua Umum Asprumnas, M. Syawali, juga menyampaikan keresahannya terhadap situasi ini. Ia menekankan bahwa pengembang rumah subsidi seharusnya mendapat perlindungan dan bimbingan dari pemerintah, bukan justru diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Kami tidak menggunakan dana negara, lalu mengapa kami harus diperiksa BPK?” tandasnya.

Masuk Agenda Komisi V DPR RI

Menanggapi keluhan para pengembang, Wakil Ketua BAM DPR RI, Adian Napitupulu, menyatakan bahwa Komisi V DPR RI akan segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian PKP dalam waktu dekat. Ia menilai bahwa pemeriksaan oleh BPK terhadap pengembang tidak sesuai jika tidak ada aduan dari konsumen atau indikasi pelanggaran kontrak.

“Konsumen dan pengembang tentu memiliki klausul kontrak yang mengikat. Jika ada pelanggaran, maka penyelesaiannya bisa melalui jalur perdata atau pidana, bukan audit yang tidak memiliki dasar yang jelas,” tegasnya.

Dengan adanya pertemuan ini, diharapkan DPR RI dapat mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi sektor properti guna mendukung target pembangunan 3 juta rumah bagi masyarakat Indonesia.

| Baca Juga:   Mustika Land Group dan Creed Group Japan Luncurkan Rumah Milenial

 

 

Erfendi

Penulis dan penikmat informasi terkait industri properti dan turunannya dengan pengalaman lebih dari 20 tahun. Email: exa_lin@yahoo.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button