“Ada dua jenis pemimpin: yang berhitung cermat, dan yang melawan arus dengan keyakinan. Yang terakhir langka, dan kerap kehabisan waktu—atau dijegal sistem.”
JAKARTA, JUNI 2025. Belum setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berjalan, dan program 3 juta rumah rakyat terus digelorakan. Di tengah antusiasme tersebut, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait tampil penuh terobosan. Tapi kini, ia justru memilih arah berbeda. Bukan mengikuti arus besar penarikan dana asing, justru menutup pintu pinjaman luar negeri, termasuk—mungkin—dari dana Qatar sahabat budiman.
Padahal, menurut Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo, dana Qatar senilai Rp40 triliun telah masuk. Proyek pembangunan 50.000 unit rumah rakyat pun aman didanai. Namun di saat yang sama, Menteri Ara meluncurkan skema baru: Danantara Investment dan KUR Perumahan berbasis UMKM.
Langkah ini terkesan berani, namun juga membingungkan. Banyak yang bertanya: mengapa dana murah, cepat cair, dan nyaris tanpa risiko jangka pendek itu tak dimanfaatkan maksimal?
Dana Murah Ditolak?
Dana Qatar adalah contoh inovasi pembiayaan: murah, fleksibel, dan cepat. Banyak negara mengejar model seperti ini. Indonesia berhasil meluluhkan hati Qatar—ini capaian diplomatik dan teknokratis.
Namun muncul dugaan: apakah Menteri Ara sedang menyiapkan skema baru, katakanlah “Dana Ara”? Apakah ini pertarungan ide antara model lama (pinjaman luar negeri) dan model baru (pembiayaan berbasis gotong royong nasionalisme fiskal)?
Jika demikian, adakah roadmap-nya? Regulasi bisa dipercepat, tapi lembaga pelaksana butuh kapasitas. Danantara masih sangat muda. Bank penyalur KUR belum punya produk khusus rumah rakyat. Pengembang UKM/UMKM perlu disiapkan. Waktu terus berjalan. Target 3 juta rumah terancam menjadi puisi bulan Oktober.
Ide Besar: Tapi Siapkah?
Gagasan Menteri Ara cukup segar: rumah rakyat tak sekadar papan, tapi ekosistem ekonomi rakyat—menggerakkan koperasi, UKM, tenaga lokal, dan bahan bangunan nasional. The HUD Institute pernah menyiapkan konsep “Rumah Sehat Produktif” di masa pandemi. Ide-ide seperti ini perlu direalisasikan, bukan sekadar dikonsepkan.
Namun jika semua masih dalam fase “janji manis”, maka kritik wajar dilontarkan. Dana Qatar nyata dan sudah masuk. Danantara baru berencana mencairkan Rp130 triliun. Mana yang lebih siap?
Friksi Kebijakan, Rakyat Menunggu
Media menangkap sinyal perbedaan antara Menteri Ara dan Satgas Perumahan. Ara menolak pinjaman luar negeri, Wamen PKP Fahri Hamzah menyatakan tak tahu-menahu. Hashim menegaskan: tak ada pembatalan. Di tengah gemuruh ini, rakyat menunggu rumah, backlog mencapai 12 juta unit. Maka waktu menjadi musuh bersama.
Seperti dalam novel John Grisham, keputusan ini seperti thriller sunyi: berani tapi penuh risiko. Bila sukses, Ara mencetak sejarah. Bila gagal, ia sendirian menanggung beban.
Dana Qatar dan Danantara: Perlu Dipadukan?
Mengapa tidak ambil jalan tengah: padukan dana Qatar dan Danantara? Keduanya bukan antagonis. Kolaborasi bisa mempercepat capaian target 3 juta rumah dan membuktikan bahwa nasionalisme fiskal tidak harus eksklusif.
Selama skema dana asing transparan, akuntabel, dan bebas syarat politik, tak ada alasan menolak. Delayed of justice is denied of justice, demikian pula dalam hak dasar atas hunian. Jangan tunggu puisi bulan Oktober, rakyat butuh rumah hari ini.
Penutup
Pak Menteri Maruarar Sirait, jika Bapak ingin mewariskan kebijakan baru, kami dukung. Tapi kebijakan besar butuh eksekusi nyata. Suara publik tak bisa diabaikan. Dalam hukum pembangunan: idealisme tanpa kesiapan adalah kekosongan. Dan, jika rumah rakyat adalah hak konstitusional, maka siapa pun yang bisa mempercepatnya—dengan dana manapun yang sah dan sehat—wajib diberi jalan, bukan dilarang lewat tol yang sudah terbuka.
Tabik!
*Muhammad Joni, SH.MH.,
Advokat, Sekretaris Dewan Pakar The HUD Institute,
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia.