Site icon Koridor.Online

Rp40 Triliun dari Qatar: Berkah atau Ancaman Baru untuk Hunian Rakyat?

Langit kota tak lagi hanya diterangi bintang—atau jejak rudal di malam kelam. Kini, cahaya itu datang dari kekuatan baru: investasi Qatar. Negara kaya sahabat itu menjanjikan dana sebesar Rp40 triliun, ditujukan untuk pembangunan 50.000 unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Indonesia.

Tapi mari kita mulai dengan pertanyaan fundamental: rumah ini untuk siapa?

Apakah benar untuk MBR, atau terselip juga slot untuk pasar komersial? Siapa yang membangun—developer lokal yang selama ini berjibaku di sektor subsidi, atau konsorsium elite dengan akses besar terhadap lahan dan modal? Apakah ini kolaborasi sosial atau justru perpanjangan liberalisasi aset negara?


Pemain-Pemain di Balik Panggung

Proyek ini melibatkan nama-nama besar: Danantara, BTN, Kementerian PKP, CCCI, Risjadson Land, hingga DLS Consultancy. Namun, yang belum terdengar gaungnya adalah pengembang lokal domestik yang selama ini menjadi ujung tombak perumahan MBR. Di mana posisi mereka dalam peta besar ini?

Jika pengembang nasional tidak dilibatkan secara nyata—bukan hanya simbolik—maka ini bukan kolaborasi pembangunan, melainkan dominasi investasi.


Jangan Ulang Sejarah Pahit Gentrifikasi

Sejarah selalu mengajarkan bahwa di balik proyek besar dan estetika kota yang kinclong, ada jejak air mata: penggusuran, pencabutan akar sosial, dan kenaikan harga hidup. Jika proyek ini berdiri di atas tanah negara atau BUMN, maka harus ada batas etik dan hukum yang jelas: tanah publik bukan untuk portofolio swasta.


Regulasi dan Skema yang Harus Ditegakkan

UU No. 20/2011 dan UU No. 1/2011 sudah menetapkan bantuan dan kemudahan untuk perumahan rakyat, mulai dari subsidi, insentif fiskal, hingga akses fasilitas publik. Tetapi dalam praktik, seringkali kemudahan itu justru mengalir ke investor, bukan ke warga MBR.

Jika hunian ini dibangun dengan konsep TOD (Transit Oriented Development), maka penting memastikan TOD-nya benar-benar pro-MBR, bukan sekadar “TOD label” yang membuka peluang spekulasi tanah dan menjebak warga dalam biaya hidup baru yang tak terjangkau.


Waspadai Sertifikasi Tanah: SHM vs SKBG

Apakah unit-unit rusun ini akan dijual dengan Sertifikat Hak Milik (SHM SRS), yang membuka jalan komersialisasi vertikal secara bebas?

Usul kami: gunakan skema SKBG (Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung) di atas tanah negara. SKBG menjaga agar tanah tetap milik publik, sementara bangunan bisa dimiliki terbatas dan tetap bankable. Tapi ini butuh revisi UU agar kekuatan hukum SKBG setara.


Kelola Aset, Hindari Konflik

Pengelolaan rusun jangan diserahkan langsung ke PPPSRS yang sering kali belum matang dan rawan konflik horizontal. Pemerintah perlu membentuk lembaga Asset Management Tanah dan Bangunan yang memiliki otoritas penuh untuk menjaga misi sosial proyek ini.


Tiga Pertanyaan Strategis untuk Pemerintah

  1. Apakah pengembang lokal dilibatkan secara nyata? Jika tidak, proyek ini bisa kehilangan legitimasi sosialnya.

  2. Apakah proyek ini sinkron dengan kebijakan daerah? Misalnya dengan program “Jakarta Tumbuh ke Atas” atau kawasan prioritas Mebidangro.

  3. Apakah dana Qatar ini hanya jangka pendek? Atau bisa diolah menjadi subsidi produktif jangka panjang untuk mendorong komunitas hunian rakyat?


Epilog: Saatnya Jurus Housingnomics Pro-Rakyat

Rp40 triliun bisa menjadi pijakan housingnomics Indonesia—ekonomi berbasis pembangunan hunian rakyat. Tapi bisa juga menjadi pemicu urbanisasi tanpa arah bila tata kelolanya tak memihak MBR.

Kita butuh kode etik tata kelola hunian vertikal, regulasi kepemilikan yang adil, sistem pengelolaan yang matang, dan keberanian politik untuk memprioritaskan keadilan sosial di atas logika cuan semata.

Ini momentum besar bagi Presiden Prabowo dan kabinetnya. Jika berhasil, ini bukan sekadar proyek, tapi monumen kesejahteraan: pembebasan warga dari jerat kemiskinan struktural lewat rumah layak huni.

Sebaliknya, jika gagal, maka langit kota akan penuh beton—tapi bumi pertiwi kehilangan senyum rakyatnya. Tabik!

Oleh: Muhammad Joni, S.H., M.H. __Advokat; Sekretaris Majelis Pakar The HUD Institute. Tulisan ini pendapat pribadi.

Exit mobile version